Skip to content

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Rilis Pers – Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

Nusa Kambangan,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Rilis Pers – EKSEKUSI MERRI UTAMI DOSA PEMERINTAH

LBH Masyarakat mengecam keras rencana eksekusi  Merri Utami. Bukan hanya karena nyawa setiap manusia itu berharga, pembunuhan yang akan dilaksanakan terhadap Merri Utami juga penuh dengan kesalahan.

Pertama, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum telah mendaftarkan grasi atas nama Merri Utami ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Selasa, 26 Juli 2016. Dengan tetap memasukkan Merri ke dalam rencana eksekusi, Pemerintah Indonesia tidak hanya melanggar hak seseorang terpidana melainkan juga telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum internasional. Pasal 6 dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati harus memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf atau komutasi atas hukumannya. Sistem hukum Indonesia memfasilitasi hak dalam Konvensi ini dengan kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada presiden. Selama presiden belum memutuskan untuk menerima atau menolak grasi, sesuai pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan dan dibenarkan secara hukum.

Kedua, Pemerintah menutup mata pada kerentanan perempuan yang menjadi kurir narkotika. Kasus Mary Jane seharusnya cukup memberikan pelajaran bahwa perempuan dan buruh migran sangat rentan dieksploitasi oleh jaringan peredaran narkotika. Kemiskinan yang membuat perempuan-perempuan memilih menjadi buruh migran, pergi ke sebuah negeri yang tidak pernah mereka jejaki sebelumnya, membuka peluang yang sangat besar bagi sindikat gelap untuk mengeksploitasi mereka.

Ketiga, kasus Merri penuh dengan pelanggaran hukum dan penyiksaan. Selama proses penyidikan Merri mendapatkan kekerasan fisik, berupa pemukulan hingga ia mengalami gangguan penglihatan. Ia pun mendapatkan pelecehan seksual dan ancaman akan diperkosa oleh oknum penegak hukum. Merri juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai selama proses penyidikan sampai proses persidangan. Penyiksaan baik fisik maupun seksual ini menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak dapat menjamin tegaknya rule of law.

Berdasarkan tiga poin di atas, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum Merri Utami, mendesak pemerintah untuk:

  1. Menghapus nama Merri Utami dari daftar terpidana yang akan dieksekusi mati;
  2. Menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh Merri Utami; dan
  3. Memasukkan pertimbangan-pertimbangan kerentanan perempuan dalam menanggulangi kasus narkotika yang melibatkan kurir narkotika perempuan.

 

Jakarta, 26 Juli 2016

Arinta Dea – Analis Jender LBH Masyarakat

Rilis Pers – EKSEKUSI HUMPREY JEFFERSON TIDAK SAH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memprotes keras penetapan Humprey Ejike/Humprey Jefferson sebagai terpidana mati yang akan dieksekusi dalam gelombang III dalam waktu dekat.

LBH Masyarakat telah mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey Jefferson pada hari Senin, 25 Juli 2016 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan registrasi nomor: 01/grasi/2016. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Makna pasal ini cukup jelas, bahwa dengan didaftarkannya grasi dan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum.

Humprey Jefferson sendiri mengalami banyak pelanggaran fair trial (hak atas pelanggaran yang jujur).

Pertama, kasusnya direkayasa, dan individu yang menjebaknya, Kelly, sudah mengaku penjebakan tersebut. Kelly kini sudah meninggal, tetapi sebelum meninggal Kelly sempat mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Humprey. Kejadian ini disaksikan oleh tujuh orang saksi dan kesaksian tersebut telah diserahkan sebagai bukti Peninjauan Kembali. Tetapi oleh Mahkamah Agung kesaksian tersebut tidak dianggap memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana mati terhadap Humprey Jefferson mengandung pertimbangan hukum yang rasis. Disebutkan di dalam putusan tersebut “menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian”. Bahwa mungkin benar banyak warga negara Nigeria terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tetapi bukan berarti semua warga negara Nigeria pasti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penetapan Humprey Jefferson yang akan dieksekusi dalam waktu dekat padahal yang bersangkutan masih menunggu putusan grasi dan di saat yang bersamaan kasusnya sendiri penuh pelanggaran hak hukum, menunjukkan ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap pranata hukum (rule of law). Apabila salah satu pilar penegakan hukum saja tidak menghormati hukum yang berlaku, penegakan hukum seperti apa yang hendak kita bangun?

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kejaksaan Agung dan Presiden Joko Widodo membatalkan pelaksanaan eksekusi mati untuk seluruhnya dan segera mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

 

Cilacap, 26 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

 Tanda Terima Permohonan Grasi Humprey Jefferson

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Pengumuman Peserta Terpilih LIGHTS 2016

Seperti yang telah kami janjikan sebelumnya, hari ini adalah pengumuman nama-nama yang terpilih menjadi peserta program Living The Human Rights (LIGHTS) 2016. Berikut adalah nama-nama tersebut:

  1. Annisa Nurjannah
  2. Maria Emmanuel Megalih
  3. Muthia Novany
  4. Ari Kurnia Rahman
  5. Ellen Nugroho
  6. Ahmad Rofai
  7. Restu Ayuningtias
  8. Ulta Levenia
  9. Abdurrachman Satrio
  10. Insi Nantika Jelita
  11. Septiana Zahira
  12. Diny Arista Risandy
  13. Popi Kartika Sari
  14. Sarah Holyvia
  15. Anna Maria Stephani Siagian

Untuk teman-teman yang tidak terpilih, jangan berkecil hati. Kami yakin bahwa bagaimana pun juga niat baik teman-teman untuk memahami kemanusiaan pasti akan direspon semesta, meski mungkin kali ini bukan melalui kami.

Kami juga mengucapkan selamat kepada teman-teman yang terpilih sebagai peserta LIGHTS 2016. Teman-teman sekalian yang terpilih juga akan segera dihubungi panitia secara personal.

Sampai Rabu nanti di Tebet!

Dibutuhkan: Penyuluh Hukum dan HAM di 17 Kota di Indonesia

LBH Masyarakat membuka kesempatan bagi para mahasiswi/a hukum untuk terlibat dalam Pelatihan Hukum dan HAM di 17 kota di Indonesia, sebagai penyuluh/pemateri pelatihan.

LBH Masyarakat akan menyediakan pelatihan/pendidikan hukum dan HAM kepada kelompok marjinal dan rentan pelanggaran HAM seperti misalnya orang dengan HIV/AIDS, pemakai narkotika, pekerja seks dan waria. Pelatihan hukum dan HAM ini akan diadakan di 17 kota di Indonesia dalam kurun waktu Agustus sampai dengan Oktober, dengan materi seperti pengantar HAM, upaya paksa kepolisian, hukum acara pidana, dan sebagainya. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas hukum dan pemahaman HAM kelompok marjinal tersebut. Kegiatan ini adalah salah satu aktivitas dari program Removing Legal Barrier (RLB) yang didukung oleh Global Fund to Fight AIDS, TB and Malaria di Indonesia. Program RLB sendiri bertujuan untuk menghilangkan hambatan-hambatan hukum bagi populasi kunci HIV/AIDS (orang dengan HIV, pengguna narkotika, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, waria, dan pekerja seks) agar dapat mengakses layanan kesehatan yang non-diskriminatif.

LBH Masyarakat mencari mereka yang memiliki pengetahuan di bidang hukum dan HAM untuk membantu memberikan pelatihan di 17 kota. Di dalam kegiatan ini, pemateri akan bekerja dalam tim bersama dengan staf LBH Masyarakat, bertemu dengan anggota-anggota populasi kunci HIV/AIDS, dan memberikan pelatihan hukum dan HAM dasar kepada mereka. Pemateri akan menerima honorarium dan segala akomodasi serta tiket perjalanan ke luar kota akan ditanggung oleh penyelenggara pelatihan.

Adapun syarat rekrutmen pemateri/penyuluh ini adalah sebagai berikut:

  1. Fresh graduate atau mahasiswi/a hukum tingkat akhir (diutamakan bagi mereka yang sudah tidak mengambil kuliah di kelas);
  2. Memiliki minat dan pengetahuan di bidang HAM, hukum pidana, dan hukum acara pidana;
  3. Bersedia untuk bepergian keluar kota;
  4. Komunikatif dan biasa memberikan presentasi;
  5. Berdomisili di Jabodetabek.

Pendaftaran ini dibuka dari tanggal 23 Juli sampai 29 Juli 2016. Apabila berminat, silahkan mengirimkan CV terbaru ke alamat email: awirya@lbhmasyarakat.org dan apabila lolos seleksi administrasi akan dipanggil untuk mengikuti seleksi wawancara. Pemateri yang terpilih diperkirakan akan segera memulai pelatihan pada minggu pertama bulan Agustus 2016.

Narahubung:

Albert Wirya 0819 3206 0682

LIGHTS (Living The Human Rights) 2016

Penegakan HAM di Indonesia dalam  implementasinya masih jauh panggang dari api. Sejumlah pelanggaran HAM itu masih kerap terjadi. Penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas menjadi contoh pelanggaran HAM yang marak sekarang ini. Belum lagi korban salah tangkap, penyiksaan oleh aparat penegak hukum hingga sulitnya masyarakat miskin untuk mendapatkan akses keadilan menambah potret buram ketidakadilan di Indonesia.

Teman-teman LGBTIQ dan pemakai narkotika, contohnya, kerap mendapat stigma negatif yang berakibat tertutupnya akses mereka terhadap kesehatan, pendidikan dan kehidupan sosial di tengah masyarakat. Belum lagi masalah penyelesaian HAM masa lalu, yaitu peristiwa 65, peristiwa Malari , Tanjung Priok, Talang Sari hingga Kerusuhan Mei 98’, yang menunggu untuk diselesaikan.

LBH Masyarakat menyadari betul pentingnya membumikan pemahaman hukum dan HAM di tengah masyarakat. Maka sejak 2008, LBH Masyarakat mempunyai sebuah program tahunan yang bernama LIVING THE HUMAN RIGHTS (LIGHTS). LIGHTS, yang pada awalnya bernama Summer Internship, adalah rangkaian kegiatan berupa pendidikan tentang hak asasi manusia bagi mahasiswi/a dengan memadukan antara pendekatan teoritis dan pendekatan empiris. Dengan demikian, diharapkan para peserta tidak hanya memahami hak asasi manusia secara teoritis tetapi juga dapat mengimplementasikan gagasan dan perspektif hak asasi manusia ke dalam kehidupan sehari-hari. Peserta akan diberikan teori-teori seputar HAM mulai dari landasan filosofis, historis hingga teori HAM terkini. Peserta LIGHTS juga kan diajak untuk bersentuhan langsung dengan komunitas-komunitas masyarakat hingga instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan penegakan HAM. Peserta akan mendapatkan pengalaman yang berkesan dan mampu mengaplikasikan apa yang telah didapat dalam LIGHTS di tengah masyarakat.

Tempat dan Waktu Acara

Acara ini akan kami adakan dari tanggal 29 Juli – 12 Agustus 2016 dengan memusatkan kegiatan di kantor kami yang terletak di Jalan Tebet Timur Dalam VI E NO. 3A, Jakarta.

Persyaratan Peserta

Untuk peserta, kami menerima mahasiswi/a dari semua jurusan. Teman-teman mahasiswi/a dari kelompok minoritas kami dorong untuk mendaftar. Kami tidak menyediakan penginapan, makanan/minuman, dan transportasi menuju kantor. Peserta tidak dipungut biaya registrasi maupun pendidikan.

Cara Pendaftaran

Untuk mengetahui mengenai acara ini lebih lanjut, teman-teman dapat mengunduh kerangka acuan acara ini melalui tautan ini. Setelah itu, teman-teman harus mengunduh formulir pendaftaran di sini, mengisinya, kemudian mengirimkannya ke dchristian@lbhmasyarakat.org. Jangan lupa sertakan curriculum vitae kamu pada e-mail itu ya!

Pendaftaran sudah dibuka dan teman-teman bisa mendaftar paling lambat 22 Juli 2016 pukul 23.59 WIB (GMT+7). Kami akan mengumumkan peserta terpilih pada tanggal 25 Juli 2016.

Narahubung

Chris (081295872750)

Fuji (085363877857)

Statement on the Reprisals against Human Rights Defenders, Ms. Pornpen Khongkachonkiet, Ms. Anchana Heemmina, and Mr. Somchai Homlaor

We, the undersigned civil society groups, are gravely concerned about the legal action taken by the Royal Thai Army for criminal defamation and Computer Crimes Act violations against Woman Human Rights Defenders (WHRD) Ms. Pornpen Khongkachonkiet, Ms. Anchana Heemmina, and HRD Mr. Somchai Homlaor. Ms. Pornpen, is the Director of the Cross Cultural Foundation – an organization which monitors and documents cases of torture and ill-treatment in Thailand. Mr. Somchai, is the President of the Cross Cultural Foundation, and Ms. Anchana is director of Duay JaiGroup (Hearty Support Group) – a local organization based in Thailand’s ‘Deep South’, which supports people who suffer from the justice system in national security cases. All three are co-editors of a report, Torture and ill treatment in The Deep South Documented in 2014-2015 documenting 54 cases of inhumane treatment in detention, launched on 10th February 2016. The research and report was partly funded by the United Nations Voluntary Fund for Victims of Torture, established under the General Assembly resolution 36/151 in 1981, thus under the United Nations (UN) Human Rights Council Resolution 12/2 these HRDs and their colleagues are “individuals who cooperate with the United Nations, its representatives and mechanisms in the field of Human Rights.”

On 8th June 2016, Internal Security Operations Command Region 4 (ISOC 4) gave information to Ms. Pornpen through a phone conversation that ISOC 4 sought the power of attorney from the Royal Thai Army and submitted a complaint to Yala Mueang Police Station on 17th May 2016 for criminal defamation and computer-related violations by the three HRDs. The charges are for alleged criminal defamation under Article 328 of the Thai Criminal Code, and violation of the Computer Crimes Act (2007), Article 14(1). We are disturbed regarding information that authorities have already interrogated six witnesses. The Police case file is No. 704/2559.

This judicial action has been taken despite the Human Rights Defenders’ best efforts to engage authorities on the evidence of torture and ill-treatment presented in the report. Namely, the report was sent to Army Lt Gen Wiwat Pathompak, Commander of the 4th Army Region, on 8th January 2016, one month before its publication. However, high-ranking military government officials have publicly dismissed the accuracy of the report and questioned the intentions of the civil society organisations who compiled the report. Furthermore, Ms. Anchana, WHRD working in Thailand’s ‘Deep South’, faced summons to an Army camp, lengthy questioning by Army officers, and close physical surveillance and intimidation by unidentified, uniformed men.

We deem this action by the Royal Thai Army to be a prompt reprisal against civil society groups seeking to bring to the authorities’ attention the continued abuse of power and ill-treatment of detainees in Thailand. The Royal Thai Army has taken these actions at a time when it the Thai military government has renewed the Thailand’s international commitments to abolishing the use of torture. On 11th May 2016, at the United Nation’s Universal Periodic Review (UPR) of Thailand 12 UN member states issued recommendations directly relating to the prevention of torture and access to justice for survivors of torture. Furthermore, on 24th May 2016 the Thai military government issued a Cabinet Resolution stating that they will pass a Prevention of Torture and Enforced Disappearance Act. It is troubling that the Royal Thai Army has ordered the legal pursuit of HRDs who have been supporting victims of torture as well as pushing at many levels for policy reform and state action to prevent torture and provide justice to survivors.

We deem the Royal Thai Army’s action to be an unreasonable, arbitrary, and heavy-handed attempt to silence all complaints of allegations of torture against the authorities. By quashing Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr Somchai’s efforts to support torture victims to publicly complain about Human Rights violations by authorities, the Royal Thai Army is seeking to make it more than impossible for torture victims to voice their complaints. Moreover, this is a deplorable act by the Royal Thai Army as it aims to further intimidate existing and potential victims of human rights violations to not report these violations. Instead of suppressing the work of Human Rights Defenders, such as Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai, the Royal Thai Army should, as New Zealand recommended at the UPR, “Promptly investigate and prosecute all allegations of torture and extrajudicial killings,” and as Canada recommended, “Create an independent body to investigate all torture allegations, including in Thailand’s Deep South, and bring perpetrators to justice.”

This judicial harassment constitutes a direct infringement of Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai’s right to work as a Human Rights Defender in Thailand. As stated in Article 1 of the UN Declaration on Human Rights Defenders “Everyone has the right to (individually and in association with others) promote and to strive for the realization of Human Rights and fundamental freedoms at the national and international level.” We believe that the filing of this criminal legal case against Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai was undertaken with the purpose of retaliation and that it is in response to the three HRDs peaceful and legitimate activities to hold authorities to account for cases of human rights violations, including torture, in Thailand’s ‘Deep South.’

We call on the Royal Thai Army to:

  • Immediately and unconditionally withdraw the legal action against Ms. Pornpen, Ms. Anchana, and Mr. Somchai. Such legal action against the legitimate work of HRDs is against the public interest.
  • Ensure that no further retaliation is carried out or allowed to happen in the future against HRDs, ill-treatment and torture victims, their colleagues and families.

We call on the Thai military government to:

  • Respect the universally recognized rights, duties and obligations of everyone and organizations to highlight information about Human Rights violations and injustices to the public, as stated in the UN Declaration on Human Rights Defenders;
  • Ensure that all persons affected by torture and other human rights violations receive justice, including first and foremost the right to complain which must be respected at all times.
  • Ensure the implementations of recommendations it accepted during the recent UPR with regard to HRDs

 

You can see the full statement here in PDF.

Saksi Pelaku: Mencari Proteksi dan Apresiasi

Saksi mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana. Di dalam praktik, seringkali saksi tidak dapat memberikan keterangan yang sesungguhnya dan sebaik-baiknya dalam setiap perkara dikarenakan adanya suatu bentuk ancaman yang diperoleh selama di dalam proses persidangan. Atas pertimbangan tersebut, seyogyanya peran saksi tersebut harus diberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang baik sebagai saksi.

Di Indonesia sebenarnya sudah dikenal tentang saksi pelaku yang bekerjasama sebelum adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 mengenai saksi mahkota. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi mengenai saksi mahkota (kroon getuide), akan tetapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Maksud dari saksi mahkota disini adalah ‘saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut’.[1]

Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru sebaliknya, di mana seorang justice collaborator tetap mendapatkan hukuman yang sama. Pada kasus Agus Condro misalnya, ia mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan banyak orang sebagai pelaku.

Dalam perspektif tersebut, menjadi suatu pertanyaan bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Sehingga dengan dikategorikannya seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan mendapatkan suatu keistimewaan baik berupa pengurangan hukuman maupun perlindungan yang lebih dikarenakan menjadi pelopor dan kunci dalam mengungkap suatu tindak pidana yang melibatkan banyak pihak dan terorganisir.

Konsep tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam perkembangan hukum pidana di negara-negara lain yang telah lebih dahulu menggunakan konsep yang sama dengan istilah yang berbeda-beda. Penulis berpendapat bahwa di KUHAP belum memberikan ruang perlindungan yang cukup bagi pelaku yang dijadikan saksi sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan serta penambahan-penambahan untuk dapat dan mampu mengakomodir perkembangan hukum pidana, yang tentu tidak terbatas dalam persoalan definisi  justice collaborator saja, namun juga hal-hal lain seperti mekanisme reward dengan tujuan dapat memberikan perlindungan, kepastian, dan kemanfaatan serta keadilan bagi semua pihak.

Sekitar tahun 1970, Amerika Serikat berusaha membongkar kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh mafia yang dibentuk oleh imigran-imigran asal Italia. Dalam dunia mafia Italia terdapat sumpah diam (code of silence) atau yang dikenal dengan istilah Omerta.[2] Hal ini yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat mengenal praktik perlindungan terhadap para saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang berusaha dan beritikad baik dalam rangka pemberantasan dan membongkar suatu tindak pidana dalam kejahatan yang melibatkan banyak orang dan terorganisir.[3]

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, memberikan apresiasi terhadap para saksi pelaku di konteks hukum Indonesia sangatlah sulit. Alasan yang sering dikemukakan oleh penegak hukum ialah bahwa saksi pelaku ini juga berkontribusi dalam tindak pidana. Namun, amat disayangkan bahwa proses peradilan kerap luput dalam menilai sejauh apa dalam taraf bagaimana dan apa yang mempengaruhi kontribusi seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Hal seperti ini sering terjadi di kasus narkotika. Belakangan ini, Pemerintah Indonesia keras menyuarakan bahwa negara ini dalam situasi darurat narkotika. Maka, penting untuk melihat apakah dalam tujuannya memberantas narkotika para penegak hukum berhasil menangkap para bandar[4] narkoba? Penulis melihat, pada praktiknya, para penegak hukum hanya melakukan penangkapan kepada para perantara yang menyerahkan atau menerima narkotika tersebut.

Ketika berhasil menangkap seseorang atau sekolompok orang dalam kasus narkotika, ini menjadi sebuah kebanggaan bagi para penegak hukum dan tercitrakan sebagai sebuah prestasi besar di media. Tanpa perlu mengetahui siapa ‘bos besar’ dalam kasus ini, pengungkapan seseorang atau sekelompok orang tadi dianggap cukup atau selesai. Jika penegak hukum berpikir lebih jauh, akan lebih baik jika si pelaku yang sudah terungkap tersebut diminta untuk bekerjasama dalam hal mencari siapa ‘otak’ dalam kejahatan ini.

Dalam film Bridge of Spies[5], Tom Hanks berperan menjadi seorang pengacara probono bernama James B. Donovan yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mata-mata Uni Soviet. Pada saat proses penangkapan yang terjadi di apartemennya, si polisi mengatakan:

“…kau akan bebas jika kau mau bekerjasama dengan kami…”

Kurang lebih itulah yang dikatakan oleh si polisi kepada Rudolf Abel, seorang mata-mata Uni Soviet. Dalam film tersebut, Rudolf yang diperankan oleh Mark Rylance, menolak untuk bekerjasama tanpa alasan yang jelas. Pada film tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang dapat dijadikan justice collaborator dalam proses penegakan hukum sejak proses penangkapan. Urusan mau atau tidak, itu dikembalikan kepada si pelaku. Hal demikian belum jamak kita temukan dalam praktik hukum di tanah air.

***

Belum lama ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) pernah mendampingi sebuah kasus drug mule. Seorang perempuan berusia 40 tahun harus menjalani hukuman yang cukup tinggi dengan melalui proses hukum yang, menurut hemat Penulis, tidak perlu ia jalani.

TP, inisial perempuan ini, menjalin hubungan dengan seorang pria asal Ghana, berinisial K. Pria ini mengaku kepadanya memiliki usaha di area Tanah Abang.  Pada awalnya hubungan asmara antara TP dan K ini baik-baik saja, namun semua berubah ketika K meminta tolong kepada TP untuk mengambil barang, yang  baru diketahui belakangan bahwa barang tersebut berisi narkotika) dari D (yang pada akhirnya tertangkap di daerah Bekasi, Jawa Barat).

Setelah berhasil mengambil barang tersebut, TP membawa pulang barang tersebut tempat kosnya di daerah Jakarta Pusat. Selanjutnya, K kembali meminta tolong pada TP untuk memberikan barang tersebut kepada seseorang yang lain. Namun karena saat itu TP merasa lelah, TP menolak untuk mengantarkan barang tersebut.

Pada tanggal 15 Juni 2015, TP dan kekasihnya menginap di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat. Keesokan harinya, TP pulang ke rumah orang tuanya di daerah Bekasi, Jawa Barat, akan tetapi K masih berada di kamar hotel tersebut.

Di tempat terpisah, sebuah jasa ekspedisi memberikan informasi kepada polisi tentang keanehan barang kiriman yang diterima, yaitu 27 kotak alat refleksi. Kemudian polisi melakukan penyelidikan dan polisi menemukan bahwa isi dari kotak tersebut adalah narkotika jenis sabu. Paket tersebut dialamatkan kepada D dan yang mengirim adalah seseorang berinisial M. Setelah polisi melakukan pengembangan, maka terungkaplah bahwa TP juga sebagai orang yang diduga ikut serta dalam transaksi jual beli barang tersebut.

Polisi akhirnya berhasil menangkap TP di rumah orang tuanya. Polisi yang menangkap TP menawarkan sebuah bentuk ‘kerja sama’ agar dapat menangkap pelaku yang lain. TP bersedia melakukan hal tersebut. Di hari penangkapan tersebut, TP diminta oleh K untuk memberikan barang tersebut kepada seorang perempuan berinisial W yang merupakan pacar dari B, teman K. Bukannya menangkap K dan B sebagai ‘otak’ dari perkara ini, polisi justru menangkap W, yang mana hanya melakukan semua ini atas suruhan B yang merupakan pacarnya. Setelah penangkapan tersebut, K dan B sudah berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak dan tidak dapat ditemukan sampai saat ini.

***

Para pengacara publik LBH Masyarakat, yang secara probono menjadi kuasa hukum bagi TP, mengupayakan secara maksimal agar TP dapat dikategorikaan sebagai justice collaborator (dan saksi mahkota nantinya) untuk membantu mengungkap jaringan internasional yang lebih besar. Upaya kami ini, sayangnya, tidak diindahkan oleh penegak hukum. LBH Masyrakat pun sudah mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang sayangnya tak dapat memberikan rekomendasi tersebut.

Jaksa membacakan dakwaan terhadap TP tanpa adanya pengacara. Hal ini kami pandang hal yang amat tidak elok. TP didakwa  dengan Pasal 114 ayat (2) subsidair Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan diancam dengan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Ini jelas pelanggaran akan akses terhadap bantuan hukum dan kesetaraan di depan hukum.

Para pengacara publik dari LBH Masyarakat meminta kepada hakim dalam petitumnya untuk tidak melanjutkan kasus seperti ini karena, dalam pandangan pengacara, posisi TP selaras dengan rumusan Pasal 10 Undang-Undang LPSK.[6] Akan tetapi dalam putusan sela, poin-poin eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum ditolak oleh hakim.

Di sisi lain, TP adalah seorang single mother yang memiliki seorang putra berusia 15 tahun yang sedang duduk di bangku SLTP. Jaksa Penuntut Umum menuntut TP dengan 17 tahun penjara. Jika Majelis Hakim memenuhi tuntutan JPU, si anak yang ditinggalkan tersebut sudah berusia ± 32 tahun saat TP keluar dari penjara. Selama 17 tahun juga, si anak tersebut akan tumbuh tanpa mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu yang merupakan satu-satunya orang tuanya.

Tim penasihat hukum harus menunggu selama empat minggu lamanya hanya untuk mendengarkan isi tuntutan dari JPU. Sedangkan tim penasihat hukum hanya diberi waktu tiga hari untuk menyusun pembelaan. Jelas terlihat ada ketidakadilan dalam hal pemeberian waktu dalam persiapan berkas.

Setelah tim penasihat hukum membacakan nota pembelaan dan ‘meneriakan’ segala argumentasi, ternyata Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan putusan di hari itu juga, Sidang diskors selama lima menit untuk memberikan waktu kepada Majelis Hakim agar berpikir. Dengan helaam napas dan tetesan air mata, TP mendengar angka tiga belas tahun diganjarkan Majelis Hakim pada dirinya. Setelah berdiskusi dengan tim penasihat hukum, TP menjelaskan bahwa dirinya menerima dan berusaha ikhlas.

Satu perkara sudah selesai, namun ada tanya yang tak kunjung usai. Untuk apa semua ini? Mengapa penegak hukum tidak bekerjasama dengan TP untuk membongkar jaringan perdagangan gelap narkotika yang lebih besar? Mengapa perang itu harus dikobarkan kepada mereka yang lemah?  Leges Sine Moribus Vanae.

 

Penulis: Yosua Octavian Simatupang

Editor: Yohan Misero

 

[1] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Citra Aditya Bakti; Bandung; Hal. 107

[2] Omerta adalah sumpah para mafia untuk menyimpan rahasia. Tidak membocorkan informasi apapun kepada siapapun yang bukan anggotanya. Menjaga rahasia sudah menjadi kewajiban dan tugas mulia yang dipercaya kepada anggota mafia, yang dikenal dengan Mafioso. Klan sebuah mafioso bisanya akan berhubungan dengan klan yang lain.

[3] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Op.cit.

[4] Bandar narkoba dapat diartikan sebagai orang yang mengendalikan suatu aksi kejahatan narkoba secara sembunyi-sembunyi atau sebagai pihak yang membiayai aksi kejahatan itu. Dalam praktiknya, bandar narkoba itu antara lain: orang yang menjadi otak di balik penyelundupan narkoba, permufakatan kejahatan narkotika, dan sebagainya. Jawaban Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., dalam pertanyaan: Apakah Bandar Narkotika Sama Dengan Pengedar? Lihat: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotika-sama-dengan-pengedar

[5] Film Biodrama Thriller asal Amerika Serikat yang di produksi pada tahun 2015 dan disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini dibintangi oleh Tom Hanks, Mark Rylance, Amy Ryan, dan Alan Alda. Bridge of Spies berlatar tragedi 1960 U-2.

[6] Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

en_USEnglish