Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Press Release – Humprey Jefferson\’s Execution is Illegal!

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat strongly protest the decision to execute death row imate, Humprey Ejike/Humprey Jefferson, on the third round of execution in the near time future.

LBH Masyarakat has lodged a clemency request on behalf of Humprey Jefferson on Monday, 25 Jully 2016 through Central Jakarta District Court with registration number: 01/grasi/2016. Article 3 of the Law Number 22 Year 2002 regarding Clemency stated that “clemency request does not postpone the implementation of court judgement, except for death sentence.” From this article, it is clear that in the situation where a clemency request has been lodged and there is no decision on it yet, the execution of death sentence against Humprey Jefferson is illegal, and therefore could not be carried out.

Humprey Jefferson has suffered from unfair trials on his case.

First, his case is fabricated, and the person who set him up, Kelly, has admitted this. Before he died, Kelly admitted that he set up Humprey, and he asked for Humprey forgiveness. This moment was witnessed by seven people, and their testimonies has been submitted to the Supreme Court as part of evidence for judicial review. However, these testimonies were ignored by the Supreme Court because, according to them, it has no legal power

Second, the Central Jakarta District Court’s judgement that sentenced Humprey to death contains a racist consideration. As stated on the judgement, one of the considerations in sentencing Humprey to death is that “bearing in mind thath […] black people coming from Nigeria are often become police surveillance target.” Albeit the fact that many Nigerians are under police surveillance for illicit drug trafficking, it does not mean that all Nigerians are involved in illicit drug trafficking.

The decision to execute Humprey Jefferson in the near time despite the unfair trials that he had suffered and the fact thath he is still waiting for his clemency to be decided is a violation of law. It shows that the Attorney General’s Office does not obey the rule of law. It is important to note that if one of the justice pillars does not respect the law, what kind of law enforcement that will be developed?

LBH Masyarakat urges the Attorney General’s Office and the Indonesian President, Joko Widodo, to halt the execution plan and urgently evaluate the policy and practice of death sentance in Indonesia

Cilacap, 26 July 2016

Contact Person: Ricky Gunawan   (+628121067765)

Rilis Pers – Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

Nusa Kambangan,

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Rilis Pers – EKSEKUSI MERRI UTAMI DOSA PEMERINTAH

LBH Masyarakat mengecam keras rencana eksekusi  Merri Utami. Bukan hanya karena nyawa setiap manusia itu berharga, pembunuhan yang akan dilaksanakan terhadap Merri Utami juga penuh dengan kesalahan.

Pertama, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum telah mendaftarkan grasi atas nama Merri Utami ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Selasa, 26 Juli 2016. Dengan tetap memasukkan Merri ke dalam rencana eksekusi, Pemerintah Indonesia tidak hanya melanggar hak seseorang terpidana melainkan juga telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum internasional. Pasal 6 dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati harus memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf atau komutasi atas hukumannya. Sistem hukum Indonesia memfasilitasi hak dalam Konvensi ini dengan kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada presiden. Selama presiden belum memutuskan untuk menerima atau menolak grasi, sesuai pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan dan dibenarkan secara hukum.

Kedua, Pemerintah menutup mata pada kerentanan perempuan yang menjadi kurir narkotika. Kasus Mary Jane seharusnya cukup memberikan pelajaran bahwa perempuan dan buruh migran sangat rentan dieksploitasi oleh jaringan peredaran narkotika. Kemiskinan yang membuat perempuan-perempuan memilih menjadi buruh migran, pergi ke sebuah negeri yang tidak pernah mereka jejaki sebelumnya, membuka peluang yang sangat besar bagi sindikat gelap untuk mengeksploitasi mereka.

Ketiga, kasus Merri penuh dengan pelanggaran hukum dan penyiksaan. Selama proses penyidikan Merri mendapatkan kekerasan fisik, berupa pemukulan hingga ia mengalami gangguan penglihatan. Ia pun mendapatkan pelecehan seksual dan ancaman akan diperkosa oleh oknum penegak hukum. Merri juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai selama proses penyidikan sampai proses persidangan. Penyiksaan baik fisik maupun seksual ini menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak dapat menjamin tegaknya rule of law.

Berdasarkan tiga poin di atas, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum Merri Utami, mendesak pemerintah untuk:

  1. Menghapus nama Merri Utami dari daftar terpidana yang akan dieksekusi mati;
  2. Menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh Merri Utami; dan
  3. Memasukkan pertimbangan-pertimbangan kerentanan perempuan dalam menanggulangi kasus narkotika yang melibatkan kurir narkotika perempuan.

 

Jakarta, 26 Juli 2016

Arinta Dea – Analis Jender LBH Masyarakat

Rilis Pers – EKSEKUSI HUMPREY JEFFERSON TIDAK SAH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memprotes keras penetapan Humprey Ejike/Humprey Jefferson sebagai terpidana mati yang akan dieksekusi dalam gelombang III dalam waktu dekat.

LBH Masyarakat telah mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey Jefferson pada hari Senin, 25 Juli 2016 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan registrasi nomor: 01/grasi/2016. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Makna pasal ini cukup jelas, bahwa dengan didaftarkannya grasi dan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum.

Humprey Jefferson sendiri mengalami banyak pelanggaran fair trial (hak atas pelanggaran yang jujur).

Pertama, kasusnya direkayasa, dan individu yang menjebaknya, Kelly, sudah mengaku penjebakan tersebut. Kelly kini sudah meninggal, tetapi sebelum meninggal Kelly sempat mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Humprey. Kejadian ini disaksikan oleh tujuh orang saksi dan kesaksian tersebut telah diserahkan sebagai bukti Peninjauan Kembali. Tetapi oleh Mahkamah Agung kesaksian tersebut tidak dianggap memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana mati terhadap Humprey Jefferson mengandung pertimbangan hukum yang rasis. Disebutkan di dalam putusan tersebut “menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian”. Bahwa mungkin benar banyak warga negara Nigeria terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tetapi bukan berarti semua warga negara Nigeria pasti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penetapan Humprey Jefferson yang akan dieksekusi dalam waktu dekat padahal yang bersangkutan masih menunggu putusan grasi dan di saat yang bersamaan kasusnya sendiri penuh pelanggaran hak hukum, menunjukkan ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap pranata hukum (rule of law). Apabila salah satu pilar penegakan hukum saja tidak menghormati hukum yang berlaku, penegakan hukum seperti apa yang hendak kita bangun?

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kejaksaan Agung dan Presiden Joko Widodo membatalkan pelaksanaan eksekusi mati untuk seluruhnya dan segera mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

 

Cilacap, 26 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

 Tanda Terima Permohonan Grasi Humprey Jefferson

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Pernyataan Sikap Bersama Masyarakat Sipil Terkait dengan Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

SAATNYA MENGEDEPANKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENANGGULANGI PERSOALAN NARKOTIKA

Pernyatan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia terkait dengan

Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

___

Pada tanggal 19-21 April 2016 di New York, Amerika Serikat, akan berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sesi Spesial mengenai Permasalahan Narkotika Dunia (United Nations General Assembly Session atau biasa disingkat dengan UNGASS 2016).

Sehubungan dengan dilangsungkannya UNGASS 2016 yang akan dihadiri oleh negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana lazimnya proses negosiasi politik multilateral tingkat tinggi di mana pemerintah sebuah negara berpartisipasi, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil adalah kemutlakan. Dalam konteks ini, Pasal 3 (e) dan Pasal 6 Resolusi PBB Nomor 70/181 mengenai UNGASS 2016 telah menjamin dibukanya ruang keterlibatan masyarakat sipil dalam memberikan kontribusi di setiap tahapan persiapan UNGASS, termasuk di level nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya melibatkan masyarakat sipil di dalam tahapan persiapan menuju UNGASS 2016.

Pada bulan Desember 2015, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia telah menginisiasi koordinasi terkait UNGASS di tataran instansi pemerintahan. Namun sayangnya, upaya yang dimulai sejak Desember 2015 belum melibatkan masyarakat sipil. Pada bulan Februari 2016, LBH Masyarakat telah mengingatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kemlu mengenai pentingnya membuka ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil ini. Namun dua bulan berlalu, permintaan LBH Masyarakat tesebut tidak kunjung direspon oleh BNN dan Kemlu. Baru satu minggu sebelum UNGASS, Pemerintah Indonesia mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk hadir di dalam rapat koordinasi. Tetapi, rapat koordinasi yang diadakan hanya satu minggu sebelum UNGASS berlangsung menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat sipil secara berarti dalam perumusan sikap dan pernyataan pemerintah untuk ikut membentuk kebijakan narkotika global. Rapat tersebut seakan dipaksakan agar pemerintah dapat mengklaim telah melibatkan masyarakat sipil dalam proses UNGASS.

Kedua, kebijakan narkotika Indonesia saat ini telah memunculkan sejumlah konsekuensi negatif berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kriminalisasi pemakaian narkotika sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah bentuk pelanggaran hak atas kesehatan pemakai narkotika dan justru memunculkan serangkaian pelanggaran HAM lainnya. Kriminalisasi pemakaian narkotika membuat pemakai narkotika enggan dan sulit mengakses program pemulihan ketergantungan narkotika dan menjauhkan mereka dari penjangkauan layanan kesehatan, karena khawatir akan pemenjaraan. Memenjarakan pemakai narkotika justru makin menyuburkan peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan. Artinya, kriminalisasi pemakaian bukannya menurunkan angka ketergantungan, tetapi malah meningkatkannya dan memperburuk kondisi kesehatan pemakai narkotika. Dengan kriminalisasi pemakaian narkotika, pemakai narkotika juga semakin rentan mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

Kebijakan kriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan narkotika juga telah memenjarakan banyak orang hingga penjara-penjara di Indonesia harus menampung narapidana lebih dari kapasitas yang semestinya. Anggaran penegakan hukum pun jadi membengkak, dari tahap penyelidikan sampai pemenjaraan, disebabkan oleh menumpuknya kasus-kasus semacam ini.

Ketiga, kebijakan narkotika Indonesia yang punitif juga semakin melanggengkan praktik hukuman mati dan eksekusi.  Presiden Joko Widodo telah mengeksekusi empat belas orang pelaku tindak pidana narkotika pada tahun 2015 dalam kurun waktu empat bulan. Sejak eksekusi dilakukan, angka peredaran gelap narkotika terbukti tidak menurun. Justru peredaran gelap narkotika semakin marak, dan dari banyak kasus terungkap bahwa aparat penegak hukum pun terlibat dalam peredaran gelap tersebut. Pemerintah seharusnya tidak menutup pada fakta dan bukti dalam merumuskan sebuah kebijakan. Intensi dari eksekusi mati yang dilakukan oleh Indonesia adalah memberantas peredaran gelap narkotika. Tetapi ketika peredaran gelap narkotika tetap marak sekalipun eksekusi mati dilakukan, hal ini jelas menunjukkan bahwa eksekusi mati tidak terbukti berhasil memberantas peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian narkotika serta penguasaan narkotika dalam jumlah terbatas

Sudah saatnya Indonesia mendekriminalisasi pemakaian narkotika secara sungguh-sungguh. Dekriminalisasi adalah tidak sama dengan legalisasi pemakaian narkotika. Dekriminalisasi pemakaian narkotika sesungguhnya selaras dengan pemenuhan hak atas kesehatan dan sesuai dengan semangat pemidanaan modern.

  1. Menghapus hukuman mati dalam perkara narkotika, karena tidak terbukti menurunkan angka kejahatan peredaran gelap narkotika.

UNGASS adalah peluang bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menimbang ulang kebijakan narkotikanya saat ini dan memberikan ruang bagi pendekatan baru yang lebih berpijak pada hak asasi manusia, kesehatan publik, inklusi sosial dan ilmiah. Oleh karena itulah UNGASS menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan narkotikanya agar tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang justru berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Penanggulangan persoalan narkotika haruslah dan dapat sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Jakarta, 17 April 2016

Koalisi Masyarakat Sipil

1. East Java Action (EJA)

2. Human Rights Working Group (HRWG)

3. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

4. Imparsial

5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

6. Jaringan Nasional GWL-INA

7. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

8. LBH Masyarakat

9. Lingkar Ganja Nusantara (LGN)

10. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI)

11. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

12. Pelopor Perubahan Institute

13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)

14. Rumah Cemara (RC)

15. Stigma Foundation

16. Yayasan GAYa NUSANTARA

17. Yayasan Karisma

18. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

19. Yayasan Orbit

Narahubung:

Ricky Gunawan             (rgunawan@lbhmasyarakat.org)

Albert Wirya                  0819 3206 0682 (awirya@lbhmasyarakat.org)

 

Rilis Pers – Pemerintah Indonesia di CND: Sebuah Adiksi pada Perang terhadap Narkotika

Jakarta, 17 Maret 2016

LBH Masyarakat mengkritik pernyataan pemerintah Indonesia di sidang Commission on Narcotic Drugs (CND), Vienna, Selasa silam.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di forum tersebut hanya untuk menjustifikasi pendekatan lama yang usang dan tidak berhasil, tanpa sebuah niat politik untuk melakukan terobosan kebijakan yang progresif.

“Pernyataan delegasi Indonesia di Vienna kemarin tidak lebih dari ikrar kesetiaan pada perang terhadap narkotika, yang terbukti gagal dan justru lebih berbahaya bagi manusia daripada narkotika itu sendiri. Rezim pelarangan terhadap narkotika atau prohibisionis justru menempatkan narkotika di tangan para sindikat perdagangan gelap yang tidak peduli pada apapun selain keuntungan finansial,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat.

“Kami melihat bahwa pemerintah masih bebal dengan menggunakan pendekatan yang utopis mengenai dunia yang bebas dari narkotika. Hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang condong pada penguatan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang kemudian mendorong situasi yang punitif dan represif,” tambahnya.

Lebih lanjut, Yohan menjelaskan, “Bahkan ketika berbicara tentang perawatan, pemerintah dengan bangga menceritakan soal IPWL, Institusi Penerima Wajib Lapor, yang mana, dengan meminjam kata-kata pemerintah sendiri di Vienna, adalah ‘sebuah upaya rehabilitasi paksa’. Bentuk perawatan yang demikian melanggar berbagai aspek hak asasi manusia, tidak efektif, dan bahkan sudah berulang kali ditentang oleh banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).”

“Pemerintah dengan amat halus menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan narkotika perlu ada langkah-langkah serius yang luar biasa. Pernyataan ini kemudian juga disambung dengan penekanan prinsip non-intervensi. Dalam satu kaca mata, pernyataan ini menjadi pembenaran langkah-langkah pemerintah yang punitif dan tidak humanis dalam memerangi narkotika, seperti hukuman mati.”

“Pemerintah seharusnya memandang forum CND kali ini sebagai sebuah persiapan menuju Sesi Khusus Sidang Umum PBB tentang Permasalahan Narkotika, UNGASS, pada April nanti. UNGASS dipercepat pelaksanaannya karena permintaan beberapa negara Amerika Latin yang lelah menyaksikan kondisi kawasannya yang semakin kisruh karena perang terhadap narkotika. Semestinya, pemerintah melihat sebuah kebutuhan akan perubahan, bukannya terus memegang teguh pendekatan lama yang terbukti gagal,” Yohan menjelaskan.

“Untuk mengatasi permasalahan narkotika, Indonesia, seperti banyak negara lain, memerlukan metode dan alternatif baru yang berbasis ilmiah dan mengedepankan hak asasi manusia. Dengan cara-cara yang Indonesia lakukan hari ini, justru telah memenjarakan banyak orang hanya karena konsumsi dan kepemilikan narkotika skala kecil; meningkatkan angka kematian akibat narkotika karena pemakai narkotika enggan dan tidak dapat mengakses perawatan dalam situasi kebijakan narkotika yang mencekam; menyuburkan praktik korupsi di lingkungan penegakan hukum; serta melanggar hak asasi manusia seperti: hukuman mati, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan rehabilitasi paksa.”

“Dokumen akhir UNGASS masih terbuka untuk perubahan sampai di New York, April nanti. LBH Masyarakat masih berharap bahwa pemerintah mau mendengar, membuka diri, dan mendukung mosi reformasi kebijakan narkotika global. Ini adalah momentum perubahan yang kami harap pemerintah tidak sia-siakan. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa ini juga bisa menjadi momentum penahbisan metode-metode brutal dalam mengatasi masalah narkotika, baik di tingkat global maupun nasional,” tutup Yohan.

Narahubung:

Yohan Misero (085697545166)

[i]

Rilis Pers – Tes Urine Dadakan Kepala Daerah: Mengukuhkan Stigma Terhadap Pemakai Narkotika

Jakarta, 16 Maret 2016

LBH Masyarakat menentang rencana Pemerintah Indonesia melakukan tes urine dadakan kepada semua kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia. LBH Masyarakat memandang bahwa tes yang dilakukan tanpa didahului pemberitahuan tersebut secara tidak langsung telah mengukuhkan stigma buruk terhadap pemakai narkotika.

Tertangkapnya Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi,[i] Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada awal minggu ini telah menjadi momentum bagi pemerintah untuk meneriakkan kembali slogan-slogan perang terhadap narkotika yang tidak efektif tersebut. Hal ini memunculkan gagasan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia,  Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk melakukan tes urin dadakan pada pemimpin-pemimpin daerah.[ii]

“Apa yang dicanangkan oleh Kepala BNN ini akan mengukuhkan stigma buruk terhadap pengguna narkotika. Kepala dan wakil kepala daerah seharusnya dinilai dari prestasinya selama menjabat atau apakah ia korup atau tidak. Pemakaian narkotika adalah masalah kesehatan dan oleh karena itu tidak sepatutnya dijadikan landasan untuk menstigma atau menilai seseorang,” ujar Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat, Yohan Misero.

“Jika seorang kepala daerah saja harus dinilai dari hal seperti ini, masyarakat akan memiliki pemahaman untuk juga menghakimi sesama warga masyarakat dengan hal yang sama. Seseorang yang menggunakan narkotika akan dipandang sebagai seseorang yang bermasalah, tidak cocok bergaul di tengah masyarakat, harus dijauhkan, serta tidak dapat menjadi seorang manusia yang produktif. Padahal dalam kenyataannya yang kita temui justru sebaliknya, banyak sekali pemakai narkotika yang dapat menjadi warga yang produktif dan berkontribusi pada masyarakat di sekitarnya. Pemerintah seharusnya mendorong kebijakan atau situasi yang lebih merangkul pemakai narkotika. Disadari atau tidak, inisiasi tes dadakan ini akan memperburuk stigma terhadap pemakai narkotika,” kata Yohan.

“Memang dalam kenyataannya, di negara ini konsumsi narkotika adalah suatu aktivitas yang ilegal, namun tidak serta merta hal tersebut menjadi justifikasi terhadap rencana ini. Sebagaimana di banyak belahan dunia, Indonesia sudah saatnya memikirkan ulang soal kriminalisasi pemakaian narkotika, yang mana terbukti buruk bagi situasi kesehatan masyarakat umum, meningkatkan stigma, serta memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan lebih dari kapasitas yang seharusnya,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat juga menyesalkan sikap BNN yang memproses Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi secara pidana.[iii] “BNN seharusnya melihat riwayat pemakaian narkotika seseorang dan sejauh apa ia terlibat dalam perdagangan gelap narkotika. Jika ia hanya seorang konsumen, seharusnya seseorang diberikan perawatan bukannya dimasukkan ke dalam penjara,” ujar Yohan.

Sebagai penutup, Yohan juga mengingatkan kepada media massa untuk melakukan pemberitaan secara berimbang, “Berita soal seorang kepala daerah memakai narkotika memang amat renyah dan mudah dijual, namun di sisi lain media juga seharusnya tidak lupa untuk memposisikan seorang pemakai narkotika sebagai seorang korban kebijakan, bukannya seorang penjahat yang harus ditangkap dan dipenjara. Dalam kasus ini, wajar ada kemarahan karena kita sedang berurusan dengan pejabat. Namun ketika narasi punitif yang sedang didengungkan oleh pemerintah ini justru menimpa orang-orang terdekat kita, haruskah saat itu baru kita berpikir ulang?”

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

 

[i] https://m.tempo.co/read/news/2016/03/14/063753389/positif-pakai-narkoba-bupati-ogan-ilir-dibawa-ke-bnn

[ii] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/16/10502601/Mendagri.Izinkan.BNN.Tes.Urine.Kepala.Daerah.secara.Dadakan

[iii] https://news.detik.com/berita/3164559/buwas-bupati-nofiandi-bukan-korban-tapi-pemakai-narkoba-yang-sudah-lama

Relawan Media Monitoring Maret-Juni 2016

Jika kamu tertarik dengan persoalan narkotika, penghukuman, LGBT, stigma dan diskriminasi HIV, dan kesehatan jiwa, LBH Masyarakat sangat ingin mengenalmu!

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat adalah sebuah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma, melakukan penelitian dan analisis, serta melakukan upaya advokasi kebijakan untuk membela hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Saat ini kami berkonsentrasi pada komunitas pemakai narkotika, LGBT, pekerja seks, orang dengan gangguan jiwa, orang dengan HIV/AIDS, tahanan/narapidana, serta mereka yang terancam hukuman mati/eksekusi.

Kami sedang membutuhkan relawan (volunteer) yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya hingga Juni 2016. Ini adalah kesempatan yang sangat menarik buat kamu yang tertarik untuk memiliki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya. Pengalaman yang kamu dapat dari masa kamu menjadi relawan juga akan bermanfaat saat kamu bekerja, apa pun pilihan karir kamu nanti.

Kami mencari mahasiswa yang:

  • Memiliki ketertarikan pada hak asasi manusia dan komunitas yang terpinggirkan
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia melalui penelusuran media, serta memantau perkembangan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan konsentrasi isu LBH Masyarakat.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 18 Maret 2016.

“Love is the answer, and you know that for sure; Love is a flower, you\’ve got to let it grow.”

― John Lennon

Kontribusi Kami untuk UNGASS 2016

Sesi Khusus Sidang Umum PBB (UNGASS) 2016 mengenai permasalahan narkotika akan segera diadakan di New York pada 19-21 April 2016 nanti. Kantor PBB untuk Urusan Narkotika dan Kriminal (UNODC) membangun sebuah sistem di mana masyarakat sipil dapat memberikan kontribusi  sebagai bahan serta rujukan diskusi untuk UNGASS 2016 ini, dalam berbagai bentuk seperti buku, laporan penelitian, film, surat, dan lain-lain.

Pada 3 Maret kemarin, kami telah mengirimkan kontribusi kami dan sudah dimuat juga di situs resmi UNGASS 2016. Teman-teman sekalian juga dapat mengunduh kontribusi kami tersebut melalui tautan berikut: 000316_A Proposal for UNGASS 2016_The Momentum for Change_LBHMasyarakat.

en_USEnglish