Mengapa Perlu Merevisi KUHP?
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini dinilai banyak pihak sudah tidak relevan dengan sistem hukum pidana yang ideal. Secara spesifik, hal ini menyangkut pengaturan tentang hukuman yang didominasi dengan hukuman pembatasan kebebasan bergerak, atau pemenjaraan, yang menjadi jenis hukuman yang paling banyak dijatuhkan. Konstruksi ini berdampak terhadap populasi penjara yang terus meningkat setiap bulan, sebagaimana disajikan dalam sistem database pemasyarakatan yang menggambarkan bahwa populasi penghuni penjara di bulan Januari 2015 sebanyak 165.008 orang sedangkan di bulan Januari 2016 sebanyak 178.345 orang. Angka ini menunjukan bahwa populasi penghuni penjara mengalami kenaikan sebanyak 13.337 orang. Pada bulan Juli dan Agustus terdapat penurunan yang dipengaruhi program remisi untuk Idul Fitri dan remisi kemerdekaan 17 Agustus. Namun, di bulan-bulan selanjutnya, populasi penjara kembali mengalami peningkatan.
Merujuk pada data tersebut, dapat dikatakan bahwa populasi penjara tidak pernah surut. Hal ini terjadi secara struktural karena dipengaruhi oleh rumusan hukuman pidana yang termuat dalam KUHP, yang saat ini masih mengadopsi penjara sebagai solusi penghukuman yang paling mujarab. Denda, di sisi lain, adalah jenis penghukuman yang, dalam beberapa pasal di KUHP, dapat diterapkan sebagai alternatif dari penjara. Sungguh tragis, denda kerap tidak digunakan karena ketiadaan aturan yang selevel dengan KUHP (undang-undang) tentang penyesuaian nilai denda di KUHP dengan nilai uang saat ini. Kondisi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap meningkatnya populasi penjara.
Di samping itu, di dalam Buku ke-II KUHP, yang mengatur 564 jenis tindak pidana, terdapat 235 jenis tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun dan 329 jenis tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun. Sebanyak 235 jenis tindak pidana, yang diancam hukuman penjara dibawah 5 (lima) tahun berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak dapat dikenakan penahanan. Landasan yuridis ini secara praktis dapat menjadi acuan bagi aparat penegak hukum dalam menekan populasi penghuni penjara.
Akan tetapi, dalam praktiknya, orang-orang yang diduga melanggar ketentuan pidana sangat sering dipenjara mengingat tindak pidana yang diancam hukuman penjara di bawah 5 (lima) tahun merupakan tindak pidana yang jarang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa contoh tindak pidana ini adalah tindakan membuka rahasia (Bab XVII KUHP), perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak (Bab XXVI KUHP), dan sebagainya.
Tindak pidana yang diancam hukuman penjara di atas 5 (lima) tahun, seperti pencurian dan perjudian, misalnya, merupakan tindak pidana yang lebih sering dilakukan oleh masyarakat ekonomi lemah. Hal ini membuat penghuni penjara lebih didominasi oleh masyarakat ekonomi lemah. Pengalihan jenis penahanan yang sudah ada di ada di dalam KUHP tidak bisa dijalankan karena banyak ketentuan pidana yang sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat dan banyak pasal yang tidak berfungsi dalam menanggulangi kecanggihan suatu tindak pidana.
Berangkat dari uraian tersebut, maka perubahan terhadap KUHP merupakan kebutuhan yang mendesak dalam rangka harmonisasi peraturan dengan rasa keadilan masyarakat. Terkait dengan hal itu, sudah tepatlah program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016 yang memasukkan revisi KUHP. Namun, pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP), yang dilakukan oleh DPR RI saat ini, seyogyanya melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan masukan agar tercipta KUHP yang humanis dan adil.
Penulis: Muhammad Afif
Editor: Yohan Misero