Skip to content

Anak dengan Disabilitas Mental Ditelantarkan Negara Sendirian dalam Ruangan Arsip Kantor Polisi Tanpa Perawatan: MAS Ajukan Permohonan Praperadilan

May 19, 2025 Siaran Pers

Jakarta, 19 Mei 2025 – Seorang anak berhadapan dengan hukum (ABH), berusia 15 tahun, MAS, yang mengalami disabilitas mental telah ditahan secara sewenang-wenang di sebuah ruang penyimpanan berkas kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan (Polres Jakarta Selatan) selama hampir lima bulan tanpa perawatan medis dan kepastian hukum mengenai kelanjutan kasusnya. Tidak ada dokter. Tidak ada psikolog. Tidak ada teman bermain sebaya. Tentunya juga tanpa ada perhatian dari Negara. Hanya ada tumpukan dokumen dan doa tulus dari ibunya yang menemani malam-malamnya.

Sebelumnya, pada 30 November 2024, ABH tersebut dituduh melakukan dugaan tindak pidana menyebabkan kematian ayah dan neneknya serta menganiaya ibunya pada peristiwa yang terjadi di Lebak Bulus. Namun, hasil pemeriksaan psikologi forensik dari Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR) dan Visum et Repertum Psikiatrikum (VeRP) dari RS Polri bekerjasama dengan Tim Dokter Psikiatri Forensik dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) justru mengungkapkan hal lain: ABH tersebut memiliki disabilitas mental yang bisa mempengaruhi kemampuannya dalam memahami dan menilai tindakannya.

Dari pemeriksaan tenaga ahli kesehatan telah jelas memberikan rekomendasi agar ABH tersebut mendapatkan terapi psikiatri, pendampingan psikologis, serta penanganan di institusi yang memiliki fasilitas kesehatan mental memadai, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan dokumen. Meskipun Kuasa Hukum telah melakukan serangkaian langkah persuasif yang diperlukan agar ABH tersebut bisa diberikan akomodasi yang layak oleh Negara. Namun, hingga hari ini, Negara belum berbuat apa-apa untuk pemenuhan hak-hak ABH tersebut.

Melihat Negara yang terus abai dalam memenuhi hak-hak ABH tersebut. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) selaku Kuasa Hukum yang mendampingi dan mewakili ABH tersebut kemudian pada hari Senin, 19 Mei 2025, secara resmi mengajukan Permohonan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh ABH tersebut sebagai upaya untuk menuntut Negara (dalam hal ini Polres Jakarta Selatan dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Hakim Praperadilan, agar penahanan kepada ABH tersebut dinyatakan tidak sah dan melanggar hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum serta prinsip-prinsip perlakuan yang layak terhadap anak dengan disabilitas mental.

Negara Abai, Hak Anak Dilanggar

Permohonan Praperadilan tersebut juga diajukan karena dilatarbelakangi oleh berbagai pelanggaran serius yang Kuasa Hukum catat, di antaranya:

Pertama, Negara tidak menjalankan sepenuhnya prinsip tujuan kepentingan terbaik bagi anak dalam penegakan hukum kasus ABH tersebut. Khususnya, mengenai ketidakpastian hukum menyangkut kasus ABH tersebut, apakah kasus ABH tersebut akan dilanjutkan sampai tahapan persidangan atau dihentikan pada tahapan penyidikan. Ketidakpastian hukum tersebut telah berdampak pada nasib ABH tersebut menjadi terkatung-katung dan tidak jelas mengenai kelanjutan proses hukum kasusnya. 

Kedua, ABH tersebut ditahan melebihi batas waktu yang diperbolehkan oleh hukum, bahkan masih ditempatkan di kantor polisi hingga hari ini, padahal masa tahanannya telah habis sejak Desember 2024. Penempatan ABH tersebut di kantor polisi tentunya juga bertentangan menurut hukum.

Ketiga, tidak adanya pemenuhan hak atas rehabilitasi dan habilitasi yang dibutuhkan oleh seorang anak dengan disabilitas.

Keempat, tidak adanya akses terhadap pendidikan, lingkungan sosial, atau aktivitas layak anak lainnya.

Kelima, tidak ada respons memadai dari Polres Jakarta Selatan maupun dari KemenPPPA, meskipun permintaan tertulis telah diajukan.

Bukan Cuma Sekadar Penegakan Hukum, Pemenuhan Hak Anak Berhadapan dengan Hukum tetap Harus Dipenuhi Negara

Dalam SPPA, ABH sepatutnya tidak dapat dipandang sebagai pelaku tindak pidana semata, melainkan harus juga dilihat sebagai korban, terlebih jika ABH tersebut memiliki disabilitas mental. Oleh karenanya ABH tersebut pantas dipulihkan, bukan dikurung dalam sebuah ruangan kecil untuk penyimpanan arsip bersama tumpukan berkas dokumen Polres Jakarta Selatan. 

Permohonan Praperadilan ini bukan sekadar tuntutan hukum semata. Ini seruan untuk menyelamatkan satu jiwa anak yang masih punya hak atas masa depan yang cerah, yang seharusnya mendapat perlindungan dari Negara, bukan justru penelantaran.

Berdasarkan hal tersebut, Kuasa Hukum mendesak hal-hal, sebagai berikut:

  1. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penahanan ABH tidak sah secara hukum.
  2. Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan pemindahan segera ABH ke institusi rehabilitasi kesehatan yang layak dan memadai, yaitu RSCM. Dengan biaya yang ditanggung oleh Negara.
  3. Lembaga pengawasan seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Negara dalam pemenuhan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
  4. Pembenahan sistemik oleh Negara agar kasus serupa tidak terulang lagi di masa depan.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum ABH

Ma’ruf Bajammal

 

Kontak:

Maruf (Pengacara Publik LBH Masyarakat) – 0812 8050 5706

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *