Siang Itu.
Jakarta sedang panas-panasnya. Dan saya, seperti banyak orang lain, disibukkan dengan pekerjaan. Saya harus pergi menemui seseorang untuk diwawancara. Bersama seorang pengendara transportasi online, saya lawan terik dan berangkat ke utara.
Kami berjanji untuk bertemu di sebuah motel di Penjaringan. Saat tiba, saya disambut hangat sesosok pria bertopi dengan polo lusuh berwarna oranye. Umurnya kurang lebih 50 tahun. Namanya Suherman. Di dekat motel, kami menemukan sebuah sudut yang cukup nyaman dan tidak terlalu bising. Ditemani dua gelas kopi panas dari penjual kopi keliling, kami pun mulai berbincang.
Dicuri, Dicari.
Pak Suherman sehari-hari bekerja sebagai tukang las karbit di depan motel itu. Dulu, ia adalah seorang karyawan – juga sebagai tukang las – di sebuah pangkalan taksi di Latumenten, Jakarta Barat. Suatu hari, ia dan teman-temannya diberhentikan tanpa alasan yang jelas. Hal yang tentu menyakitkan bagi Pak Suherman mengingat ia sudah bekerja belasan tahun di sana. Pemecatan tanpa dasar ini yang mendorongnya mencari keadilan bagi dirinya dan teman-temannya yang mengalami nasib yang sama.
Ia tiup kopinya yang beruap, menyeruputnya perlahan, lalu mulai menceritakan kronologis pemecatan itu. “Jadi waktu itu, tempat saya bekerja sedang kebanjiran yang tingginya tuh setengah meter, Mas,” terangnya. “Walaupun banjir, saya tetap masuk. Walaupun udah ujan-ujanan dan kebanjiran, saya mesti perbaikin mobil. Pas udah jam istirahat, saya berusaha minta uang makan ke bos. Saya malah dimarahi. Saya dan teman-teman diusir dari ruangan bos. Besoknya, saya malah diberhentikan tanpa alasan.” Ia sudah merasa ada iktikad dari atasannya untuk memberhentikan dirinya, “Uang gaji saya sering dikurangin, Mas. Sama sering ga dapet uang makan juga. Ya, saya sabarin aja. Yang penting, dapur saya bisa ngebul.”
Apa yang menimpa Pak Suherman ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan. Mulai 2005, hal ini diproses secara hukum. Kuasa hukum Pak Suherman maju ke Panitia Penyelesaian Permasalahan Perburuhan Daerah Provinsi DKI Jakarta (P4D). Kasus ini pun terus berlanjut hingga inkracht di Mahkamah Agung (MA): ganti rugi materiil senilai 27 juta rupiah untuk Pak Suherman. Putusan adalah satu hal, implementasinya adalah hal lain. Sepanjang 2010, sudah dua kali eksekusi diupayakan namun selalu menemui kegagalan. “Padahal Mas, kata orang pengadilan tinggal eksekusi aja. Saya bingung, kok ga bisa dieksekusi juga.” Sudah tiga kali Pak Suherman berganti kuasa hukum dan semuanya menemui kegagalan yang sama, “Saya sempat mikir, apa benar ya hukum bisa dibeli?”
Kegagalan-kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Tahun 2015, ia datang ke Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dengan sepeda tuanya – alat transportasinya sehari-hari. Ia kemudian mempercayakan sepenuhnya kasus ini ke LBHM. Namun demikian, Pak Suherman tetap harus menemui jalan berliku. Mulai dari melayangkan surat ke Peradilan Hubungan Industrial (PHI) terkait informasi perkembangan kasus beliau dan juga melayangkan surat ke pemilik perusahaan yang berakhir pada tidak adanya respon dari kedua belah pihak. Di 2016, aduan juga dilayangkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pada 2017, tiga somasi disampaikan kepada pemilik perusahaan namun tidak ada respon sama sekali. Belum lagi dugaan hilangnya berkas perkara milik Pak Suherman. “Saya biarin ajalah bergulir. Ingin tahu bisa sampai mana.” 2018 kemarin menjawab penantiannya. Ahli waris tergugat akhirnya menyanggupi putusan MA, yang jatuh pada 2008, untuk memenuhi hak Pak Suherman yang telah tertunda tiga belas tahun lamanya.
Sama Saja Seharusnya.
Deru mesin dan klakson kendaraan menemani percakapan kami. Langit mulai mendung. Saya nyalakan sebatang rokok dan bertanya tentang apa saja yang sudah ia korbankan untuk ini. “Ngambil uang pesangon ini aja cukup banyak penderitaan yang saya alami, Mas. Banyak liku-likunya. Pernah waktu itu saya pulang dari pengadilan, di kolong tol saya ditabrak mobil. Sepeda saya hancur. Untungnya, saya tidak apa-apa.” Pada masa memperjuangkan haknya ini, Pak Suherman juga ditinggal sang istri yang meninggal dunia tujuh tahun lalu karena penyakit angin duduk (angina). Ia kemudian harus berjuang sendiri mengurus keluarganya. “Saya sekarang tinggal sama anak saya yang pertama (Pak Suherman memiliki lima anak – Red.). Sisanya, udah berkeluarga sama udah ada yang ngontrak rumah,” pungkasnya. Anak pertama Pak Suherman sering sekali sakit sehingga tak bisa ia tinggal lama. Ia juga bercerita bahwa ia pernah mengalami serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit.
“Ya Mas, hidup saya gini-gini aja. Pekerjaan saya sekarang cuman jadi tukang las karbit, kadang-kadang juga jadi tukang rongsok. Penghasilan juga paling banter cuman sembilan puluh ribu, kadang juga ga dapat sama sekali, Mas,” ungkapnya. Selama ia menawarkan jasanya di depan motel, ia sering ‘diganggu’ Satpol PP. “Untungnya, yang punya motel baik. Saya dibolehi mangkal di sini asal ga buka tenda. Si adek pemilik kadang suka ngasih uang juga ke saya Mas kalo lagi main ke sini.”
Kami pun berpindah ke sebuah tempat loakan yang tak jauh dari sana. Tempat itu penuh dengan gerobak dan barang-barang rongsokan. “Nah, ini Mas tempat nongkrong saya,” jelasnya. “Di sini mah udah kayak rumah saya, Mas. Kadang saya tidur di sini, mandi di sini juga,” katanya sambil tertawa.
“Mas, saya bersyukur ya sama lawyer dan LBHM yang udah bantuin saya sampai berhasil mendapatkan hak saya. Selama ini, saya masih suka berpikir hukum di Indonesia kan cuman punya orang kaya aja. Saya mikir lagi: apakah ada keadilan untuk orang-orang miskin seperti saya ini ya, Mas?” Saya hanya bisa berkata, “Keadilan itu milik semua orang, Pak.” Semestinya.
Dan siang itu, Pak Suherman mengajak saya makan nasi padang di seberang motel. Sambil tersenyum, ia bilang, “Walaupun orang kaya dan orang miskin beda, tapi tetep kalo laper kita harus makan juga kan, Mas?”
Betul juga.
Penulis: Tengku Raka
Editor: Yohan Misero