Ancaman Semu LGBTQ dalam Kajian Wantannas: Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat

Nov 18, 2024 Siaran Pers

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat menyayangkan pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis, 14 November 2024, yang menyajarkan isu LGBTQ sebagai ancaman negara prioritas pada tahun 2025. Pernyataan yang dibuat tanpa dasar logika dan riset yang matang berpotensi menambah aksi persekusi dan kekerasan yang diterima oleh individu LGBTQ di Indonesia.

Di hadapan anggota dewan, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat memaparkan kajian strategis lembaganya tentang dinamika geopolitik nasional dan internasional, serta mengulas isu strategis keamanan pada tahun 2025. Isu LGBTQ masuk ke dalam isu budaya, bersama dengan penguatan jati diri di Papua, konflik pesisir, minta petani untuk generasi muda, kesejahteraan dosen, kualitas sarjana dan mutu pendidikan, budaya antikorupsi, dan konten TV. Dalam sesi tanya-jawab, diskusi yang memosisikan LGBTQ sebagai ancaman juga datang dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI.

Asosiasi LGBTQ sebagai ancaman negara yang perlu ditindak dengan pendekatan sekuritisasi ini keliru dalam setidak-tidaknya tiga poin:

Pertama, pengkategorian LGBTQ sebagai ancaman bangsa justru kontraproduktif dengan tujuan dari Wantannas sendiri yang salah satunya adalah menjaga keamanan bangsa. Dalam RDP tersebut, tercetus anggapan bahwa LGBTQ adalah bom waktu, yang kalau dibiarkan sekarang akan merugikan di masa depan. Pengaitan individu LGBTQ dengan istilah-istilah militeristik ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2016, Ryamizard Ryacudu, mantan Menteri Pertahanan era Jokowi juga mengaitkan LGBTQ dengan nuklir.[1] Perumpamaan yang kering imajinasi ini tidak didukung oleh argumen yang logis dan malah bersifat menakut-nakuti masyarakat awam tentang keragaman orientasi seksual dan identitas gender di Indonesia.

Selama ini, individu LGBTQ adalah salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan dan persekusi. Survei LBHM dan kelompok masyarakat sipil lainnya pada tahun 2022 menunjukkan dari 401 responden LGBTQ, 40.4% pernah mengalami kekerasan fisik yang berakibat luka berat, 35.4% mengalami perusakan tempat tinggal, 43.4% mengalami pemecatan akibat ragam identitasnya, dan 78.8% berisiko tinggi mengalami serangan berupa doxing dan peretasan dengan maksud menghancurkan kredibilitas.[2] Dari situasi tersebut, RDP yang terjadi minggu lalu malah semakin menambah bara dalam kepungan serangan terhadap individu LGBTQ di Indonesia dan memperlemah keamanan bangsa.

Kedua, kajian Wantannas tentang ancaman LGBTQ disebabkan oleh ketidaktahuan tentang ragam identitas gender dan orientasi seksual. Sekjen Wantannas menyatakan bahwa LGBTQ berbahaya karena penambahan identitas queer yang ia definisikan sebagai “Segala sesuatu orang yang orientasi seksualnya masih belum jelas.” Bahkan, ia menyamakan individu queer dengan hubungan seksual manusia dengan binatang (zoophilia), manusia dengan peralatan/boneka (hubungan seksual dengan sex toys), dan pedofilia. Pada kenyataannya, orang heteroseksual dan cisgender[3] pun bisa masuk ke kategori orang yang melakukan hubungan seksual dengan binatang, peralatan dan boneka. Banyak juga individu heteroseksual yang dijatuhi hukuman pidana karena melakukan hubungan seksual dengan anak. Kasus Herry Wirawan, misalnya, menunjukkan bahwa seorang pria heteroseksual bisa melakukan kekerasan seksual kepada 13 santriwati yang berusia dari 14-20 tahun.[4]

Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Wantannas tentang identitas queer. Queer adalah kelompok identitas bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dikelompokkan ke dalam kategori identitas gender atau orientasi seksual yang bersifat kaku. Dengan demikian, istilah queer adalah istilah yang memayungi ragam gender dan seksualitas lainnya (umbrella term). Secara historis, istilah ini awalnya muncul sebagai hinaan, tapi kemudian diambil alih oleh kelompok queer sebagai identitas yang menguatkan, karena dengan istilah tersebut seseorang mendapatkan kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri.[5] Akar etimologi dan histori inilah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih identitas queer tidak sama dengan orang-orang yang melakukan kekerasan seksual.

Ketiga, tidak ada bukti bahwa individu LGBTQ menyebabkan rendahnya angka pernikahan dan penurunan populasi. Pernyataan ini keluar dari Oleh Soleh dari Fraksi PKB Jawa Barat XI, yang mengaitkan perkembangan kehidupan LGBT dan angka pernikahan di Indonesia yang semakin hari semakin menurun. Ia lantas membandingkan kondisi ini dengan negara Korea Selatan di mana, menurut cerita anekdotalnya, sekolah-sekolah kekurangan anak didik sehingga pemerintahnya memohon-mohon negara lain untuk mengirimkan peserta didik ke Korea Selatan.

Tidak ada bukti akademis yang menyatakan bahwa eksistensi dari individu LGBTQ menyebabkan penurunan populasi. Di Korea Selatan, penurunan angka pernikahan dan penurunan angka kelahiran lebih disebabkan oleh harga perumahan yang melambung tinggi, budaya mementingkan kerja di atas segalanya (workism), diskriminasi terhadap perempuan pekerja yang memiliki anak. Semua hal ini mempengaruhi keputusan orang muda di Korea Selatan untuk tidak menikah dan/atau tidak memiliki anak.[6] Bahkan, Korea Selatan belum termasuk negara yang mengakui pernikahan sesama jenis, sehingga mengada-ngada ketika penurunan populasi Korea Selatan dikaitkan dengan individu LGBTQ.

“Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak Wantannas mengkaji ulang isu-isu strategis yang perlu untuk ditangani di 2025,” kata Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. “Individu LGBTQ sudah rentan menjadi target serangan dan diskriminasi yang masif dari berbagai kelompok.”

“Jika Wantannas memang serius hendak mengubah fungsinya dari Dewan Ketahanan Nasional ke Dewan Keamanan Nasional, seharusnya lembaga ini turut berkontribusi untuk melindungi hak-hak dasar dari semua orang di Indonesia, tidak terkecuali individu LGBTQ.”

 

Jakarta, 18 November 2024

 

Narahubung: Albert (0859 3967 6720)

[1] Hakim, Syaiful. “Menhan: LGBT Bagian Proxy War.” Antaranews. 23 Februari 2016. Diakses di  http://www.antaranews.com/berita/546668/menhan-lgbt-bagian-proxy-war

[2] Saputra, A. F. Shabrina, D. Nugraha, R. K. (2022). Sampai Kapan Kami Harus Sembunyi? Laporan Situasi Minoritas Gender dan ragam Orientasi Seksual di Indonesia. Jakarta, Consortium CRM.

[3] Cisgender: Seseorang yang identitas gendernya sama dengan identitas gender yang ditetapkan padanya saat dia lahir.

[4] Budi, Candra Setia. “Perjalanan Kasus Pemerkosaan 13 Santri oleh Herry Wirawan, Kronologi hingga Vonis Mati.” Kompas.com. 4 April 2022. Diakses di https://bandung.kompas.com/read/2022/04/04/225025378/perjalanan-kasus-pemerkosaan-13-santri-oleh-herry-wirawan-kronologi-hingga?page=all.

[5] Andrew, Scottie. “What it means to be queer.” CNN.com. 11 Juni 2024. Diakses di https://edition.cnn.com/us/queer-meaning-lgbtq-cec/index.html

[6] Ahn, Ashley. “South Korea has the world’s lowest fertility rate, a struggle with lessons for us all.” Npr.org. 19 Maret 2023. Diakses di https://www.npr.org/2023/03/19/1163341684/south-korea-fertility-rate

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content