Hukum memiliki sifat memaksa dan bertujuan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Hukum juga tidak pandang bulu dalam menjatuhkan vonis. Itulah kenapa hukum disimbolkan dengan Dewi Keadilan yang matanya tertutup. Namun, privilese yang tidak dimiliki banyak orang, sebut saja tingkat ekonomi dan pendidikan, membuat hukum lebih sering menjerat kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Dalam melawati prosesnya, kelompok marjinal akan sulit mendapatkan keadilan.
Mengingat sulitnya masyarakat yang buta hukum dan tertindas mendapatkan keadilan, peran Pemberi Bantuan Hukum (PBH/advokat) menjadi sangatlah vital, khususnya PBH pro-bono. Pasalnya, tarif yang dikenakan oleh PBH profit bisa mencapai sekitar 100 juta hingga miliaran rupiah per kasus.[1] Padahal, penghasilan masyarakat kecil hanya sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tak heran apabila keberadaan PBH pro-bono sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Sayangnya jumlah PBH pro-bono masih sangat terbatas. Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Ma\’zuma mengungkapkan, setiap tahun pihaknya menangani sekitar 400an kasus hukum. Sementara advokatnya hanya 5 orang.[2] Ini baru satu contoh saja. Untuk mengatasi hal tersebut, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memberdayakan komunitas sebagai paralegal untuk membantu kerja-kerja advokasi mereka.
Belum ada satupun undang-undang yang mengatur definisi paralegal. Namun biasanya definisi paralegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, tetapi mempunyai keterampilan hukum setelah menjalani pembekalan yang diberikan oleh organisasi hukum/hak asasi manusia. Peran paralegal dalam konteks hukum Indonesia dapat dilihat di Permenkumham No. 1 Tahun 2018, di mana Pasal 11 memperbolehkan paralegal untuk memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini dapat dilakukan setelah paralegal tersebut terdaftar pada PBH dan mendapatkan sertifikat pelatihan paralegal tingkat dasar.[3] Bantuan litigasi yang paralegal lakukan adalah menjadi pendamping advokat pada lingkup PBH yang sama. Secara non-litigasi, paralegal melakukan bantuan hukum berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara (baik secara elektronik maupun nonelektronik), penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan perancangan dokumen hukum. Bisa dibilang kerja paralegal selama ini adalah membantu menangani permasalahan hukum atas masalah struktural yang terjadi di masyarakat.Dalam kerja-kerjanya, paralegal berada di bawah bimbingan seorang pengacara atau orang berkemampuan hukum.[4]
Pembentukan paralegal diawali dengan pengorganisasian dengan metode pendekatan kasus struktural. Pendekatan isu-isu struktural yang digunakan yakni isu-isu yang sering ditemui di masyarakat miskin kota dan termarjinalkan atau yang dekat dengan lingkungan mereka. Mayoritas paralegal adalah mereka yang berasal dari komunitas/individu yang memang terkait isu tersebut. Setelah dipilih, kemudian paralegal dilatih dengan menggunakan metode pelatihan on sitetraining, yaitu pelatihan komunitas masyarakat atau menggunakan media yang telah terbentuk.[5]
Kerja paralegal tidak bisa dipandang sebelah mata. Paralegal paham dan mengerti keadaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang didampingi oleh LBH Masyarakat merupakan rujukan dari paralegal. Adalah LM, seorang perempuan posistif HIV yang ditangkap polisi karena dugaan tindakan kriminal. Kasus hukum yang menjeratnya pun tidak lepas dari buruknya persepsi tentang isu HIV di masyarakat sehingga membebani pikiran LM. Hal ini yang sebaiknya juga masuk dalam pertimbangan aparat penegak hukum. Sebaliknya, karena tidak sensitif terhadap isu HIV dan gender, JPU menuntut LM 20 tahun penjara. Namun berkat advokasi yang dikerjakan paralegal dan tim LBH Masyarakat, LM mendapatkan vonis 3 tahun dari hakim, 17 tahun lebih kecil dari tuntutan JPU. Selama proses hukum berlangsung, paralegal dan tim LBH Masyarakat gigih membantu LM mendapatkan layanan kesehatan sehingga ia tetap bisa mengakses ARV. Dalam hal ini paralegal mempunyai peran yang krusial. Sebagai orang yang berasal dari komunitas yang sama, paralegal lebih mudah memberi masukan-masukan hukum kepada korban. Di sisi lain, korban juga lebih percaya masukan yang diberikan oleh paralegal. Peran paralegal juga strategis karena sering membantu pengacara untuk mendapatkan informasi-informasi yang ditutupi oleh klien.
Sayangnya, kerja paralegal harus terhambat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (2018) yang mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah advokat terkait peran paralegal sebagaimana diatur di dalam Permenkumham ini. Mahkamah Agung setuju dengan argumen penggugat bahwa paralegal tidak dapat memberikan pendampingan hukum kepada pihak berperkara di pengadilan (jalur litigasi). Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan, putusan Mahkamah Agung tersebut berpotensi menyebabkan kesulitan bagi masyarakat tertentu untuk mendapatkan pendampingan hukum.
“Selama ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa paralegal dalam pendampingan kasus hukum, tidak semua masyarakat mampu menggunakan jasa advokat, oleh sebab itu putusan MA ini sangat disayangkan”, ujar Afif.
LBH Masyarakat juga memandang bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan hukum kepada semua lapisan masyarakat. Keputusan tersebut mengabaikan realita bahwa kemampuan masyarakat dalam menggunakan jasa advokat tidak sama.[6]
Harus diakui paralegal telah memberikan kontribusi yang banyak dalam permasalah hukum. keberadaan paralegal justru jadi ‘angin segar’ di tengah absennya pemerintah menghadirkan keadilan bagi masyarakat.
Apakah putusan Mahkamah Agung tersebut adalah suatu hal yang dicita-citakan oleh Dewi Keadilan yang matanya tertutup itu?
Penulis: Tengku Raka
Editor: Ricky Gunawan
[1]Pramidia Arhando, “Benarkah Bayaran Pengacara di Indonesia Miliaran Rupiah?”, Kompas, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/01/060000426/benarkah-bayaran-pengacara-di-indonesia-miliaran-rupiah.
[2]Ogi Mansyah, “Warga Miskin Bakal Sulit Mendapat Bantuan Hukum”, Rmol, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui http://www.rmolbengkulu.com/read/2018/07/13/9487/Warga-Miskin-Bakal-Sulit-Mendapat-Bantuan-Hukum-
[3]Permenkumham No. 1 Tahun 2018, Pasal 11
[4]Lalu Ramadhan, “Alasan MA Kabulkan Uji Materi Permenkumham tentang Paralegal”, Tirto, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://tirto.id/alasan-ma-kabulkan-uji-materi-permenkumham-tentang-paralegal-cPlE
[5]YLBHI, “Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin”, Jakarta, 2007. Hal. 53
[6]Tribun Asia, “LBH Masyarakat: Putusan Mahkamah Agung Mengecewakan”, diakses pada 30 Agustsu 2018, melalui https://tribunasia.com/index.php/2018/07/14/lbh-masyarakat-putusan-mahkamah-agung-mengecewakan/