Meski pemerintah Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas), nyatanya itu masih belum berhasil melaksanakan pembangunan yang inklusif bagi orang dengan Sindroma Down. Hal ini tergambarkan dari rendahnya partisipasi mereka dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kondisi ini kemudian menyebabkan rendahnya partisipasi bermakna mereka dalam pembangunan, sehingga tidak mendapat manfaat pembangunan yang sama dengan orang non-disabilitas.
Riset Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tahun 2023 menemukan 23 aturan tentang Orang dengan Sindroma Down yang bertentangan dengan mandat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities/CRPD). Temuan itu mempertanyakan arah dan pijakan atas penghormatan dan perlindungan hak-hak Orang dengan Sindroma Down di Indonesia jika melawan arus dengan konvensi utamanya.
Dari situasi tersebut, ditambah anggapan bahwa orang dengan Sindroma Down seringkali diidentifikasikan lambat dalam berperilaku dan kemampuannya yang hanya dipatok ukuran skor intelligence quotient (IQ), berdampak pada terisolasinya orang dengan Sindroma Down dari hak-hak mereka. Padahal ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa dengan lingkungan yang baik dan hak-hak yang terpenuhi, orang dengan Sindroma Down dapat hidup secara mandiri, di antaranya yang ditulis oleh Martha Beck dalam The Gift of Down Syndrome: Some Thoughts for New Parents.
Data dalam Infografis ini, yang berangkat dari penelitian LBHM berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023), harapannya dapat memberikan penjelasan secara sistematis terkait pemenuhan hak-hak mereka, sehingga dapat menyumbang informasi yang mampu mendorong perubahan kebijakan dan pembangunan yang menyertakan Orang dengan Sindroma Down secara bermakna. Selamat membaca!