Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menyerukan kepada pemerintah dan DPR RI bahwa RUU Penyesuaian Pidana harus menjadi momentum penting untuk memperbaiki ketidakadilan dalam UU Narkotika—mulai dari penghapusan pidana minimum khusus, penataan ulang struktur sanksi, hingga penghapusan hukuman mati—karena kebijakan yang ada saat ini justru memperparah overcrowding, melanggar prinsip HAM, dan menghukum orang-orang yang seharusnya dilindungi.
Pada Selasa, 2 Desember 2025, bertempat di Kompleks Parlemen, Jakarta, JRKN menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, Granat, dan sejumlah pemangku kepentingan lain.
RUU Penyesuaian Pidana merupakan mandat KUHP 2023 yang mengatur beberapa hal pokok seperti penyesuaian pidana terhadap UU di luar KUHP; penyesuaian pidana dengan peraturan daerah; dan penyesuaian dengan KUHP 2023 itu sendiri. Salah satu bagian penting dari RUU ini adalah pengaturan kembali ketentuan pidana narkotika guna mengisi kekosongan hukum, mengingat KUHP 2023 mencabut sejumlah pasal dalam UU Narkotika 35/2009.
Berkaitan dengan penyesuaian ketentuan pidana narkotika melalui RUU Penyesuaian Pidana tersebut, dalam paparannya, JRKN menekankan bahwa revisi struktur sanksi pidana narkotika sangat mendesak dilakukan agar hukum pidana Indonesia lebih adil, efektif, dan selaras dengan prinsip HAM serta perkembangan kebijakan pidana modern.
Ada 4 poin penting yang setidaknya kami sampaikan dalam RDPU tersebut, di antaranya:
Pertama, pidana minimum khusus menimbulkan penerapan hukum yang tidak proporsional dan berimplikasi pada penumpukan jumlah narapidana yang melebih kapasitas hunian di Lembaga Pemasyarakatan/Lapas (prison overcrowding). JRKN menyoroti bahwa pidana minimum khusus dalam UU Narkotika secara sistematis telah menjadi penyumbang utama overcrowding terbesar di Lapas. Berikut adalah contoh penerapan pidana minimum khusus yang menimbulkan overcrowding:
- Kepemilikan Narkotika Golongan I bukan tanaman (Pasal 112 UU Narkotika) diancam pidana penjara minimal 4 tahun. Artinya, sekecil apa pun jumlah dan berat narkotika yang dimiliki pelaku, ia tetap diancam penjara minimal 4 tahun. Lama ancaman ini sama dengan ancaman maksimum untuk pelaku penggelapan serta lebih berat dibanding pelaku penganiayaan. Padahal, perbuatan memiliki narkotika merupakan victimless crime yang tidak menimbulkan adanya korban. Data ICDR terkait putusan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia pada periode 2012-2024 terkait kepemilikan dan penggunaan sabu di bawah 1 gram menunjukan sebanyak 52,25% pelaku dijatuhi pidana 4-10 tahun. Artinya, pelaku yang memiliki jumlah kepemilikan narkotika yang sangat kecil berpotensi dihukum sangat berat dengan ancaman pidana minimum khusus ini.
- Penerapan denda minimum yang sangat tinggi (800 juta rupiah dalam UU Narkotika, dan 200 juta rupiah dalam KUHP 2023) tidak realistis untuk mayoritas warga negara. Sekalipun ancamannya turun jadi Kategori IV (200 juta), keberadaan sanksi minimum masih menyisakan masalah, yang mana membuat pelaku tidak dapat membayar denda tersebut. Data Lembaga Simpan Pinjam (LPS) tahun 2024 menunjukkan, hanya 1,7% penduduk Indonesia yang memiliki saldo bank di atas 100 juta rupiah. Artinya, ancaman denda minimum khusus yang tinggi tersebut tidak proporsional dengan profil kekayaan mayoritas penduduk Indonesia. Konsekuensinya, apabila denda tak dapat dibayar, kekayaan atau pendapatan pelaku akan dilelang berdasarkan Pasal 81 ayat (3) KUHP 2023–sebuah ketentuan yang menjadikan hukum pidana sebagai pabrik kemiskinan. Lebih lanjut, jika sita dan lelang tersebut tidak memungkinkan maka hukuman bagi pelaku diganti dengan penjara pengganti (Pasal 82 KUHP 2023) yang justru menambah lama masa pidana penjara dan memperburuk kepadatan lapas.
Data Indonesia Judicial Research Society (IJRS) tahun 2022 juga menunjukkan bahwa 44,6% pengguna justru dipidana sebagai pengedar, membuat pengguna yang seharusnya mendapat hukuman lebih ringan malah wajib dijatuhi minimal 4 tahun penjara. JRKN mendesak agar pidana minimum khusus untuk seluruh delik narkotika dihapus, sejalan dengan 3 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) (lihat SEMA 3/2015, SEMA 1/2017 dan SEMA 3/2023) yang sudah berupaya mengurangi penerapan minimum khusus untuk perkara yang pembuktiannya hanya menunjukkan penyalahgunaan.
Kedua, struktur sanksi narkotika tidak konsisten dan membingungkan. JRKN menyoroti berbagai ketidakkonsistenan dalam rumusan sanksi pidana di Pasal 111–126 UU Narkotika, antara lain:
- Pasal 112 ayat (1) (memiliki/menyimpan narkotika Gol I) dan Pasal 115 ayat (1) (membawa/mengirim/mentransito narkotika Gol I) memiliki ancaman yang sama, padahal perbuatan pada Pasal 112 ayat (1) ditujukan untuk penggunaan pribadi (non peredaran) sedangkan Pasal 115 ayat (1) ditujukan untuk peredaran.
- Pasal 124 ayat (2) (menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara, menukar, atau menyerahkan Narkotika Gol III melebihi 5 gram) dan Pasal 123 ayat (2) (memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Gol III melebihi 5 gram) memiliki ancaman yang sama, padahal perbuatan memproduksi seharusnya lebih berat daripada menawarkan atau menjadi perantara.
- Pasal 118 ayat (2) (memproduksi/mengimpor/mengekspor/menyalurkan Narkotika Gol II melebihi 5 gram) dan Pasal 119 ayat (2) (menawarkan untuk dijual/menjual/membeli/menjadi perantara/menyerahkan Narkotika Gol II melebihi 5 gram) memiliki ancaman yang sama, padahal memproduksi berkaitan dengan produsen yang seharusnya dihukum lebih berat daripada kurir atau perantara.
- Pasal 114 ayat (1) (kurir/perantara jual beli Narkotika Gol I) dan Pasal 115 ayat (2) (membawa/mengirim/mengangkut/mentransito Narkotika Gol I melebihi 1 kg atau 5 batang pohon) memiliki ancaman yang sama, padahal perbuatan pada Pasal 115 ayat (2) dengan pemberatan seharusnya lebih berat daripada kurir.
- Ancaman paling tinggi justru Pasal 114 ayat (2) (kurir/perantara jual beli Narkotika Gol I dalam jumlah besar), padahal seharusnya ancaman paling tinggi adalah Pasal 113 ayat (3) yang (memproduksi/mengimpor/mengekspor/menyalurkan Narkotika Gol I).
- Selain itu, ambang batas (threshold) yang selama ini digunakan untuk membedakan pengguna dan pengedar tidak berjalan efektif—terbukti pengguna tetap menjadi populasi terbesar di lapas.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa penyamaan ancaman pidana pada perbuatan dengan tingkat kesalahan berbeda, posisi produsen yang tidak ditempatkan sebagai pelaku dengan ancaman tertinggi, serta tidak efektifnya ambang batas dalam membedakan pengguna dan pengedar, menegaskan bahwa struktur ancaman pidana yang ada masih belum proporsional dan membutuhkan perbaikan.
Oleh karena itu, JRKN mendorong perbaikan struktur ancaman pidana, termasuk menurunkan tingkat ancaman bagi perbuatan yang tidak berkaitan dengan peredaran, serta memastikan klasifikasi peran (pengguna, kurir, dan produsen) yang masing-masing golongan diturunkan 1 tingkat. Selain itu, penting bagi Pemerintah mendorong alat untuk dapat membedakan mana pengguna dan pengedar yang berbasiskan bukti dan data serta kebutuhan tentang rasionalitas ambang batas sebagai dasar penentuan jenis hukuman.
Ketiga, hukuman mati dalam delik narkotika tidak sejalan dengan prinsip HAM dan pembaruan sistem hukum pidana nasional. JRKN menyatakan bahwa hukuman mati tidak layak dipertahankan dalam delik narkotika, dengan alasan:
- Tidak memenuhi kategori “the most serious crimes” berdasarkan Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 36/2018.
- Kebijakan global narkotika sebagaimana dilaporkan International Narcotics Control Board (INCB) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) tidak pernah mendorong negara menjatuhkan pidana mati untuk kasus-kasus narkotika.
- Data Harm Reduction Internasional (HRI) tahun 2025 menunjukkan 63% terpidana mati di Indonesia pada 2024 adalah kasus narkotika. Sementara data LBHM, IJRS, dan Reprieve tahun 2022 menemukan bahwa sebagian besar dari mereka adalah kurir, bukan pengendali jaringan.
- Banyak terpidana mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) dan kondisi rentan, termasuk penyiksaan, diskriminasi, dan masalah kesehatan jiwa. Sebagai contoh kasus yang didampingi oleh IMPARSIAL yaitu Alm. Zulfiqar Ali. Lalu kasus yang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yaitu Alm. Humprey Jefferson dan Alm. Rodrigo Gularte.
JRKN juga mengingatkan pemerintah dan Komisi 3 DPR RI bahwa mempertahankan pidana mati di dalam negeri bertentangan dengan upaya diplomasi Indonesia dalam menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang terancam hukuman serupa.
Keempat, dampak sosial-ekonomi pemidanaan narkotika sangat berat. Penelitian IJRS bersama LBHM, Center for Detention Studies (CDS), dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), serta Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tahun 2025 menunjukkan:
- Utang keluarga terpidana menumpuk akibat biaya proses hukum;
- Kesempatan kerja terhambat secara signifikan setelah keluar dari penjara—angka pengangguran mantan narapidana 5x lebih tinggi;
- Negara sendiri membatasi akses kerja mantan narapidana pada banyak posisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
JRKN menegaskan pentingnya reformasi kebijakan narkotika yang tidak hanya represif, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang.
Untuk itu, JRKN merekomendasikan agar pembahasan RUU Penyesuaian Pidana:
- Menghapus pidana minimum khusus di seluruh delik narkotika;
- Merevisi struktur ancaman pidana agar konsisten, proporsional, dan berbasis bukti;
- Menghapus pidana mati untuk tindak pidana narkotika;
- Memastikan seluruh kebijakan selaras dengan prinsip HAM dan pembaruan KUHP 2023.
Reformasi kebijakan narkotika adalah bagian dari upaya membangun sistem peradilan pidana yang lebih efektif, berkeadilan, dan manusiawi. [*]
Hormat Kami,
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)
Jakarta, 2 Desember 2025
Narahubung:
- IJRS – Matheus Nathanael (+62 821-1170-4190)
- ICJR – Girlie Lipsky Aneira Ginting (+62 852-7711-5562)
- LBHM – Maruf Bajammal (+62 812-8050-5706)
***
Tentang JRKN
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang berisi berbagai organisasi/individu yang bergerak dalam reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi 35/2009 karena aktif melakukan advokasi perbaikan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Anggota kami terdiri dari:
- ICJR
- Rumah Cemara
- Dicerna
- IJRS
- LBH Masyarakat (LBHM)
- PKNI
- PBHI
- CDS
- LGN
- YSN
- LeIP
- WHRIN
- AKSI Keadilan
- PEKA
- LBH Makassar
- PPH Unika Atma Jaya
- Yakeba
- EJA Surabaya
- IPPNI
- PKN Makasar
- Womxn’s Voice/Yayasan Suar Perempuan (SPINN)
- PPKNP
- ICDR
- Inti Muda Indonesia
Referensi
1.Lihat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Data Distribusi Simpanan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Semester 1 Tahun 2024, hlm. 7, diakses melalui https://lps.go.id/konten/unggahan/2024/10/Data-Distribusi-Simpanan-BPR-Semester-1-2024_Final.pdf
2.Lihat Matheus Nathanael, dkk, Penelitian Disparitas Pemidanaan dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 Tahun 2016-2020 (Pasal 111-116 dan Pasal 127 UU Narkotika 35 Tahun 2009), (Jakarta: IJRS, 2022). Akses Penelitian-Disparitas-Pemidanaan-dan-Kebijakan-Pidana-Narkotika.pdf
3. Lihat Giada Girelli, dkk, The Death Penalty for Drug Offences: Global Overview 2024, (London: HRI, 2025). Akses di HRI-GlobalOverview-2024-FINAL.pdf
4.Lihat Hisyam Ikhtiar Mulia, dkk, Faktor-Faktor Penentu Hukuman Mati di Indonesia: Sebuah Indikator, (Jakarta: LBHM, 2022). Akses di https://ijrs.or.id/publikasi-ijrs/faktor-faktor-penentu-hukuman-mati-di-indonesia-sebuah-indikator/
5. Lihat Gladys Nadya Arianto, dkk, Penelitian Dampak dan Biaya Penanganan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia, (Jakarta: IJRS, 2025). Akses di Dampak dan Biaya Penanganan Tindak Pidana Narkotika Di Indonesia – IJRS
