Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota dan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang memasukkan ragam orientasi seksual homoseksual dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Upaya legislasi ini memperlihatkan adanya upaya untuk membuat kepanikan moral sebagai justifikasi membuat aturan punitif yang mengada-ada.
Ketua Komisi I DPRD Kota Bandung, Radea Respati menyatakan bahwa regulasi ini mengantisipasi potensi perilaku menyimpang di masyarakat, mengutip perilaku LGBT sebagai ancaman serius bagi generasi muda. Walikota Bandung, Muhammad Farhan, juga menyetujui Ranperda ini lewat jawaban tertulis pada 7 Oktober 2025, dengan menyatakan siap mendukung Ranperda tersebut sebagai upaya menjaga ketertiban dan perlindungan bagi warga Kota Bandung.
Mempelajari situasi ini dan membaca draft Ranperda yang beredar, KAIN menggarisbawahi tiga kesesatan pikir yang terefleksi dalam aspek formil dan materiil pembuatan perda ini:
Pertama, dalam aspek formil, pembuatan peraturan daerah ini lemah dalam mengakomodir asas partisipasi publik. Berdasarkan penelusuran di media online dan juga di situs DPRD Kota Bandung (https://dprd.bandung.go.id/), belum ada rapat yang menghadirkan kelompok masyarakat sipil. Pembahasan hanya menyertakan fraksi-fraksi yang ada di DPRD Kota Bandung dan beberapa pihak eksekutif, seperti Dinkes, Bag. Hukum Setda dan Tim Naskah Akademik, seperti yang ditunjukkan dalam agenda DPRD Kota Bandung tanggal 5 November 2025.3
Unsur partisipasi publik juga sulit terpenuhi tanpa ada transparansi dalam pembentukan undang-undang. Sejauh ini tidak ada naskah akademis dan naskah RUU yang dipublikasikan secara resmi di situs DPRD atau Pemkot, sehingga masyarakat sipil tidak bisa menilai sebenarnya urgensi dari adanya aturan ini.
Tanpa ada partisipasi publik, data yang digunakan sebagai dasar pembuatan Ranperda jadi dipertanyakan. Malah, dalam keterangannya pada media tanggal 3 November, Anggota Panitia Khusus (Pansus) 14 DPRD Kota Bandung yang menuliskan rancangan kebijakan daerah ini, drg. Susi Sulastri, menyatakan bahwa mereka masih akan bertanya kepada akademisi data kasus penyimpangan seksual di Kota Bandung.4 Dengan demikian, ada pertanyaan besar apakah naskah Ranperda yang sudah beredar ini dibuat tanpa mengetahui data atas permasalahan yang hendak dipecahkan oleh Ranperda ini.
Seharusnya pihak DPRD dan Pemkot bisa belajar dari Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Asas Partisipasi Publik sebagaimana yang pernah disampaikan dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 bahwa partisipasi publik menyangkut hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Kedua, pasal dalam Ranperda tersebut masih keliru dalam menempatkan orientasi seksual sebagai penyimpangan seksual. Pasal 9 dalam Ranperda ini menggolongkan homoseks dan lesbian sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual. Keragaman orientasi seksual ini disejajarkan dengan bentuk penyimpangan seksual lain, seperti pedofilia, nekrofilia, dan inses.
Menyetarakan orientasi seksual homoseksual sebagai penyimpangan bertolak belakang dengan perkembangan pengetahuan dan ilmu kesehatan. Pedoman kesehatan internasional seperti Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V dan International Classification of Diseases (ICD) 10 sudah menghapus homoseksual sebagai bentuk gangguan jiwa karena ketiadaan bukti ilmiah dan diagnosis semacam itu lebih sering menyakiti kesehatan jiwa individu homoseksual.
Perspektif medis yang sama juga diikuti oleh organisasi profesi kesehatan jiwa di Indonesia. Poin F66 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan.”
Dengan demikian, tidak ada dasar yang jelas dalam memasukkan homoseksual dan lesbian dalam bentuk-bentuk perilaku penyimpangan seksual. Beberapa pernyataan publik yang ditangkap media memperlihatkan penggolongan ini semata-mata dilakukan karena ketidaktahuan dan ketakutan yang tidak berdasar pada individu homoseksual.
Ketiga, narasi rehabilitasi dan preventif yang seolah-olah humanis dalam Ranperda ini berpotensi menyesatkan (misleading) karena berpotensi mengarah ke terapi konversi. Pasal 15 Ayat (1) Ranperda menyatakan bahwa pemerintah daerah akan melakukan konseling terintegrasi yang mengikutsertakan ahli psikiatri, psikolog, dan pembimbing keagamaan bersertifikat pada setiap unit pelayanan konseling. Selain itu, menurut Pasal 17 Ayat (2), Pemerintah Daerah juga akan melakukan pengawasan di tempat-tempat yang berisiko tinggi, seperti gymnastic, tempat hiburan, dan tempat lainnya dengan memperhatikan laporan masyarakat.
Jika orientasi seksual tetap dianggap sebagai penyimpangan, praktik konseling yang dimaksud akan memenuhi praktik terapi konversi, yakni merupakan upaya paksa sistematis yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengubah orientasi seksual dan/atau identitas gender seseorang. Praktik ini sudah dikecam oleh berbagai ahli HAM karena meningkatkan risiko gangguan stres dan trauma, depresi berat, dan ide bunuh diri.
Karena penderitaan yang dihasilkan dari terapi konversi ini serta praktik diskriminatif yang dilakukannya hanya untuk menyasar kelompok keberagaman gender dan seksualitas, model konseling terintegrasi dalam Ranperda ini bisa digolongkan sebagai penyiksaan. Berbagai aturan hukum internasional dan nasional, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovensi Menentang Penyiksaan, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengkriminalisasi tindakan penyiksaan.
Selain itu, model pengawasan yang diamanatkan dalam Ranperda ini juga berpotensi mempertebal aksi main hakim sendiri. Pasal 17 Ayat (2) Ranperda menjelaskan bahwa masyarakat bisa melaporkan tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat yang berisiko terdapat penyimpangan seksual. Dalam banyak kasus persekusi individu LGBTIQ+, dukungan untuk melakukan persekusi seringkali datang dari pihak yang melaporkan dugaan adanya aktivitas/pesta LGBT’ tanpa bukti.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, KAIN mengecam upaya pembatasan ruang sipil bagi individu LGBTIQ+ yang termuat dalam Ranperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Inisiasi dan pembahasan tanpa faedah, tanpa partisipasi, dan tanpa keberpihakan pada yang rentan, hanya akan melemahkan prinsip HAM dan demokrasi di Kota Bandung. Untuk itu, KAIN mendesak:
- Menghapus seluruh bagian dalam Ranperda yang memasukkan “orientasi seksual” ke dalam kategori perilaku atau penyimpangan seksual. Raperda ini secara keliru menyamakan orientasi seksual dengan kejahatan atau gangguan, yang tidak hanya bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, tetapi juga dapat mendorong kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender dan seksual.
- Menghapus penyebutan “homoseks” dan “lesbian” dalam daftar pelaku atau bentuk penyimpangan seksual sebagaimana tercantum dalam Pasal 9. Pencantuman ini tidak memiliki dasar ilmiah maupun hukum, dan berpotensi memperkuat stigma serta diskriminasi terhadap warga negara karena orientasi seksualnya.
- Memastikan bahwa seluruh ketentuan dalam Ranperda berfokus pada pencegahan kekerasan seksual, eksploitasi anak, dan perilaku yang secara nyata mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran hukum. Regulasi daerah semestinya diarahkan untuk melindungi korban, bukan memperluas stigma terhadap kelompok rentan yang tidak melakukan tindak pidana.
- Melakukan peninjauan ulang substansi Raperda secara transparan dan partisipatif, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, akademisi, tenaga kesehatan, tokoh agama inklusif, serta kelompok rentan
—–
Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 52 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.
Narahubung:
- Albert Wirya, LBH Masyarakat (+6285939676730 – awirya@lbhmasyarakat.org)
- Richa F. Shofyana, Crisis Response Mechanism Consortium (+6281313135993 – contact@crm-consortium.org)
Referensi:
- Rifat Alhamidi, “DPRD Kota Bandung Susun Regulasi Antisipasi Perilaku Seksual Menyimpang,” detik.com, 28 Oktober 2025, diakses di https://w w w.detik.com/jabar/berita/d-8181516/dprd-kota-bandung-susun-regulasi-antisipasi-perilaku-seksual-menyimpang
- Diskominfo Kota Bandung, “Wali Kota Bandung Sampaikan Jawaban atas Pandangan Fraksi soal Empat Raperda,” jabarprov. go.id, 10 Oktober 2025, diakses di https://w w w.jabarprov. go.id/berita/wali-kota-bandung-sampaikan-jawaban-atas-pandangan-fraksi-soal-empat-raperda-21419
- https://dprd.bandung. go.id/agenda/agenda-kegiatan-rabu-5-november-2025
- Yeni Siti Apriani, “Susi Sulastri: Pencegahan dan Pengendalian Masalah Penyimpangan Seksual Butuh Payung Hukum yang Kuat,” koran-gala.id, 3 November 2025, diakses di https://w w w.koran-gala.id/news/58716190815/susi-sulastri-pencegahan-dan-pengendalian-masalah-penyimpangan-seksual-butuh-payung-hukum-yang-kuat
