Lasagna: Pemaknaan Hidup, Perayaan Kematian

Jul 2, 2019 Opini

Orang bilang panjangnya umur tidak ada yang tahu, tapi bagaimana bila kematianmu bukan lagi sebuah teka-teki?

Film : Lasagna: Eve Without Adam

Sutradara : Adi Victory

Produser : Daniel Victory

Pemain : Vonny Anggraini, Yayu Unru, Teuku Rifnu Wikana

“Film ini berangkat dari keresahan saya tentang hal ditinggalkan dan meninggalkan,” ucap Adi Victory pada special screening Lasagna awal Mei lalu.  Sebuah pengantar yang sangat ‘ringan’ dalam mempersilakan penonton menyaksikan film peraih juara pertama Europe on Screen 2018: Short Film Pitch Project ini. Detik itu juga saya menebak-nebak ramuan apa yang telah Adi buat untuk membuat Lasagna berbeda dengan cerita romansa lain.

Adi menampilkan Mirna (Vonny Anggraini) yang sedang memasak lasagna sebagai adegan pembuka. Dari cara Mirna memasak, tersirat bahwa lasagna bukanlah sekadar makanan biasa. Seakan ada sebuah kisah yang tidak bisa dilepaskan Mirna dari makanan khas Italia itu. Mulai di titik inilah ‘gila’ ‘keren’, menjadi kata yang sering saya ucap dalam hati sepanjang menikmati karya Adi tersebut.

Melalui adegan perjalanan laut yang akan membawa Mirna menemui suaminya, Rudi Fernando Simbolon (Yayu Unru), latar belakang Mirna mulai diungkap. Di perahu yang ditumpanginya, Mirna bertemu dengan turis Italia. Kemudian Mirna bercerita telah menghabiskan waktu tujuh tahun di negara mereka. Di tempat itu pula Mirna bertemu dengan kekasih hatinya dan menjadikan lasagna sebagai makanan favorit.

Meski berusaha menyampaikan betapa indah kisah cinta miliknya dengan intonasi yang membahagiakan, Mirna tidak bisa menyembunyikan getir di wajahnya. Perjalanan laut yang harus Mirna tempuh untuk menemui suaminya adalah penanda bahwa Mirna tak tinggal bersama dengan tambatan hatinya lagi. Rudi harus mendekam di penjara yang memiliki pengamanan sangat ketat dan sedang menunggu eksekusi hukuman mati.

Mirna dan Rudi punya cara masing-masing untuk mengibur diri. Mirna kerap mengajak memorinya untuk memutar ulang kenangan indah bersama Rudi. Namun Mirna tak bisa mungkir dalam hisapan rokoknya yang berat ada tanda keputusasaan menjalani hidup. Sedangkan Rudi meluapkan rindunya pada Mirna melalui bait puisi. Pada aksara yang disusunnya, Rudi ‘mengekalkan’ perasaannya terhadap kekasihnya.

 “Meski di ujung jalan setiap orang pasti akan pergi, aku harap kamu tidak begitu. Dalam tidurku, aku selalu menyebutmu. Selalu begitu….” 

“Ada bayang-bayang kekasihku yang setia memeluk. Jangan tidur dulu, belum saatnya: ti amo, bisiknya di telingaku…”

Melihat Rudi yang berusaha tegar dalam menjalani hukuman, juga sikap Mirna yang tidak berhenti iba melihat keadaan Rudi, hati saya sesak rasanya. Ditambah lagi ucapan Mirna yang cukup mengejutkan ketika Rudi meminta untuk dikunjungi sekali lagi sebelum eksekusi mati. “Bahkan kau dihukum untuk perbuatan yang tidak kau lakukan,” begitu kira-kira kalimat Mirna.

Sesak, marah dan geram berkecamuk melihat ketidakadilan hidup yang mereka terima. Ingin rasanya melampiaskan marah pada Rudi yang berusaha legawa, tapi dialah korbannya. Melayangkan protes pada pemerintah pun tak berarti apa-apa. Hidup Mirna dan Rudi tidak dihadapkan pada pilihan apapun. Merapal doa dan memohon keajaiban terhindar dari peluru eksekusi menjadi satu-satunya usaha, meski hal itu mustahil terjadi.

Rudi memang tak punya cara untuk menghindari kematian, tapi dia tidak kehabisan akal untuk merayakannya. Pada kunjungan terakhirnya Rudi meminta Mirna untuk membawakan lasagna. Permintaan ini mengingatkan saya pada Stanley Baker, Jr., terpidana mati kasus pembunuhan asal Amerika Serikat yang meminta 10 jenis makanan untuk sarapan terakhirnya. Rudi dan Stanley tampaknya punya kesamaan dalam berdamai dengan kematian yang tidak diinginkan.

Derita Mirna tak terhenti pada itu saja, melewati petugas pemeriksaan penjara, Suryanto (Teuku Rifnu Wikana) juga tak kalah menyebalkannya. Ada ‘harga’ yang harus dibayar untuk tambahan waktu di pertemuan terakhirnya dengan Rudi. Sialnya kali ini bukan bernilai uang, Suryanto meminta Mirna untuk memuaskan nafsunya. Mirna tak punya pilihan, dia hanya bisa membersihkan bagian tubuhnya berkali-kali kemudian.

Tingkah Suryanto benar-benar membuat saya sakit hati. Pun rasanya tak sanggup melihat Mirna yang berusaha tegar di hadapan Rudi, padahal kejadian pahit baru saja dialaminya. Di pertemuan terakhirnya itu, Rudi dan Mirna saling menatap lekat-lekat. Meski tak banyak kata yang diucap, perasaan cinta mereka sangat terlihat begitu mendalam. “Terima kasih sudah membawakan lasagna untuk terakhir kalinya,” ujar Rudi.

Sebelum mengakhiri pertemuannya, Mirna mengungkapkan perasaannya pada Rudi, “Membiarkanmu dibunuh bagai rusa adalah hal yang sulit.” Seketika itu saya terenyuh, perasaan Mirna perasaan saya juga, dan mungkin kita semua. Saya yakin tak seorang pun rela hidupnya dirampas begitu saja. Ditambah lagi, kalau harus menanggung beban kesalahan atas perbuatan yang tak pernah dilakukan. Dan tentu, mungkin yang terburuk, harus dipisahkan dengan tragis dari orang-orang yang dicinta dan mencintainya.

Lasagna benar-benar bukan sekadar romansa biasa. Persoalan kompleks manusia terungkap di sini. Pada Lasagna saya belajar menghargai hidup dengan cara paling sederhana. Tanpa perlu penuturan panjang dan mempelajari literatur yang kata orang membosankan, saya tersadar bahwa setiap manusia memiliki arti. Saya merasa harus berterima kasih pada Lasagna telah hadir di tengah persoalan pelik kemanusiaan dan mengajarkan arti penting kehidupan. Ketika hari-hari ini kemanusiaan kita begitu gersang, Lasagna hadir bak oase mengingatkan kita pentingnya penghormatan terhadap manusia.

Dengan durasi yang pendek, keutuhan cerita Lasagna patut diacungi jempol. Menampilkan kisah masa lalu melalui percakapan pendek dengan orang asing sungguh di luar praduga. Cara Mirna memaparkan fakta hukuman mati banyak menjerat orang tidak bersalah menjadi hal yang paling apik. Tanpa perlu narasi panjang, cukup dengan satu kalimat dan raut Mirna yang menahan amarah masalah utama hukuman mati dapat diketahui oleh khalayak.

Film ini memang tidak menghadirkan banyak dialog. Sinematografinya juga sederhana, namun indah dan tetap membangkitkan emosi. Gelap untuk kehidupan di penjara, dan terang untuk sebaliknya. Sebuah pengambilan yang menarik untuk mengajak penonton mensyukuri kebebasan sekaligus merasakan derita di balik jeruji. Pun easter egg yang ada menandakan betapa detailnya penggarapan Lasagna.

Saya berharap ada banyak pasang mata yang bersedia menonton Lasagna. Merasakan sepi dan ‘sakit’ yang dialami Rudi. Menyaksikan Lasagna adalah sebuah ikhtiar untuk bersolidaritas pada Rudi-Rudi di luar sana, yang menjadi korban ketidakadilan dari bobroknya hukum dan beban sanksi mematikan. Juga sebagai wujud menemani Mirna-Mirna lain yang tengah melipur lara dan mengobati rindu pada cintanya yang dalam ambang kematian. Atau mungkin saja ada yang ingin melakukan hal serupa Rudi, menitipkan hidup dan kekasihnya pada lasagna.

“Ajari aku, adakah cara merawat rindu?

Agar suatu saat nanti, ada caraku untuk membawamu kembali…”

Penulis: Aisya Humaida

Editor: Ricky Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content