Sex.
Andai sang ayah tidak meninggalkan ibunya demi perempuan lain, mungkin masa remaja Sulis (bukan nama sebenarnya) tidak berakhir di penjara. Ekonomi keluarga yang terguncang setelahnya memaksa sang ibu untuk menjadi tukang cuci pakaian bagi para tetangga meski hanya dibayar Rp 5.000 – Rp 10.000 sehari. Melihat ibu pulang dengan baju yang basah akibat keringat dan air cucian, Sulis merasa dirinya harus membantu mencari nafkah.
Sulis mengundurkan diri dari bangku sekolah tahun 2008. Tidak lagi belajar dari guru di kelas, tidak lagi ada kepala sekolah yang menanyakan biaya sekolah, tidak lagi bertemu teman-teman di kantin. Untuk meringankan beban ibunya, Sulis rela menggadaikan pendidikannya. Meski baru 10 tahun usianya, Sulis pergi mengamen jauh dari rumahnya. Sulis sering kucing-kucingan dengan Pamong Praja agar tidak ditangkap saat mengamen. Ia pun kerap dipalak oleh preman di areanya mengamen. Anak sekecil itu dipaksa menyadari bahwa pulang tanpa uang ternyata jauh lebih berat dibanding PR matematika.
Dua bulan mengamen, Sulis bertemu seorang perempuan bernama Indah (yang juga bukan nama sebenarnya). Indah tinggal di sebuah kontrakan yang tidak jauh dari gubuk tempat Sulis dan keluarga tinggal. Pada suatu siang, Indah memanggil Sulis untuk datang ke kontrakannya. Indah bilang pada Sulis bahwa ada pekerjaan untuknya – hal yang langsung disambut Sulis dengan gembira. Indah kemudian menanyakan tentang kehidupan yang Sulis jalani sekarang. Indah menyatakan keibaannya atas hidup yang sedang Sulis jalani dan berkata bahwa ia juga pernah ada di posisi itu. Pada Sulis, Indah menjelaskan bahwa pekerjaan Sulis sekarang tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi ia dan ibunya. Saat Sulis berkata bahwa dalam satu hari ia hanya membawa pulang Rp 20.000, Indah tertawa.
“Kamu bisa membawa uang Rp 100.000 – Rp 200.000 sehari tanpa berpanas-panasan seperti apa yang kamu lakukan sekarang,” ucap Indah pada Sulis. Terkejut mendengar kemungkinan itu, Sulis langsung menanyakan pekerjaan apa yang dimaksud. Indah tidak menjelaskan secara lengkap. Indah hanya menggambarkan bahwa inti pekerjaan ini ialah menemani seorang di sebuah ruangan pada malam hari. Sulis yang masih anak-anak tidak dapat membaca yang tersirat di balik ucapan tersebut. Indah segera menanyakan pada Sulis apakah ia mau mengambil pekerjaan tersebut atau tidak – pertanyaan yang diiyakan Sulis karena kepolosannya dan tekanan ekonomi yang ia hadapi. Sulis bahkan bersedia untuk membohongi ibunya dengan mengatakan bahwa ia akan mulai bekerja sebagai penjaga toko di malam hari.
Keesokan malamnya, mereka pergi ke daerah Tamansari, Jakarta Barat. Indah mengajak Sulis masuk ke dalam sebuah ruko sambil berkata, “Di sinilah kantormu sekarang, keren kan?” Sulis terdiam dan membatin “Wah, siapa yang menyangka kalau saya bisa bekerja di sebuah kantor yang besar dan megah.” Tak lama kemudian, Indah mengajak Sulis berkeliling ruko dan mengenalkannya pada pekerja lainnya, yang semuanya perempuan.
“Mami!” terdengar teriakan pekerja yang ditujukan kepada Indah, Sulis bingung dan bertanya-tanya siapa Indah sebetulnya. Setelah Sulis diajak berkeliling untuk dikenalkan, Indah langsung memerintahkan Sulis mengenakan pakaian kerja, di mana pakaian tersebut sama dengan pakaian perempuan-perempuan yang ia lihat barusan.
Hanya menurut dan diam, Sulis mengenakan pakaian tersebut. Sulis tak pernah mengenakan pakaian semacam itu sebelumnya sehingga ia sedikit risih mengenakannya. Tapi apa daya, itu adalah pakaian wajib setiap pekerja di situ. Tak lupa, Indah mengajari Sulis cara bersolek agar terlihat lebih menawan. Selang 1 jam, ada seorang tamu, pria berumur sekitar 40 tahun, yang tertarik dengan Sulis. Sang tamu dan Sulis diantar Indah ke sebuah ruangan khusus. Tak pernah Sulis bayangkan, bahwa ia harus melayani hasrat seksual sang tamu. Sulis, yang takut setengah mati, tak melawan dan mengikuti kemauan sang tamu 60 menit lamanya. Setelahnya, Sulis, yang masih dalam syok luar biasa, langsung menemui Indah untuk menanyakan apa sebetulnya pekerjaan yang harus dilakukannya ini. Indah hanya tertawa dan mengatakan, “Apa yang kamu kerjakan barusan, itulah pekerjaan kamu.” Sulis, dengan segala situasi sosial ekonominya tadi, tak kuasa menolak. Ia merasa sudah bersepakat dengan Indah dan takut risiko yang muncul apabila ia berhenti begitu saja.
Sekitar pukul satu dini hari, para pekerja yang telah bekerja dan mendapatkan tamu dikumpulkan oleh Indah di sebuah ruangan dan masing-masing diberi Rp 150.000. Ditambah Rp 50.000 dari tamu tadi, maka di hari pertama ini Sulis membawa pulang Rp 200.000. Dalam perjalanan pulang, Indah bertanya pada Sulis tentang penghasilan malam ini. Indah ingin Sulis berpikir bahwa pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan dibanding mengamen. “Bayangin, kamu bisa dapat Rp 200.000 dalam sehari, bagaimana kalau kamu kerja selama 1 bulan? Ibumu pasti senang karena kamu bawa uang banyak,” kata Indah meyakinkan.
Kira-kira pada dua dini hari, Sulis sampai di rumah dan ibunya sudah tidur lebih dulu. Paginya, Sulis langsung menyerahkan penghasilannya semalam pada ibunya. Kaget akan uang sebanyak itu, ibunya bertanya dari mana uang tersebut. Sesuai pembicaraan dengan Indah sebelumnya, Sulis menjawab bahwa itulah upahnya menjaga toko di malam hari. Dengan bimbang, ibunya mengambil uang tersebut yang langsung dibelikan stok makanan untuk 2 hari dan membayar hutangnya pada tetangga.
Malamnya, Sulis kembali bekerja. Kali ini, ia berangkat sendiri tanpa Indah. Sulis langsung naik ke lantai dua, mengganti pakaiannya, berdandan, dan duduk menunggu tamu. Hari ini nasib baik berpihak pada Sulis, ada tiga tamu yang Sulis temani dan setiap tamu memberikan tip untuknya. Sulis membawa pulang lebih dari Rp 200.000 yang semuanya diberikan pada ibunya untuk keperluan sehari-hari.
Hampir 8 tahun lamanya Sulis telah menjadi seorang pekerja seks. Sudah berbagai tamu ia temui: pemilik toko, supir, anak muda, tua renta, macam-macam! Sesungguhnya, perasaan Sulis campur aduk ketika melakukan pekerjaan ini: takut, sedih, malu – namun, di sisi lain, harus dilakukan demi kelangsungan hidup keluarganya.
Sulis sering bertanya-tanya: mengapa orangtuanya tidak memiliki banyak uang dan hubungan yang harmonis? Mungkin bila ia memiliki keduanya, ia akan melakukan pekerjaan lain. Namun realita punya jalannya sendiri. Pernah bersekolah sampai kelas 2 SD pun sudah menjadi kebanggan bagi Sulis untuk dapat diceritakan ke anak cucu kelak. Setidaknya, Sulis pernah menggenakan seragam putih merah, berangkat pagi-pagi, membawa bekal, mengikuti upacara bendera, dan belajar di kelas bersama teman-teman. Satu hal yang paling membuatnya sedih ialah bahwa ia harus terus membohongi ibunya. Rp 200.000 setiap pagi ternyata tidak membuat ibunya tersenyum. Subuh jadi saksi air mata Sulis yang benci berbohong. Mungkin sampai detik ini, ibunya masih percaya bahwa Sulis adalah seorang penjaga toko.
Drugs.
Hubungan pekerjaan antara Indah dan Sulis tak selalu berjalan mulus. Sulis dan Indah sering bertengkar perkara selisih uang yang tidak seberapa. Pada September 2016, semuanya bertambah buruk.
Seorang tamu menyuruh Indah untuk membeli sabu. Indah kemudian memaksa Sulis untuk mencari dan mendapatkan narkotika tersebut. Sesungguhnya, Sulis takut menuruti suruhan Indah kali ini. Selain itu, Sulis tidak tahu cara memperolehnya.
Malam itu sangatlah sial bagi Sulis, belum ada seorang tamu pun untuknya. Sulis membayangkan ibunya tersenyum menutupi kekecewaan karena Sulis pulang tidak membawa uang. Akhirnya Sulis mau melakukan apa yang diperintah Indah, dengan perjanjian bahwa Indah akan memberikan tamu kepada Sulis.
Sulis bertemu dengan seorang pria yang mau membantunya mencari. Pria tersebut bernama Dika (lagi-lagi, bukan nama sebenarnya), seorang tukang ojek di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat, yang penghasilannya tidak lebih baik dari Sulis. Sulis baru sekitar 2 bulan mengenal Dika. Sulis sering meminta agar Dika menjemput dan mengantar Sulis berangkat dan pulang kerja.
Dika sudah menyarankan untuk tidak menuruti kata Indah. Namun pada Dika, Sulis memberikan dua kata yang membuat Dika berhenti mendebatnya, “Demi uang.” Dika kemudian pergi mencari dan berhasil mendapatkan sabu seharga Rp 450.000.
Saat Sulis menyerahkan sabu pada Indah, Indah malah mengajak Sulis menaiki bajaj ke tujuan yang tidak diketahui oleh Sulis. Sulis sempat menanyakan pada Indah untuk apa dirinya ikut. Alasan Indah saat itu adalah transaksi di dalam perjalanan menggunakan bajaj sangat aman. Perasaan Sulis sedikit tenang setelah mendengar alasan itu. Di dalam bajaj, Indah langsung meminta sabu tersebut dan langsung diberikan oleh Sulis. Indah lalu memasukkan sabu tersebut ke dalam sebuah bungkus rokok.
Indah kemudian menyuruh supir bajaj untuk berhenti di depan Dunkin Donuts dekat dengan Stasiun Mangga Besar. Indah bilang pada Sulis bahwa ia mau membeli donat untuk suaminya. Indah meminta Sulis untuk tetap di dalam bajaj, karena Indah meninggalkan tasnya di dalam bajaj. “Repot,” kata Indah. Indah bilang bahwa ia hanya akan membeli beberapa donat dan dalam 5 menit akan kembali.
Tak lama setelah Indah turun, 3 anggota kepolisian dari Polsek Metro Tamansari menyergap Sulis di dalam bajaj. Salah satu polisi langsung menemukan bungkus rokok berisi sabu di bawah tas yang ditinggalkan oleh Indah. Sulis mencoba menjelaskan bahwa tas dan bungkus rokok yang berisi sabu tersebut adalah milik Indah dan bahwa dirinya dimintakan tolong oleh Indah untuk mencarikan sabu tersebut. Bukannya mencari siapa dan di mana Indah, polisi malah menanyakan darimana sabu tersebut Sulis peroleh. Dengan kooperatif, Sulis menjawab bahwa ada seorang pria bernama Dika yang membantu Sulis untuk mendapatkannya. Petugas kepolisian langsung meminta Sulis ikut dan menunjukan di mana posisi Dika berada.
Dengan bantuan Sulis, polisi dengan mudah menemukan Dika yang sedang menunggu penumpang. Sulis bingung harus mengatakan apa kepada Dika karena ia pun dijebak oleh Indah. Sulis dan Dika pun dibawa ke Polsek Metro Tamansari untuk diproses lebih lanjut. Berulang-ulang Sulis menjelaskan tentang Indah kepada polisi namun tetap diabaikan. Tak lama kemudian, Sulis dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu untuk menjalani penahanan dengan mengantongi Pasal 114 ayat (1) subsidair Pasal 112 ayat (1) juncto Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai sangkaan atas perbuatannya.
Court & Rule.
Memakai kemeja putih kusut dengan rompi bewarna merah, Sulis bersiap menduduki panasnya bangku terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Duduk di depan tiga mejelis hakim bukanlah sebuah keinginan, namun harus dilakukan lantaran perbuatannya. Proses persidangan yang harus Sulis jalani juga tidak mudah.
Sulis sebenarnya lahir tahun 1998 sehingga saat penangkapan terjadi usia Sulis masih berusia 17 tahun. Namun karena pada akhir 2016 Sulis berencana untuk menikah, Sulis dan keluarga mengganti tahun kelahiran Sulis di berbagai dokumen menjadi 1996. Hal yang Sulis bayangkan akan menguntungkannya, ternyata membuatnya kehilangan akses terhadap proses peradilan anak.
Sulis menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa saat peristiwa penangkapan terjadi ia masih seorang anak 17 tahun. Sulis meminta kepada Majelis Hakim agar dirinya disidangkan dengan proses persidangan anak. Namun, Majelis Hakim menolak argumen yang Sulis sampaikan dalam eksepsi karena tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Beberapa kali Sulis dijemput dari Pondok Bambu lalu masuk ruang tahanan di pengadilan, namun tidak dipanggil sidang sampai sore sebelum dikembalikan ke rutan. Berulang-ulang Sulis mengalami penundaan sidang tanpa alasan yang jelas.
Sampai pada 12 Januari 2017 kemarin, Sulis harus menerima pahitnya penerapan hukum acara di Indonesia. Tiga hari sebelumnya, Sulis diberitahu oleh Majelis Hakim bahwa agenda sidang berikutnya adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setelah Jaksa membacakan surat tuntutan kepada Sulis di hari itu, seharusnya yang menjadi agenda selanjutnya adalah penyampaian pembelaan dari Sulis. Namun entah di mana Dewi Yustisia saat itu.
Sulis sudah berniat untuk menyampaikan pembelaan pada sidang berikutnya, namun Majelis Hakim tidak memberikan hak tersebut. Setelah pembacaan surat tuntutan tadi, Majelis Hakim seakan mengambil jalan pintas dengan melakukan tanya jawab dengan Sulis sebagai sebuah bentuk nota pembelaan. Secara umum, Majelis Hakim menanyakan tentang penyesalan dan diminta berjanji untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Padahal ada hal penting lainnya yang ingin Sulis jelaskan di agenda pembelaan, seperti kronologi peristiwa yang sesungguhnya. Hal-hal yang tidak tersampaikan inilah yang kemudian Sulis, melalui penulis, jelaskan lewat tulisan ini. Karena tak sampai 5 menit melakukan tanya jawab dengan Sulis, Majelis Hakim langsung menjatuhkan pidana penjara yang akan diberikan kepada Sulis. Dalam 1 hari yang sama, Sulis harus menjalankan 3 agenda sekaligus. Padahal di hari-hari sebelumnya Sulis kerap tidak dipanggil sidang lantaran Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim belum siap. Sulis bingung dan bertanya: mengapa mereka bisa menunda apabila belum siap sedangkan dirinya tidak punya privilese yang sama?
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum meminta Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana kepada Sulis sebesar 6 tahun tahun penjara. Setelah berpikir dalam waktu yang amat singkat, terucaplah angka 5 tahun 2 bulan pidana penjara terhadap Sulis dari mulut Ketua Majelis Hakim.
Perlu diingat bahwa banyak sekali hak Sulis yang terlanggar hak di proses ini. Selain tidak diberikan kesempatan menyampaikan pembelaan, Sulis juga tidak diberikan pengacara pada tahap penyidikan oleh kepolisian. Bagi Sulis, pengadilan kini bukanlah tempat mencari keadilan melainkan tempat penghukuman belaka. 5 tahun 2 bulan akan Sulis lewati tanpa senyuman dari ibunya. 5 tahun 2 bulan yang diberikan oleh proses persidangan yang cacat. 5 tahun 2 bulan untuk seseorang yang setiap malam berjuang melawan ketimpangan.
Penulis: Yosua Octavian
Editor: Yohan Misero