Mencuri Perspektif Uruguay

Dec 17, 2015 Opini

Pada 2013, parlemen Uruguay meloloskan sebuah undang-undang yang mengubah kesan dunia terhadap negara itu selamanya. Uruguay menjadi negara pertama yang melegalkan ganja. Terlepas dari kritik dan kekhawatiran dari banyak negara lain, beberapa institusi non-profit, dan lembaga-lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa, Uruguay terus menjalankan kebijakan ini. Menurut undang-undang ini, warga negara Uruguay dapat menanam ganja mereka sendiri dengan limitasi tertentu atau membeli ganja, lagi-lagi dengan limitasi tertentu, yang diproduksi dan dijual oleh negara.

Pemerintah Uruguay memandang bahwa kebijakan ini adalah sebuah cara untuk melawan peredaran gelap narkotika (digolongkannya ganja sebagai narkotika tentu bisa diperdebatkan, namun tidak dalam tulisan ini) yang dikendalikan mafia. Pemerintah Uruguay akan bertarung satu lawan satu melawan mafia peredaran gelap narkotika untuk merebut pasar pengguna ganja. Sebuah pertarungan yang pasti akan dimenangkan oleh pemerintah, semata-mata karena pemerintah memiliki sumber daya yang jauh lebih lengkap. Pemerintah memiliki hukum, aparat, pusat penelitian, dan yang paling penting: kontrol akan harga.

Untuk apa pertarungan semacam ini? Apa pendekatan konservatif yang mempertandingkan aparat penegak hukum dan pengedar gelap narkotika tak lagi cukup? Uruguay telah sampai pada kesimpulan bahwa peredaran gelap narkotika akan selalu ada sehingga daripada mencoba untuk memusnahkannya jauh lebih efektif untuk bersaing melawannya di pasar. Lagi pula, ganja yang diproduksi dan dijual oleh pemerintah dapat dikendalikan kadar substansinya sehingga akan lebih aman untuk dikonsumsi. Hal demikian tidak akan terjadi dengan cara yang dipercaya oleh dunia hari ini, yang secara tidak langsung menyerahkan pasar kepada mafia.

Sebagai negara yang berada di kawasan Amerika Selatan, tentu saja Uruguay memahami benar dampak dari usaha negara-negara tetangga mereka untuk, secara harafiah, memerangi mafia peredaran gelap narkotika. Pertempuran dengan senjata api tak dapat terhindarkan dan telah terlalu banyak memakan korban jiwa, bahkan mereka yang sama sekali tak terlibat. Darah yang tertumpah di negara-negara seperti Meksiko dan Kolombia sungguh merupakan contoh yang lebih dari cukup bagi dunia untuk tidak lagi melakukan cara-cara lama.

Upaya-upaya klasik yang selama ini dilakukan dengan judul besar “perang terhadap narkotika” ternyata tidak banyak merubah keadaan. Hal ini tidak lain karena motif keuntungan finansial yang dipegang teguh oleh para pengedar. Semakin keras usaha penegak hukum, semakin keras pula usaha organisasi mafia menghadapinya. Jika pemerintah, misalnya, dengan usaha tertentu dapat mengurangi masuknya persediaan narkotika tertentu ke dalam negeri, maka mafia-mafia ini akan dengan lihai mencampur persediaan narkotika ilegal yang mereka punya dengan zat lain yang murah dan berbahaya sebelum melepaskannya ke pasar. Negara gagal jadi pahlawan, bisnis organisasi kriminal terus jalan, dan masyarakat sipil tetap jadi korban.

Terlepas dari berbagai pernyataan Badan Narkotika Nasional pun Kepolisian Republik Indonesia yang menyatakan sebaliknya, terdapat banyak masalah dalam kebijakan narkotika di Indonesia. Pasal-pasal yang tidak tegas dan tumpang tindih membuat banyak pecandu dan pengguna narkotika di Indonesia tetap diproses pidana. Oknum aparat yang memeras pecandu dan pengguna tapi siap bermain mata dengan pengedar. Akhir-akhir ini pun telah jatuh korban baik dari pengedar gelap dan penegak hukum di Aceh dan Sukabumi. Tentu yang paling hingar bingar ialah penerapan hukuman mati yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah Indonesia meneriakan “Indonesia Darurat Narkotika!” sambil bersembunyi di balik data yang amat patut diragukan mengenai sekian kematian per hari akibat narkotika. Pemerintah lupa, atau tak mau melihat, bahwa yang mereka lawan adalah mafia besar yang memandang bahwa kehilangan beberapa pion dalam permainan bukanlah sebuah masalah besar.

Negara-negara di seluruh dunia dengan caranya masing-masing mencoba mengatasi peredaran gelap narkotika. Walau dalam tahap aplikasi kebijakan ini pemerintah Uruguay juga menghadapi masalah, penting dan patut bagi Indonesia untuk melihat dan belajar pengalaman dan kebijakan Uruguay dan juga negara-negara lain seperti Belanda, Portugal, Swiss, bahkan India. Satu yang jelas, Indonesia butuh perubahan kebijakan terhadap narkotika. Tentu saja, mencapai perubahan bukan perkara mudah. Jose Mujica, presiden Uruguay pada saat negara itu mengubah kebijakannya terhadap ganja, berkata, “Selalu ada opini konservatif dan reaktif yang takut akan perubahan. Yang menyedihkan adalah bahwa seseorang yang hampir berumur 80 tahun,” ia menunjuk dirinya sendiri, “yang harus maju ke depan dan menawarkan keterbukaan yang kekinian kepada sebuah dunia yang konservatif yang membuatmu ingin menangis.”

 

Ditulis oleh Yohan Misero
Tulisan ini pernah diunggah ke legalisasiganja.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content