Merri Utami: Menyurati Hidup

Aug 15, 2016 Opini

Mohon untuk diperhatikan permohonan grasi yang sudah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasarkan Akta Permohonan Grasi Nomor: 02/Pid/2016/PN.TNG, tertanggal 26 Juli 2016 merupakan tambahan permintaan terakhir terpidana mati atas nama Merri Utami yang diajukan pada tanggal 27 Juli 2016 sebelum menghadapi eksekusi mati.

Permintaan di atas tercatat dalam berita acara penambahan permintaan terakhir yang dikuasai Jaksa Eksekutor dan merupakan dokumen negara. Permohonan grasi yang diajukan oleh Merri Utami kepada Presiden merupakan hak yang melekat pada seorang terpidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi Merri Utami sebagai terpidana mati yang masih dalam proses pemeriksaan secara hukum menangguhkan eksekusi mati. Sebelum Keputusan Presiden tentang permohonan grasi diterima oleh Merri Utami, eksekusi mati terhadap dirinya tidak boleh dilakukan. Rangkaian proses ini harus dihormati terutama oleh Jaksa Eksekutor yang memiliki wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati yang sedang mengajukan grasi, sebagaimana kita saksikan akhir Juli lalu, sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum.

Grasi tidak bisa semata-mata diartikan sebagai bentuk pengakuan atas sebuah dosa yang kemudian disertai permohonan maaf dan permintaan pengampunan. Pandangan tersebut sudah tidak lagi relevan dengan konsep grasi yang tertuang dalam huruf (b) pertimbangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang membuka peluang terhadap permohonan grasi atas perkara yang mengandung ketidakadilan demi menggapai keadilan hakiki dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rangka penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini baiknya dipandang oleh Presiden sebagai sebuah alat penyembuh luka bagi korban rekayasa kasus dan peradilan yang tidak adil dan memihak serta korban kriminalisasi. Pemahaman ini juga dapat dijadikan kesempatan oleh Presiden untuk mengganti putusan hukuman mati sebagai penghormatan atas hak hidup yang dijamin Konstitusi.

Sejalan dengan konstruksi tersebut, permohonan grasi Merri Utami yang telah terdaftar di Pengadilan Negeri Tangerang berdasar pada ikhtiarnya untuk merebut keadilan dan penegakkan hak asasi manusia. Merri Utami terseret dalam peredaran gelap narkotika karena dirinya terjebak dan tertipu oleh sindikat peredaran gelap narkotika internasional. Merri menjalin hubungan dengan seseorang yang hanya ingin memanfaatkannya dalam peredaran gelap narkotika. Merri Utami merasa ia hanya membantu seorang kekasih, tanpa sadar bahwa ia sedang menjadi alat sebuah sindikat. Belum lagi faktor relasi kuasa yang dipengaruhi oleh ketergantungan Merri Utami terhadap pasangannya ini dalam konteks materi. Hal ini dapat dipahami karena situasi sosial dan ekonominya yang sedang terpuruk saat itu. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kesehatan anaknya yang tidak kunjung pulih karena ia tidak memiliki biaya perawatan.

\"\"

 

Bagi kami di LBH Masyarakat, kasus semacam ini bukan hal baru. Selama 2016 ini saja, setidaknya ada empat kasus dengan konstruksi sosial serupa yang kami tangani. Sindikat memanfaatkan perempuan yang rentan secara sosial ekonomi untuk menjadi pion dalam peredaran gelap narkotika. Perempuan-perempuan yang kerentanannya dieksploitasi ini membawa narkotika dalam jumlah besar melewati batas-batas negara yang diancam dengan hukuman yang tidak manusiawi: hukuman mati.

Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana seharusnya sensitif dan dapat menjawab situasi sosial ini dengan bijak, bukannya menciptakan ketidakadilan baru dengan vonis pidana mati. Di tengah penegakan hukum yang tengah terpuruk dan korup, Presiden seharusnya memanfaatkan grasi sebagai mekanisme koreksi dan menjadi jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi Merri Utami dan perempuan-perempuan lain korban sindikat peredaran gelap narkotika yang mendapat vonis mati.

***

LBH Masyarakat, selaku kuasa hukum Merri Utami, mengajukan permohonan grasi 1 (satu) hari setelah Merri Utami mendapatkan pemberitahuan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang disampaikan melalui Pengadilan Negeri Cilacap pada tanggal 25 Juli 2016. Padahal putusan PK Merri Utami diputus pada tanggal 15 Agustus 2014. Artinya, ada keterlambatan penyampaian isi putusan PK kepada Merri Utami. Momen keterlambatan penyampaian isi putusan PK ini berbarengan dengan rencana eksekusi mati.

Kondisi ini diduga kuat untuk menyulitkan terpidana mati agar tidak dapat mengajukan langkah hukum, termasuk grasi. Namun, kami berhasil melakukan pendaftaran grasi ditengah sempitnya waktu yang tersedia. Hal ini tidak kami lakukan untuk buying time. Pun kami sudah mengajukan grasi sebelumnya, permohonan PK harus tetap diputus terlebih dahulu. Hal ini jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi yang menjelaskan bahwa grasi yang diajukan berbarengan dengan permohonan PK, maka prioritas utama untuk diperiksa dan diputus adalah permohonan PK terlebih dahulu dibanding permohonan grasi. Yang kami lakukan ialah semata memenuhi hak terpidana.

Semoga Presiden dapat melihat situasi ini, serta mempertimbangkan faktor-faktor eksploitasi kerentanan situasi sosial ekonomi dan cacat prosedur dengan keterlambatan penyampaian putusan, untuk menghormati hak hidup Merri Utami.

 

Penulis: Muhammad Afif Abdul Qoyim

Editor: Yohan Misero

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content