Ketika saya sedang membaca-baca artikel di dunia maya, saya menemukan sebuah artikel menarik tentang Warga Negara Asing (WNA) yang terjerat kasus narkotika yang menjadi seorang drug mule yang harus berhadapan dengan hukum di Indonesia. Fenomena drug mules sepertinya menjadi tren untuk menyelundupkan narkotika secara ilegal, dan melibatkan perempuan dan laki-laki. Untuk keterlibatan perempuan sendiri pertama kali tercatat pada 30 tahun lalu. Namun, contoh-contoh yang tercatat tentang peran perempuan itu sudah ada selama 100 tahun.[1]
Keterlibatan peran perempuan menjadi drug mules, menurut sejumlah studi, menunjukkan bahwa perempuan berada dalam situasi yang mengharuskannya menjadi kurir (drug mules) karena pemaksaan dan intimidasi, baik itu secara tidak sadar (ditipu/diperdaya) atau melakukannya secara sukarela.[2] Selain karena paksaan, mereka melakukannya (menjadi kurir) karena kompensasi finansial yang mereka dapat.[3] Laporan International Drug Policy Consotrium (IDPC) menyebutkan sekitar 2% perempuan yang ada dalam tahanan di Indonesia terlibat dalam kasus drug mules.[4] Keterlibatan mereka dibarengi dengan ketidaktahuan mereka akan konsekuensi hukum yang menantinya. Selama ini para sindikat kerap mengeksploitasi perempuan karena mereka jarang dicurigai oleh aparat penegak hukum.[5]
Laporan IDPC juga menyebutkan bahwa 53% perempuan mengakui adanya keterlibatan laki-laki, sedangkan 27% mengakui mereka dipengaruhi oleh pasangannya.[6] Hal di atas membuktikan bahwa perempuan yang terjerat kasus narkotika sebagai kurir (drug mules) selama ini adalah korban. Tapi sayangnya aparat penegak hukum kerap tidak menempatkan perempuan sebagai korban.[7]
LBH Masyarakat (LBHM) sendiri pernah menangani satu kasus yang berkaitan dengan perempuan dan narkotika. Kasus ini melibatkan WNA asal Kyrgyzstan yang bernama Zhibek Sakeeva. Ia ditangkap dan ditahan karena kedapatan membawa narkotika di dalam tasnya. Zhibek mengatakan dalam pembelaannya bahwa ia tidak tahu menahu soal narkotika itu. Yang ia tahu adalah jika berhasil membawa tas itu ia akan mendapat imbalan. Kendala bahasa menjadi kedala utama untuk melakukan pemeriksaan terhadap Zhibek. Zhibek hanya mengerti Bahasa Rusia dan tidak cakap dalam berbahasa Inggris, apalagi Indonesia. Hingga akhirnya pihak kepolisian mendatangkan penerjemah yang mendampingi Zhibek selama proses hukum berlangsung. Menurut kuasa hukum Zhibek, penerjemah mempunyai peran sangat penting dalam kasus Zhibek. Penerjemah juga memiliki peran untuk dapat melindungi dan menjaga hak Zhibek, dan menghindarkannya dari tindakan diskriminatif dan tindakan kekerasan yang bisa terjadi kapanpun. Apalagi Zhibek sebagai perempuan sangat rentan mengalami hal tersebut.
Ada hal menarik yang bisa ditarik dari kasus Zhibek ini, yaitu bagaimana peran penerjemah dalam proses hukum. Peran penerjemah dalam hukum acara pidana sendiri sudah diatur dalam KUHAP yakni melalui Pasal 177 (1): “Jika terdakwa atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.[8] Pasal 51 serta Pasal 53 (1) KUHAP menyebutkan bahwa, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa…”.[9]
Jika persoalan penerjemah sudah diatur dalam KUHAP, lantas bagaimana dengan implementasinya di lapangan? Mari kita tengok beberapa tahun terakhir, dimulai dari kasus Mary Jane Fiesta Veloso (selanjutnya dipanggil Marry Jane). Marry Jane merupakan terpidana mati asal Filipina. Ia menjadi contoh gagalnya pemenuhan hak fair trial bagi seorang terpidana. Selama di persidangan antara Juli dan Oktober 2010, ia hanya mendapatkan seorang penerjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Sedangkan Marry Jane sendiri hanya mengerti Bahasa Tagalog. Penerjemahnya pun merupakan seorang mahasiswa perguruan tinggi.[10] Selain itu, terpidana mati Raheem Agbaje Salami juga menjadi korban unfair trial. Menurut keterangan kuasa hukumnya, kliennya tidak didampingi penerjemah selama interogasi polisi. Selama persidangan dia hanya menerima penerjemahan yang terputus-putus dalam Bahasa Inggris, bahasa yang tidak dipahaminya dengan baik.[11] Adapun kasus lainnya, terpidana mati Rodrigo Gularte, dipaksa menandatangani dokumen yang ia sendiri tidak mengetahui tujuannya untuk apa dan tanpa didampingi kuasa hukum ataupun penerjemah.[12] Apa yang menimpa pada Marry Jane, Raheem Agbaje dan Rodrigo Gularte merupakan kegagalan penegak hukum untuk menjamin terpenuhinya fair trial bagi orang yang yang berhadapan dengan hukuman mati/eksekusi[13], khususnya memberikan penerjemah yang layak dan kompeten.
Salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus-kasus di atas adalah, keberadaan seorang penerjemah sangatlah penting ketika memberikan pendampingan bagi WNA yang berhadapan dengan hukum – terlebih di kasus hukuman mati. Penerjemah juga bisa melihat apakah tersangka/terdakwa yang dia damping sudah dipenuhinya hak hukumnya atau belum. Penerjemah pun dapat menjadi seorang teman, karena kedekatannya dengan tersangka/terdakwa, membuat penerjemah dapat memahami permasalahan batin yang dialami mereka.
Berkaca pada kasus Marry Jane, Rodrigo Gularte dan Raheem Agbaje yang selama masa tahanan dan peradilan tidak mendapatkan penerjemah yang berkompeten, akhirnya membuat mereka berhadapan dengan eksekusi. Sudah sepatutnya pemerintah mulai memperhatikan dan memenuhi hak-hak orang yang berhadapan dengan hukuman mati. Khususnya yang berkewarganegaraan asing yang membutuhkan kebutuhan khusus yakni bantuan penerjemah.
Penulis: Tengku Raka
Editor: Ricky Gunawan
[1] Jennifer Fleetwood, Drug Mules: Women in the International Cocaine Trade, 2014, Hlm. 5
[2] UNODC, World Drug Reports: Women And Drugs Report 2018, Hlm. 29
[3] Ibid., UNODC, Hlm. 28
[4] Marry Catherine A. Alvarez, “Women, Incarceration and Drug Policy in Indonesia: Promoting Humane and Effective Responses”, Maret 2019, Hlm. 9
[5] Stephanie Martel, “The Recruitment of Female “Mules” by Transnational Criminal Organizations: Securitization of Drug Trafficking in the Philippines and Beyond”, Agustus 2013, Hlm. 25
[6] Op.cit,. Marry Catherine A. Alvarez, Hlm. 8
[7] Op.cit,. Stephanie Martel, Hlm. 29
[8] Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), Pasal 177.
[9] Ibid., Pasal 53 (1)
[10] Amnesty Internasional, Laporan: ‘Keadilan Yang Cacat: Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia’, 2015, Hlm. 42
[11] Ibid., Amnesty Internasional, Hlm. 42
[12] Wawancara dengan Ricky Gunawan, Direktur LBHM, salah satu pengacara Rodrigo Gularte.
[13] Lihat Ricky Gunawan dkk, ‘Laporan Kebijakan: Memperkuat Perlindungan Hak Orang Berhadapan Dengan Hukuman Mati’, LBHM, Maret 2019,