Tertangkapnya Bupati Langkat Terbit Peranging-angin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang paska turut ditemukannya kerangkeng besi sebagai ‘fasilitas’ rehabilitasi narkotika. Para penghuni kerangkeng adalah pengguna narkotika yang juga dipekerjakan di ladang sawit tanpa upah seperti pekerja dengan hanya diberi makan dan ekstra pudding. Metode ini dilakukan dengan dalih agar selepas menyelesaikan rehabilitasi, mereka memiliki keahlian untuk bekerja. Setidaknya ada 3 (tiga) persoalan yang mengemuka dari kasus ini.
Pertama, berdasarkan hukum, setiap tempat yang menjalankan aktivitas rehabilitasi harus terdaftar di institusi terkait. UU Narkotika hanya mengenal rehabilitasi medis dan sosial. Intitusi terkait yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rehabilitasi medis adalah Kementerian Kesehatan, sementara rehabilitasi sosial oleh Kementerian Sosial. Di tengah kebutuhan penggunaan narkotika yang belum terakomodasi oleh kedua institusi tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyelenggarakan rehabilitasi dengan metode tersendiri. Ujungnya, pengobatan/perawatan (treatment) rehabilitasi narkotika memiliki payung masing-masing.
Berkaca dari kasus Bupati Langkat di atas, legalitas dan ketentuan operasional yang akan dijalankan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dan mengikuti ketentuan dari intitusi terkait, antara BNN, Kemenkes, atau Kemensos. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut, maka tempat rehabilitasi narkotika bisa dikategorikan ilegal dan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sebagaimana banyak diberitakan juga, rupanya BNN pernah mengunjungi kerangkeng besi tersebut dan justru membiarkannya. Perlu penelusuran lebih lanjut untuk mencari tahu apakah ada pejabat BNN yang mendapat keuntungan dari praktik kerangkeng besi ini, dan apakah ada fasilitas rehabilitasi ilegal lainnya yang didiamkan oleh BNN. Berdasarkan data Polri, sampai pertengahan tahun 2021, terdapat lebih dari 19 ribuan kasus narkotika yang menyeret 24.878 orang yang menjadi tersangka narkotika. Seandainya 10% dari kelompok ini dialihkan ke lembaga rehabilitasi, bisa dipastikan beroperasinya tempat rehabilitasi menjadi potensi bisnis yang menggiurkan.
Kedua, terkuaknya dalih tempat rehabilitasi narkotika yang menghimpun pekerja di ladang sawit sebagai upaya untuk mendapatkan keterampilan adalah skema perawatan yang keliru. BNN dan Kemenkes, Kemensos memiliki standar perawatan pasien rehabilitasi yang melarang aktivitas memperkerjakan pasien. Relasi pasien rehabilitasi dengan tempat rehabilitasi tidak bisa dianggap layaknya majikan dengan buruh. Model relasi demikian justru mendelegitimasi skema perawatan pasien rehabilitasi. Dalam kacamata bisnis, memperkerjakan pasien rehabilitasi narkotika tanpa upah jelas berpeluang mendapat keuntungan besar. Artinya, pemilik fasilitas rehabilitasi bisa mendapatkan sekian banyak buruh murah (atau bahkan gratis) untuk bekerja menghasilkan suatu produk atau jasa, dan meraup keuntungan finansial. Berkaca dari praktik kerangkeng besi Bupati Langkat, maka evaluasi dan verifikasi lapangan oleh institusi terkait terhadap keberadaan tempat rehabilitasi narkotika untuk memastikan kepatuhan standar pelaksanaan rehabilitasi menjadi mendesak dilakukan dalam waktu dekat.
Ketiga, dalam konteks industri sawit, tingginya permintaan terhadap minyak sawit meningkatkan kebutuhan tenaga kerja yang banyak. Namun beberapa studi menunjukkan problem perburuhan di industri sawit menyangkut praktik kerja eksploitatif. Bentuk-bentuk eksploitasi sebagaimana digariskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan dan praktik-praktik serupa perbudakan.
Dalam makna tradisional, perbudakan dipahami sebagai tindakan kepemilikan atas manusia oleh manusia lainnya layaknya properti atau hewan ternak yang bisa diberikan, diwariskan, dijual, atau dipindahtangankan. Evolusi perbudakan menunjukkan bahwa variasi dehumanisasi tumbuh semakin kompleks, baik secara kasat mata maupun secara implisit menyusup ke dalam ruang personal dan struktural. Di titik inilah fenomena perbudakan modern muncul.
David Weissbrodt dan Anti-Slavery International merumuskan bahwa dalam konteks perbudakan modern faktor berikut perlu diperiksa secara seksama: (a) aspek pembatasan kebebasan bergerak, (b) tingkat kendali atas barang pribadi, (c). adanya pemahaman penuh atas persetujuan tentang relasi antara para pihak. Sementara itu, Walk Free Foundation memberikan contoh bentuk-bentuk perbudakan modern, diantaranya kerja paksa, buruh tidak dibayar upahnya karena untuk melunasi hutangnya, pernikahan paksa, dan perdagangan manusia. Praktik semacam ini kerap ditemukan di banyak industri, termasuk manufaktur garmen, pertambangan, dan pertanian; dan dalam banyak konteks, dari rumah pribadi hingga pemukiman bagi para pengungsi internal dan pengungsi.
Baik perbudakan tradisional maupun modern sama-sama memiliki corak eksploitasi manusia atas manusia lainnya dalam rangka dimiliki atau dipindahtangankan kepada pihak lain. Namun, seiring semakin kompleksnya persoalan, semakin sulit pula regulasi nasional dan internasional merumuskan cakupan perbudakan modern secara rigid. Walk Free Foundation mengkategorikan perbudakan modern pada dasarnya merujuk pada situasi eksploitasi yang tidak dapat ditolak atau ditinggalkan oleh seseorang karena ancaman, kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan. Ruang lingkup ini mengakomodir problem perbudakan dewasa ini dalam spektrum yang lebih luas. Tapi di sisi lain, pemaknaan yang demikian dikhawatirkan mengaburkan karakteristik lain dari perbudakan atau ditafsirkan terlalu luas yang menghambat efektifitas upaya menghapus perbudakan.
Dalam konteks kasus kerangkeng besi Bupati Langkat, penghuni yang ditempatkan di kerangkeng besi diduga kuat terjadi perampasan kemerdekaan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Sehingga patut diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Bupati. Jika pun penempatan tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan perawatan adiksi, tidak bisa dijadikan alasan menggugurkan tindakan perampasan kemerdekaan melalui penyalahgunaan wewenang. Bahkan praktik rehabilitasi diyakini bukan dalam kerangkeng besi. Namun demikian di awal kasus ini terkuak, BNN seketika mengkonfirmasi bahwa rehabilitasi yang dijalankan ternyata illegal. Pernyataan ini semakin meneguhkan dugaan semata-mata yang dilakukan yaitu praktik kerja dengan dalih praktik rehabilitasi.
Indeks Perbudakan Global (Global Slavery Index) edisi 2018 yang dilaporkan oleh Walk Free Foundation mencatat Indonesia masih menerapkan praktik perbudakan dengan jumlah korban perbudakan yang banyak. Kondisi ini menunjukan bahwa praktik perbudakan tidak hilang dari keseharian. Praktik ini semakin berpeluang terus terjadi. Dalam konteks kasus narkotika, tingginya ledakan kasus narkotika saat ini dengan memanfaatkan skema rehabilitasi potensial terjebak dalam praktik kerja eksploitatif. Alih-alih menawarkan perawatan adiksi, justru yang terjadi praktik eksploitatif dengan iming-iming mendapatkan skill paska keluar dari fasilitas rehabilitasi. Terlebih pintu masuk mendapatkan rehabilitasi narkotika berdasarkan regulasi saat ini diantaranya melalui proses hukum yang tentunya syarat dengan keterpaksaan karena bagian proses hukum yang harus dijalani dan bisa jadi-mempertimbangkan tingkat adiksi yang tidak terlalu parah-tidak membutuhkan perawatan rehabilitasi.
Instrumen hukum model seperti ini yang diadopsi dalam UU Narkotika saat ini potensial disalahgunakan dengan kedok mendirikan fasilitas rehabilitasi padahal nyatanya praktik eksploitatif berupa perbudakan. Oleh sebab itu jebakan-jebakan yang mengarahkan pada tindakan eksploitatif karena problem struktural yang gagal sejak awal menganggap pecandu narkotika sebagai krimiminal padahal butuh integrasi sosial, mengandung potensi disalahgunakan. Meskipun solusi atas hal ini saling terkait dan multi dimensi, tapi meninjau kembali perawatan rehabilitasi sebagai solusi yang diwajibkan bagi pasien narkotika menjadi mutlak.
Tulisan ini ditulis oleh Direktur LBHM – M. Afif Abdul Qoyim. Tulisan ini juga sudah dipublikasikan pada kanal opini Koran Tempo: Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi