Perempuan Kurir Narkotika: Kerentanan yang Terlupakan

Mar 8, 2016 Opini

Hari ini, 8 Maret, adalah peringatan Hari Perempuan Internasional. Gagasan mengenai Hari Perempuan Internasional muncul pada tahun 1910 di Konferensi Internasional Pekerja Perempuan oleh Clara Zetkin, ketua Women’s Office untuk Partai Sosial Demokrat di Jerman.[1] Perayaan Hari Perempuan Internasional merupakan selebrasi global dan panggilan untuk kesetaraan jender.[2] Hingga hari ini masih banyak terdapat persoalan kesetaraan jender dan diskriminasi perempuan, tetapi masih ada satu persoalan yang sepertinya belum mendapat perhatian dari banyak pihak yakni perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir narkotika.

April 2015, Mary Jane Veloso, perempuan berkebangsaan Filipina nyaris dieksekusi oleh Indonesia karena dituduh terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir. Mary Jane telah menempuh segala upaya hukum, namun tidak ada ampunan kepadanya, bahkan dari Presiden Joko Widodo. Sebagian masyarakat Indonesia maupun komunitas internasional kemudian bersuara mendesak Presiden Joko Widodo agar Mary Jane tidak dieksekusi. Gerakan masyarakat pun menunjukkan kekuatannya. Pada detik-detik terakhir Mary Jane akan dieksekusi, Presiden Joko Widodo tiba-tiba membatalkan rencana eksekusi terhadap Mary Jane.

Mary Jane hanyalah satu dari daftar panjang perempuan yang telah dieksploitasi menjadi kurir narkotika. Pada bulan Januari 2015, Indonesia mengeksekusi mati Rani Andriani karena menjadi kurir narkotika dalam perjalanan menuju ke Thailand. Kemudian ada kasus Mut, EYS, I dan N.[3] Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa daftar panjang ini akan berhenti. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) ketika itu, Anang Iskandar, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2014 saja ada 4.297 perempuan Indonesia yang terlibat dalam peredaran narkotika. Umumnya mereka menjadi kurir narkotika baik di dalam maupun luar negeri.[4] Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika dilakukan dengan berbagai cara namun menggunakan pola yang sama: memanfaatkan kerentanan perempuan.

Hukum narkotika Indonesia yang mengadopsi paradigma ‘perang terhadap narkotika’ memberikan hukuman berat kepada kurir narkotika dengan pidana maksimal pidana mati. Sikap negara yang keras terhadap kurir narkotika dan hukum yang tidak peka terhadap jender semakin memojokkan perempuan yang sedari awal memiliki posisi tawar sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki karena relasi kuasa yang timpang. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa perempuan yang lemah secara pendidikan, ekonomi ataupun menjadi korban kekerasan seringkali dimanfaatkan oleh para sindikat dalam peredaran gelap narkotika.[5] Pola untuk merekrut kurir perempuan dilakukan dengan membentuk relasi personal dengan korban melalui hubungan pacaran ataupun pernikahan.[6] Dalam kondisi seperti ini sindikat memanfaatkan ketergantungan ekonomi dan psikologis perempuan ataupun dengan ancaman kekerasan.

Pola rekrutmen lainnya adalah di mana sindikat secara khusus memang mengincar perempuan yang miskin dan membutuhkan pekerjaan. Selain itu, pola rekrutmen dengan menjebak perempuan untuk membawa atau mengantarkan sejumlah narkotika tanpa sepengetahuan korban juga kerap kali dilakukan. Bisa dikatakan, pola pengeksploitasian perempuan semacam ini adalah suatu tindakan yang terencana dengan sistematis oleh sindikat. Sulistyowati Irianto, dkk. menyatakan bahwa pola rekrutmen perempuan narkotika yang sistematis dan terorganisir seperti itu merupakan bentuk perdagangan perempuan.[7] Adanya perekrutan atau transportasi perempuan dengan ancaman kekerasan; penipuan; pemaksaan dengan kekerasan; jeratan utang untuk tujuan menempatkan atau menahan perempuan, apakah dibayar atau tidak, dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan.[8]

Dengan kacamatanya yang punitif, aparat penegak hukum pun tidak lagi melihat persoalan kerentanan perempuan ketika menangani dan memutus sebuah perkara narkotika. Sulistyowati Irianto, dkk., mengungkapkan bahwa ketika unsur pasal telah terpenuhi dalam memutus perkara perempuan kurir narkotika, hakim tidak lagi mempertimbangkan faktor kerentanan dan kemiskinan perempuan dalam putusan mereka.[9]

Perekrutan perempuan menjadi kurir narkotika, yang merupakan bagian dari perdagangan perempuan, diperparah dengan ancaman hukuman mati atau hukuman berat lainnya kepada perempuan kurir narkotika. Perempuan, akhirnya, menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling dirugikan dalam perang terhadap narkotika.

Dalam perang terhadap narkotika, perempuan yang sudah rentan dieksploitasi harus berhadapan dengan hukuman mati dan puluhan tahun penjara karena posisinya yang lemah. Oleh karena itu, negara harus menimbang ulang kebijakan narkotikanya yang punitif dan menghapus hukuman mati untuk tindak pidana narkotika sebagai langkah awal perlindungan hukum terhadap perempuan. Negara harus melihat perempuan sebagai bagian dari korban perdagangan perempuan bukan pelaku utama peredaran narkotika. Sebab, hukum dan kebijakan negara haruslah responsif terhadap jender dan memberikan perlindungan terhadap perempuan, bukannya justru merugikan perempuan.

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi, Staf Pengembangan Program LBH Masyarakat yang memiliki minat di isu perempuan dan narkotika. Tulisan penulis lainnya dapat diakses melalui arintadds.wordpress.com

Editor: Yohan Misero

 

[1] Lihat misalnya http://www.internationalwomensday.com/About untuk mengetahui tentang Hari Perempuan Internasional.

[2] Ibid.

[3] Penulis sengaja tidak mencantumkan nama lengkap mereka karena kasusnya yang sedang berjalan di Indonesia.

[4] “4.297 Wanita Indonesia Kurir Narkoba Internasional”, https://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630260/4-297-wanita-indonesia-kurir-narkoba-internasional. Menariknya dan ironisnya, pemerintah – dalam hal ini BNN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) – sudah mengakui bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan sebagai kurir narkotika, tetapi belum ada upaya komprehensif pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Lihat misalnya, “Perempuan Rentan Jadi Kurir Narkoba”, http://www.indopos.co.id/2014/09/perempuan-rentan-jadi-kurir-narkoba.html.

[5] Satgas PBB untuk Kejahatan Internasional Lintas Negara dan Perdagangan Narkotika sebagai Ancaman terhadap Keamanan dan Stabilitas, “A Gender Perspective on the Impact of Drug Use, the Drug Trade, and Drug Control Regime”, Juli 2014.

[6] Khoirun Hutapea, “Pola-pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir dalam Jaringan Peredaran Narkoba Internasional”, Juni 2011, hal. 64.

[7] Sulistyowati Irianto, dkk., “Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8] Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan, “Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan: Panduan untuk Membantu Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan, 1999, hal. 11-12.

[9] Op.Cit.

0 thoughts on “Perempuan Kurir Narkotika: Kerentanan yang Terlupakan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content