Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.
Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.
Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.
Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?