Category: Hukuman Mati

Hukuman Mati LBHM

Perkembangan Pidana Mati dalam Proses Peradilan: Analisis Awal Berbasis Kasus Berdimensi Hukuman Mati Terbaru

Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.

Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.

Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.

Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?

Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

KUHP Baru yang disahkan akhir tahun 2022 lalu oleh DPR bersama Presiden masih memuat pidana mati sebagai hukuman yang diberlakukan dalam tindak pidana di Indonesia. Meski pidana mati masih dipertahankan, KUHP Baru menempatkan pidana mati bukan lagi pidana pokok sebagaimana existing KUHP. Ini artinya, pidana mati bukan lagi pemidanaan yang bersifat utama.

Dalam konteks implementasinya, KUHP Baru mengatur terkait penerapan pidana mati diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 98 KUHP Baru.

Tetapi secara konseptual, skema pidana mati alternatif ini menjadikan tindak pidana yang bersifat khusus berubah menjadi tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 67 KUHP Baru dan penjelasannya, diantaranya tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.

Dari konstruksi hukum tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis, apa saja jenis-jenis tindak pidana yang tidak disebutkan dalam Penjelasan Pasal 67 KUHP Baru? Apakah pidana mati akan diberlakukan secara alternatif juga?

Baca selengkapnya terbitan baru kami: “Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana”

Menyikapi Hukuman: Risiko dan Imbalan dalam Perdagangan Gelap Obat-obatan di Indonesia

The Death Penalty Project dan LBH Masyarakat bekerja sama melakukan penelitian tentang penggunaan hukuman mati untuk tindak pidana obat-obatan – khususnya, untuk membangun bukti empiris dan pengetahuan tentang siapa yang dihukum karena pidana obat-obatan dan untuk mengungkap faktorfaktor yang memengaruhi perilaku mereka. Kami ingin menggali apa yang memotivasi individu untuk melakukan tindak pidana tersebut dan sejauh mana ancaman hukuman yang keras menjadi faktor dalam pengambilan keputusan mereka, serta untuk melihat seperti apa sesungguhanya efek hukuman mati dalam mencegah seseorang terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang. Ini adalah faktor-faktor penting untuk dapat secara akurat menilai efektivitas hukuman yang keras.

Laporan ini – yang kami tugaskan untuk dilakukan Death Penalty Research Unit di University of Oxford dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – adalah tahap pertama dari penelitian kami. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai sampel non-acak dari 57 narapidana yang saat ini menjalani hukuman untuk tindak pidana obat-obatan di suatu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II di Jakarta.

Silakan membaca laporannya melalui tautan di bawah ini:

https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2023/05/Menyikapi-Hukuman-Risiko-dan-Imbalan-dalam-Perdagangan-Gelap-Obat-obatan-di-Indonesia.pdf

Pengalaman dan Pembelajaran dari Pendampingan terhadap Enam Terpidana Mati dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Pada 2023, LBH Masyarakat (LBHM) mengajukan lima permohonan Peninjauan Kembali (PK) melalui tiga Pengadilan Negeri berbeda di wilayah DKI Jakarta. Satu permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 2022. Adapun kelima Pemohon PK di tahun 2023 ini merupakan terpidana mati dengan pembagian empat Warga Negara Asing (WNA) dan satu Warga Negara Indonesia (WNI). Satu dari lima orang ini merupakan perempuan dan satu-satunya WNI. Kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini telah menjalani pemidanaan selama 7-9 tahun.

Kesemua Pemohon PK mendalilkan alasan adanya kekhilafan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang mana narasi permohonan ini kami kembangkan sesuai dengan gagasan dan semangat KUHP baru (2023). Dalam KUHP 2023, pidana mati berubah menjadi pidana alternatif, dimana terdapat ketentuan yang mengatur perihal adanya perubahan pidana mati dengan alasan ‘menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji’.

Atas dasar inilah, LBHM merasa sudah tepat jika kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini perlu mendapatkan perhatian, mengingat mereka sudah menjalani pemidanaan hampir selama 10 tahun, tidak pernah melakukan/berbuat tindak pidana lain, dan tidak pernah melakukan pelanggaran bersifat administratif.

Selain itu, pada 7 Oktober 2022 lalu, LBHM sebagai kuasa hukum perempuan terpidana mati Merri Utami, mengajukan permohonan sekaligus menyerahkan dokumen PK kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Tangerang (PN Tangerang).

Selama proses pendaftaran, pihak yang bertugas di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PN Tangerang mengecek seluruh kelengkapan dokumen beserta alasan alasan PK. Pada saat itu, petugas PTSP menilai bahwa PK Merri Utami ini sudah pernah diajukan pada 2014 sehingga untuk pengajuan PK yang lebih dari satu kali tidak diperkenankan.

Mendapatkan penjelasan tersebut, LBHM mendorong agar yang melakukan penilaian adalah Mahkamah Agung sehingga dokumen PK secara administratif dikirimkan saja ke Mahkamah Agung untuk diregister.

Bagaimana pengalaman LBHM dalam menangani seluruh permohonan PK tersebut, baik secara kendala maupun tantangan, atau hal baik yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran?

Baca selengkapnya terbitan baru kami melalui link di bawah ini:

Download

Pengalaman dan Pembelajaran dari Pendampingan terhadap Enam Terpidana Mati dalam Pengajuan Peninjauan Kembali

Pada 2023, LBH Masyarakat (LBHM) mengajukan lima permohonan Peninjauan Kembali (PK) melalui tiga Pengadilan Negeri berbeda di wilayah DKI Jakarta. Satu permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 2022. Adapun kelima Pemohon PK di tahun 2023 ini merupakan terpidana mati dengan pembagian empat Warga Negara Asing (WNA) dan satu Warga Negara Indonesia (WNI). Satu dari lima orang ini merupakan perempuan dan satu-satunya WNI. Kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini telah menjalani pemidanaan selama 7-9 tahun.

Kesemua Pemohon PK mendalilkan alasan adanya kekhilafan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang mana narasi permohonan ini kami kembangkan sesuai dengan gagasan dan semangat KUHP baru (2023). Dalam KUHP 2023, pidana mati berubah menjadi pidana alternatif, dimana terdapat ketentuan yang mengatur perihal adanya perubahan pidana mati dengan alasan ‘menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji’.

Atas dasar inilah, LBHM merasa sudah tepat jika kelima terpidana mati yang mengajukan PK ini perlu mendapatkan perhatian, mengingat mereka sudah menjalani pemidanaan hampir selama 10 tahun, tidak pernah melakukan/berbuat tindak pidana lain, dan tidak pernah melakukan pelanggaran bersifat administratif.

Bagaimana pengalaman LBHM dalam menangani lima permohonan PK tersebut, baik secara kendala maupun tantangan, atau hal baik yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran?

Hukuman Mati Tidak Memenuhi Keadilan Korban Kejahatan Seksual

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyoroti langkah Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari Herry Wirawan (pelaku pemerkosaan 13 santri) dan tetap menghukum mati Herry sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Kami mendukung secara penuh penjatuhan pidana seberat-beratnya pada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan, tetapi kami juga turut menggaris bawahi bahwa  penolakan kasasi oleh MA justru menunjukkan lalainya negara dalam memahami penjatuhan vonis mati belum tentu menyelesaikan persoalan dan membuat jera para pelaku kekerasan seksual.

Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan secara jelas melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun  (non derogable rights). Selain itu, jika dilihat berdasarkan aturan internasional, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Jika ditelisik lebih dalam, kasus kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang tidak dapat otomatis  akan selesai melalui penjatuhan vonis mati terhadap pelaku. Vonis hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusi dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Meskipun argumen utama vonis hukuman mati dalam kasus ini adalah dapat mencegah pemerkosaan, justru pada World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai Negara di dunia menyebutkan sebaliknya. Bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera. Berdasarkan catatan kritis yang dibuat oleh ICJR, MaPPI FHUI, ECPAT Indonesia, dan Koalisi Perempuan Indonesia, sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus perkosaan yang tidak dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga. Seorang anak yang diperkosa telah mengalami banyak permasalahan dan trauma. Kerap kali pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang dipercaya dan korban dapat merasakan trauma yang berlipat jika mengetahui pelakunya dapat meninggal karena laporan pemerkosaannya. Sejalan dengan hal tersebut, angka kekerasan seksual di Indonesia juga masih relatif tinggi, berdasarkan laporan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika dibandingkan tahun 2020. Disisi lain, masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara adalah terkait dengan tidak memiliki akses terhadap keadilan oleh korban kekerasan seksual – baik oleh stigma, ketakutan akan pembalasan oleh pelaku, stereotip gender yang mengakar dan ketidak seimbangan kekuatan, kurangnya mekanisme peradilan, serta undang-undang yang justru memaafkan perlakuan pelaku kepada korban serta kurangnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual. 

Dalam menuntaskan persoalan kejahatan seksual, Negara dituntut hadir untuk berfokus pada aspek pemulihan korban dan mencegah segala bentuk keberulangan dengan menciptakan ruang aman. Alih-alih berfokus pada agenda tersebut, , negara mengembalikan paradigma penghukuman yang kejam dan punitif salah satunya tercermin dalam  vonis mati kepada Herry Wirawan. Setiap adanya pemberitaan mengenai kekerasan seksual, pemerintah merespons dengan kebijakan yang semakin keras bahkan hingga vonis hukuman mati sebagai bentuk kekhawatiran, daripada mengidentifikasi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.  Penjatuhan vonis mati kepada Herry Wirawan seakan menunjukkan keberpihakan negara kepada korban, padahal negara hanya fokus untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tidak berfokus kepada pemenuhan hak-hak korban dalam hal rehabilitasi, kompensasi, restitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada sisi lain proses hukum yang panjang dan melelahkan bagi korban justru menimbulkan mekanisme penyelesaian yang tidak pasti dan memadai bagi korban. Alokasi anggaran yang disedot dari keuangan negara untuk proses hukum dan eksekusi mati pun tidak sepadan dengan nominal yang diberikan kepada korban. Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban. Dapat dipahami bahwa perlu adanya mekanisme perubahan yang serius dan progresif terhadap sistem penegakan hukum untuk dapat mencegah kembali terjadinya tindak kekerasan seksual yang saat ini masih masif terjadi. 

Jakarta, 4 Januari 2023

KontraS – LBHM
Narahubung :
Layla Adiwitya (0812 2976 7269-LBHM)
Rivanlee Anandar (0813 9196 9119-KontraS)

Laporan Penelitian Faktor Hukuman Mati

Konstitusi Negara Republik Indonesia melalui Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa hak untuk hidup adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Dengan nada serupa, Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, menyatakan hak untuk hidup bersifat melekat pada setiap individu serta merupakan hak yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, ICCPR menyerukan kepada negara yang belum menghapus hukuman mati untuk membatasi penerapan hukuman mati hanya pada ‘tindak kejahatan yang paling serius’ (most serious crimes). Kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan protokol tersebut bukan kejahatan sipil seperti narkotika maupun pembunuhan. Kendati sudah meratifikasi ICCPR, Indonesia masih belum meratifikasi baik optional protocol maupun second optional protocol atas ICCPR.

Meskipun hukuman mati di Indonesia tidak bersifat wajib, hukuman mati tetap merupakan salah satu ancaman hukuman yang disediakan undang-undang (de jure) sehingga hakim dapat memilih untuk menjatuhkannya. Di dalam KUHP yang berlaku saat ini, pidana mati dapat menyasar pelaku tindak pidana narkotika, pembunuhan berencana, terorisme,  hingga kejahatan terhadap keamanan negara. Secara praktik, pidana mati selama ini banyak menyasar orang yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana.

Ketentuan undang-undang di Indonesia membuka ruang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu. Sayangnya, Indonesia belum memiliki pedoman (safeguard) yang secara khusus memastikan perlindungan hak-hak terdakwa yang mendapat ancaman hukuman mati. Namun demikian, berkaca pada praktik-praktik baik (best practices) yang ada, beberapa negara telah menerapkan pedoman pemidanaan (guideline/safeguard) untuk penjatuhan hukuman mati. Terdapat batasan spesifik telah dicantumkan dalam menjatuhkan pidana mati, misalnya: harus disertai keadaan-keadaan yang memberatkan (aggravating circumstances) dan tidak ada keadaan-keadaan yang meringankan (no mitigating circumstances); pemeriksaan terhadap dugaan penyiksaan (torture), perlakuan sadis (sadism), atau motif kejam (motive evincing ‘total depravity and meanness’); tidak menyasar korban yang merupakan kelompok rentan (vulnerable group), seperti: anak-anak, orang tua atau lansia, perempuan hamil; disertai perencanaan (premeditation or significant planning), dan lain sebagainya.

Sejak tahun 2021 LBHM, IJRS dan Reprieve melakukan penelitian terhadap putusan pidana mati yang terjadi di Indonesia berdasarkan catatan yang dibuat oleh Reprieve. Hasilnya, kami berhasil menemukan total 216 putusan pidana mati yang terdiri dari 158 putusan peradilan terhadap tindak pidana narkotika dan 58 putusan terhadap tindak pidana pembunuhan berencana. Jumlah tersebut belum merepresentasikan keseluruhan kasus yang ada karena terdapat keterbatasan penelitian seperti ketidatersediaan ataupun rusaknya dokumen putusan yang tersedia secara elektronik pada situs Mahkamah Agung. Namun, pada kesempatan tertentu, pihak Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa terdapat 406 terpidana mati yang tersebar di berbagai lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Terlepas dari adanya keterbatasan, penelitian ini menunjukkan beragam temuan terkait praktik pidana mati di Indonesia. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan adanya urgensi pembentukan suatu panduan pemidanaan untuk membantu hakim memberikan keputusan seadil mungkin jika harus menjatuhkan pidana mati. Selain itu panduan pemidanaan juga dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia bagi orang-orang yang menghadapi ancaman pidana mati. Kebutuhan akan panduan pemidanaan ini juga masih relevan meski Indonesia telah mengubah pidana mati menjadi pidana alternatif melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan. Sebab, meskipun menjadi pidana alternatif, masih terdapat ketidakjelasan mekanisme pelaksanaan pidana mati pada KUHP Nasional yang disahkan pada 6 Desember 2022.

PRAKTIK KORUPSI DALAM PIDANA MATI

Praktik korup dan pelanggaran etik dalam pemeriksaan perkara di institusi penegak hukum masih marak terjadi. Sepanjang 2010-2022, menurut informasi media terdapat 23 hakim ditangkap terkait korupsi.[1] Bahkan beberapa waktu terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 2 Hakim Agung sebagai tersangka korupsi yang baru terjadi sepanjang orde reformasi.

Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif yang berwenang di bidang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menyebutkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 85 Hakim yang dijatuhi sanksi etik karena terbukti melanggar KEPPH.[2] KUHP yang baru disahkan oleh Presiden dan DPR nyatanya masih mempertahankan pidana mati, ini adalah legitimasi perampasan hak hidup di tengah rapuhnya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu pidana mati, terdapat lebih dari 400 orang yang saat ini berstatus sebagai terpidana mati di Indonesia, dan 70% diantaranya merupakan warga negara Indonesia (WNI). Data dari Kementerian Luar Negeri per 30 September 2022, terdapat 233 WNI yang terancam pidana mati di luar negeri.[3] Kebijakan pidana mati yang diadopsi dalam hukum pidana memperbesar hambatan diplomasi dan pengerahan sumber daya politik dalam penyelamatan WNI di luar negeri.

Problem pidana mati semakin tragis dengan meningkatnya jumlah deret tunggu kematian yang dihadapi terpidana mati dalam menunggu eksekusi mati. Di titik ini, terpidana mati menjalani pemenjaraan yang lama sehingga hukuman yang dijalani terpidana menimbulkan hukuman ganda yang dijalani di tengah buruknya infrastruktur Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berkontribusi menggerus kondisi fisik, psikologis, dan mental terpidana mati.

Praktik penghukuman tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia ini dalam konteks deret tunggu kematian dibayang-bayangi dengan munculnya kerugian yang dipikul negara. Terlebih, fenomena deret tunggu kematian dijalani lebih dari 20 tahun pemenjaraan yang secara hukum illegal karena melebihi durasi pidana penjara yang diatur KUHP.

Secara konkret, praktik tersebut dialami oleh Merri Utami. Beliau adalah terpidana mati perempuan yang sudah mendekam selama 21 tahun di penjara. Sehingga praktik deret tunggu kematian yang melebihi durasi pemenjaraan yang dialami Merri Utami di tenggat waktu 1 tahun terakhir ini syarat dengan praktik korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

Dalam regulasi, Kementerian Hukum dan HAM menyebutkan bahwa dalam 1 hari negara menyediakan anggaran sebesar Rp 17.000 untuk biaya makan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP). Dikaitkan dengan praktik illegal pemenjaraan yang dialami oleh Merri Utami dalam 1 tahun terakhir ini, maka negara mengeluarkan biaya Rp 6.205.000. Kerugian keuangan negara ini diperparah dengan beban anggaran eksekusi mati. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyampaikan dalam pelaksanaan eksekusi mati negara harus mengeluarkan anggaran kurang lebih sebesar Rp 200.000.000 terhadap 1 orang terpidana mati.

Berdasarkan UU PNPS No. 2 Tahun 1964 dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010, eksekusi mati juga dijalankan oleh Polri, sehingga anggaran yang menyedot keuangan negara berada di 2 instansi, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri. Double anggaran ini tidak menutup kemungkinan membuka ruang penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh institusi tersebut. Di sisi lain anggaran eksekusi mati sering kali tidak transparan disampaikan ke publik oleh Pemerintah (dalam hal ini Kejaksaan dan Polri), padahal anggaran yang dikelola memiliki angka besar. Ombudsman Republik Indonesia pernah memberikan menyatakan terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang III pada 2016 lalu. Hal ini semakin mengindikasikan terjadinya penyelewengan pelaksanaan eksekusi mati yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Berdasarkan hal tersebut, LBHM mendesak KPK untuk (1) menyelidiki adanya potensi kerugian negara dalam pemenjaraan terpidana mati yang menjalani pemenjaraan melebihi durasi pemenjaraan, sebagaimana diatur dalam KUHP dan (2) mengusut potensi penyelewengan anggaran negara dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini.

Jakarta, 9 Desember 2022
Hormat kami,

LBHM

Narahubung:
Yosua: 081297789301

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati (Kohati), pada tanggal 31 Maret lalu sudah mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM dalam isu hukuman mati di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya transparasi yang dilakukan pemerintah ketika menjalankan eksekusi mati, selain itu permasalahan hukuman mati pada kasus narkotika juga menjadi perhatian karena ” war on drugs” dijadikan alat untuk mendorong adanya hukuman mati dalam kasus narkotika di Indonesia, yang dimana banyak menyasar korban.

Laporan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Stakeholders\’ Report on the 4th UPR of Indonesia on Issues Relating to the Death Penalty

Skip to content