Laporan Masyarakat Sipil: Universal Periodic Review Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati
Selasa, 8 April 2022 – Pada hari Selasa, 29 Maret 2022 Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2002 tentang hukuman mati. Dalam laporan tersebut, Koalisi HATI melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati. Indonesia menerima 2 (dua) dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.
Di UPR 2022, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati, menyampaikan beberapa masalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia, di antaranya:
- Rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkati hukuman mati. Angka
terpidana mati terus meningkat setiap tahunnya, angka ini dikumpulkan oleh kelompok
masyarakat sipil melalui media monitoring karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah
terkait hukuman mati sehingga tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik
sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati menjadi diragukan. - Pendekatan ” War on Drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga malah hanya
menambah jumlah vonis mati. Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika.
Tak hanya dalam kasus hukuman mati secara umum mayoritas penghuni Lapas juga mereka yang
melakukan kejahatan narkotika. Karena itu, kebijakan “war on drugs” yang salah dan keliru itu
hanya membuat penjara menjadi over kapasitas. - Hak-hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas
mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”,
sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi. Berdasarkan undang-undang Pemasyarakatan
terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan
Perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga
pemasyarakatan. Keikutsertaan mereka dalam aktivitas seperti program pembinaan, olahraga atau
berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. karena tidak diwajibkan,
banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri
hingga berakhir pada depresi akut. Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan
kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka dari itu tidak heran ketika terpidana mati yang
berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama. - Hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak
kelemahan untuk keadilan substansial. Persidangan virtual tentu saja memberikan ruang yang lebih
besar untuk persidangan yang tidak adil, seperti kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat
diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat
yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi masalah. - Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan: lansia, orang miskin, perempuan, buruh
migran, dan anak-anak. Hukuman mati dilarang untuk diberikan kepada anak-anak. Namun di
Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak seperti yang dialami oleh
Mispo Gwijangge (MG) beberapa waktu yang lalu. Hukuman mati juga sering kali diskriminatif
kepada mereka yang rentan seperti kelompok buruh migran Yang Tak jarang juga menjadi korban
perdagangan orang. Saat ini ada seorang kakek bernama Isnardi berusia 76 tahun yang sedang
menunggu eksekusi mati di Lapas Binjai karena terjerat kasus narkotika. Ini adalah kali pertama
kakek Isnardi berurusan dengan hukum. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pengembala sapi dan
kambing milik orang lain. Kakek Isnardi, dan mungkin juga banyak kurir narkotika lainnya adalah
korban kemiskinan dan situasi terdesak. - Kebijakan Grasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. UU Grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Grasi. Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.
Berangkat dari berbagai permasalahan diatas, kami koalisi untuk hapus hukuman mati mendorong Badan
HAM PBB untuk mendorong pemerintah Indonesia agar:
- Menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati;
- Membuat keputusan resmi untuk menetapkan secara de jure moratorium eksekusi dengan
memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak menuntut hukuman mati dalam penuntutan untuk semua
jenis kejahatan dan tidak melakukan eksekusi; - Mempublikasi data terkait perkara pidana mati oleh kejaksaan, pengadilan, dan direktorat jenderal
pemasyarakatan secara berkala, baik diminta maupun tidak diminta; - Menghentikan narasi “perang terhadap narkoba” yang berkontribusi pada tingginya angka
hukuman mati dalam kasus narkoba dan mengedepankan kebijakan berbasis bukti dan memenuhi
standar hak asasi manusia yang termasuk dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika; - Melakukan perubahan hukuman secara masal terhadap terpidana mati yang menjalani pidana
penjara lebih dari 10 (sepuluh) tahun; - Melakukan penelaahan terhadap rancangan revisi KUHP terkait dengan perubahan pidana mati
yang dilakukan secara otomatis terhadap terpidana mati yang menjalani hukuman 10 tahun penjara; - Memberikan pelatihan bagi hakim dan penuntut umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak
asasi manusia untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan, penerapan hukuman mati dan
menghindari hukuman mati untuk dijatuhkan lebih dari satu kali; - Meninjau kembali kebijakan pemidanaan di Indonesia agar tidak hanya fokus pada pidana penjara
tetapi juga mencari alternatif pidana lain yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM dan keadilan
restoratif; - Menghilangkan ketentuan pidana mati dalam revisi UU Narkotika karena tidak sesuai dengan
ICCPR dan instrumen hukum internasional terkait narkotika; - Menghentikan penuntutan dan eksekusi selama pandemi Covid-19 karena proses hukum yang
terjadi selama pandemi Covid-19 tidak menjamin prinsip fair trial dijalankan dengan baik; - Membangun sistem pengawasan dan jaminan peradilan yang adil untuk kasus-kasus yang
berpotensi hukuman mati, termasuk dengan meningkatkan akses bantuan hukum dan memberikan
bantuan hukum yang berkualitas, terutama bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati,
penyediaan bantuan juru bahasa dan konsuler; - Mendorong terselenggaranya sidang secara daring yang dilakukan atas persetujuan terdakwa (tanpa
paksaan) dan memastikan proses sidang daring tersebut berjalan secara adil, tanpa ada tekanan, dan
menjamin hak-hak tersangka/terdakwa; - Membuka akses kunjungan langsung maupun virtual bagi penasehat hukum, perwakilan
diplomatik, juru bahasa, penasehat rohani, maupun keluarga di setiap tingkat pemeriksaan atau
tempat penahanan terpidana mati; - Menjamin bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kelompok rentan, terutama anak-anak, orang
dengan gangguan kesehatan jiwa, wanita hamil, dan lainnya yang dilarang menurut ketentuan
hukum internasional; - Menciptakan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, khususnya Polri dan Badan Narkotika
Nasional (BNN) yang tidak hanya mengejar kuantitas penanganan kasus tetapi juga sesuai dengan
prinsip peradilan yang adil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia; - Mengubah pemidanaan bagi terpidana mati melalui skema grasi dengan membuka pertimbangan
grasi yang diajukan oleh terpidana mati/perwakilan hukum/ keluarga/perwakilan diplomatik; - Meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan martabat, dan membentuk mekanisme
pencegahan nasional terhadap penyiksaan; - Merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memberikan pedoman dan alat ukur yang jelas kepada
Mahkamah Agung dan Presiden dalam pertimbangan pemberian grasi, khususnya kepada terpidana
mati di Indonesia; - Membentuk tim yang independen dan tidak memihak untuk mengevaluasi keputusan hukum
terhadap semua kasus hukuman mati untuk tujuan permohonan grasi sebagai program pengurangan massal untuk kasus hukuman mati di Indonesia.
Koalisi HATI:
LBH Masyarakat, IMPARSIAL, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, ELSAM,
Yayasan Satu Keadilan, SETARA Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID