Tag: Kebijakan

Laporan Masyarakat Sipil: Universal Periodic Review Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati

Selasa, 8 April 2022 – Pada hari Selasa, 29 Maret 2022 Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2002 tentang hukuman mati. Dalam laporan tersebut, Koalisi HATI melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati. Indonesia menerima 2 (dua) dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.

Di UPR 2022, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati, menyampaikan beberapa masalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia, di antaranya:

  • Rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkati hukuman mati. Angka
    terpidana mati terus meningkat setiap tahunnya, angka ini dikumpulkan oleh kelompok
    masyarakat sipil melalui media monitoring karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah
    terkait hukuman mati sehingga tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik
    sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati menjadi diragukan.
  • Pendekatan ” War on Drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga malah hanya
    menambah jumlah vonis mati. Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika.
    Tak hanya dalam kasus hukuman mati secara umum mayoritas penghuni Lapas juga mereka yang
    melakukan kejahatan narkotika. Karena itu, kebijakan “war on drugs” yang salah dan keliru itu
    hanya membuat penjara menjadi over kapasitas.
  • Hak-hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas
    mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”,
    sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi. Berdasarkan undang-undang Pemasyarakatan
    terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan
    Perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga
    pemasyarakatan. Keikutsertaan mereka dalam aktivitas seperti program pembinaan, olahraga atau
    berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. karena tidak diwajibkan,
    banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri
    hingga berakhir pada depresi akut. Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan
    kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka dari itu tidak heran ketika terpidana mati yang
    berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama.
  • Hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak
    kelemahan untuk keadilan substansial. Persidangan virtual tentu saja memberikan ruang yang lebih
    besar untuk persidangan yang tidak adil, seperti kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat
    diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat
    yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi masalah.
  • Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan: lansia, orang miskin, perempuan, buruh
    migran, dan anak-anak. Hukuman mati dilarang untuk diberikan kepada anak-anak. Namun di
    Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak seperti yang dialami oleh
    Mispo Gwijangge (MG) beberapa waktu yang lalu. Hukuman mati juga sering kali diskriminatif
    kepada mereka yang rentan seperti kelompok buruh migran Yang Tak jarang juga menjadi korban
    perdagangan orang. Saat ini ada seorang kakek bernama Isnardi berusia 76 tahun yang sedang
    menunggu eksekusi mati di Lapas Binjai karena terjerat kasus narkotika. Ini adalah kali pertama
    kakek Isnardi berurusan dengan hukum. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pengembala sapi dan
    kambing milik orang lain. Kakek Isnardi, dan mungkin juga banyak kurir narkotika lainnya adalah
    korban kemiskinan dan situasi terdesak.
  • Kebijakan Grasi yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. UU Grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Grasi. Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Berangkat dari berbagai permasalahan diatas, kami koalisi untuk hapus hukuman mati mendorong Badan
HAM PBB untuk mendorong pemerintah Indonesia agar:

  1. Menandatangani dan meratifikasi Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
    dan Politik, yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati;
  1. Membuat keputusan resmi untuk menetapkan secara de jure moratorium eksekusi dengan
    memerintahkan Jaksa Agung untuk tidak menuntut hukuman mati dalam penuntutan untuk semua
    jenis kejahatan dan tidak melakukan eksekusi;
  2. Mempublikasi data terkait perkara pidana mati oleh kejaksaan, pengadilan, dan direktorat jenderal
    pemasyarakatan secara berkala, baik diminta maupun tidak diminta;
  3. Menghentikan narasi “perang terhadap narkoba” yang berkontribusi pada tingginya angka
    hukuman mati dalam kasus narkoba dan mengedepankan kebijakan berbasis bukti dan memenuhi
    standar hak asasi manusia yang termasuk dalam pembahasan revisi undang-undang narkotika;
  4. Melakukan perubahan hukuman secara masal terhadap terpidana mati yang menjalani pidana
    penjara lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
  5. Melakukan penelaahan terhadap rancangan revisi KUHP terkait dengan perubahan pidana mati
    yang dilakukan secara otomatis terhadap terpidana mati yang menjalani hukuman 10 tahun penjara;
  6. Memberikan pelatihan bagi hakim dan penuntut umum tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak
    asasi manusia untuk mencegah, atau setidaknya meminimalkan, penerapan hukuman mati dan
    menghindari hukuman mati untuk dijatuhkan lebih dari satu kali;
  7. Meninjau kembali kebijakan pemidanaan di Indonesia agar tidak hanya fokus pada pidana penjara
    tetapi juga mencari alternatif pidana lain yang sesuai dengan prinsip dan standar HAM dan keadilan
    restoratif;
  8. Menghilangkan ketentuan pidana mati dalam revisi UU Narkotika karena tidak sesuai dengan
    ICCPR dan instrumen hukum internasional terkait narkotika;
  9. Menghentikan penuntutan dan eksekusi selama pandemi Covid-19 karena proses hukum yang
    terjadi selama pandemi Covid-19 tidak menjamin prinsip fair trial dijalankan dengan baik;
  10. Membangun sistem pengawasan dan jaminan peradilan yang adil untuk kasus-kasus yang
    berpotensi hukuman mati, termasuk dengan meningkatkan akses bantuan hukum dan memberikan
    bantuan hukum yang berkualitas, terutama bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati,
    penyediaan bantuan juru bahasa dan konsuler;
  11. Mendorong terselenggaranya sidang secara daring yang dilakukan atas persetujuan terdakwa (tanpa
    paksaan) dan memastikan proses sidang daring tersebut berjalan secara adil, tanpa ada tekanan, dan
    menjamin hak-hak tersangka/terdakwa;
  12. Membuka akses kunjungan langsung maupun virtual bagi penasehat hukum, perwakilan
    diplomatik, juru bahasa, penasehat rohani, maupun keluarga di setiap tingkat pemeriksaan atau
    tempat penahanan terpidana mati;
  13. Menjamin bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kelompok rentan, terutama anak-anak, orang
    dengan gangguan kesehatan jiwa, wanita hamil, dan lainnya yang dilarang menurut ketentuan
    hukum internasional;
  14. Menciptakan penanganan kasus oleh aparat penegak hukum, khususnya Polri dan Badan Narkotika
    Nasional (BNN) yang tidak hanya mengejar kuantitas penanganan kasus tetapi juga sesuai dengan
    prinsip peradilan yang adil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia;
  15. Mengubah pemidanaan bagi terpidana mati melalui skema grasi dengan membuka pertimbangan
    grasi yang diajukan oleh terpidana mati/perwakilan hukum/ keluarga/perwakilan diplomatik;
  16. Meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
    Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan martabat, dan membentuk mekanisme
    pencegahan nasional terhadap penyiksaan;
  17. Merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
    22 Tahun 2002 tentang Grasi untuk memberikan pedoman dan alat ukur yang jelas kepada
    Mahkamah Agung dan Presiden dalam pertimbangan pemberian grasi, khususnya kepada terpidana
    mati di Indonesia;
  18. Membentuk tim yang independen dan tidak memihak untuk mengevaluasi keputusan hukum
    terhadap semua kasus hukuman mati untuk tujuan permohonan grasi sebagai program pengurangan massal untuk kasus hukuman mati di Indonesia.

Koalisi HATI:
LBH Masyarakat, IMPARSIAL, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, ELSAM,
Yayasan Satu Keadilan, SETARA Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Bayangkan Jika Kamu Saat Ini Tinggal di Penjara

Jakarta, 2 Februari – Bayangkan jika kamu narapidana atau warga binaan yang harus hidup dalam penjara dengan
kondisi penuh sesak di tengah pandemi COVID-19! Saat ini ada hampir sebanyak 275.000 tahanan dan warga binaan di dalam penjara-penjara Indonesia. Padahal, penjara-penjara Indonesia hanya bisa menampung 132.107 orang. Fenomena ini dikenal dengan nama prison overcrowding dan sudah berlangsung lama tanpa solusi yang jelas.

Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham pada Januari 2022, penjara-penjara di Indonesia rata-rata disesaki penghuni 181% melebihi daya tampungnya. Prihatin akan kondisi ini, KontraS, LBH Masyarakat, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aksi Keadilan Indonesia, dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) membentuk Koalisi Peduli Penjara.

“Overcrowding di tempat-tempat penahanan di tengah pandemi berdampak pada hak atas kesehatan para warga binaan. Ruang gerak dan akses informasi yang sangat terbatas, akses medis yang kurang memadai menjadikan mereka kelompok paling rentan. Pemerintah perlu segera mengubah pendekatan penanganan overcrowding, seperti perubahan pada sistem peradilan pidana supaya masalah ini tuntas.”” ujar Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS.

“Kondisi penjara kita itu sudah tidak layak huni. Mulai dari tidur berdesakan, sanitasi dan sirkulasi
udara yang buruk, sampai kualitas makanan yang tidak bergizi. Semua ini membuat warga binaan masuk kelompok rentan di tengah pandemi. Penjara kita belum mengikuti standar internasional Mandela Rules. Melalui change.org/reformasipenjara kami meminta para pemangku kebijakan segera menuntaskan permasalahan di dalam penjara,” kata Muhammad Afif, Direktur LBH Masyarakat.

Meskipun pada April 2020, upaya pengeluaran warga binaan melalui mekanisme integrasi dan asimilasi telah dilakukan sebagai respon terhadap pandemi Covid-19, Koalisi Peduli Penjara merasa upaya ini belum maksimal.

“Kementerian Hukum dan HAM harus kembali melakukan upaya untuk mengurangi overcrowding, setidaknya hingga seluruh lapas dapat dengan maksimal menjalankan protokol kesehatan, mengingat saat ini kasus COVID-19 kembali meningkat,” ucap Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR.

Data Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham menyatakan hampir 50% penghuni penjara adalah mereka yang terlibat dalam kasus narkotika. “Penjara penuh karena pengguna, pengedar, dan bandar narkotika bisa dijerat dengan pidana yang sama berat dalam pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Pemerintah perlu memaksimalkan pidana alternatif bagi kasus pengguna narkotika,” ujar R. Suhendro Sugiharto, Direktur Aksi Keadilan Indonesia.

Jika terus dibiarkan, tujuan pemasyarakatan terhadap para warga binaan justru semakin sulit untuk dicapai dan cenderung berakibat fatal. “Overcrowding itu seperti bom waktu yang bisa meledak kapan pun. Ini sudah terbukti dengan peristiwa kebakaran Lapas Kelas I A Tangerang September 2021 lalu, yang merenggut 48 nyawa warga binaan,” kata Muhammad Rizaldi Warneri, Research Associate IJRS.

Ayo tandatangani petisi Koalisi Peduli Penjara di change.org/reformasipenjara yang meminta kepada:

  1. Kejaksaan dan Mahkamah Agung untuk mengedepankan opsi hukuman alternatif terhadap
    kasus-kasus hukum supaya penjara tidak semakin penuh;
  2. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk segera menciptakan penjara yang
    humanis bagi warga binaan dan tahanan di Indonesia sesuai Mandela Rules, standar internasional
    tentang dasar-dasar perlakuan narapidana yang ditetapkan PBB. Terutama pemenuhan hak
    seperti sanitasi, sirkulasi udara, standar makanan yang layak dan penerapan protokol kesehatan
    yang memadai.

Dukungan kalian akan sangat berarti bagi perubahan kondisi penjara, serta nasib para tahanan dan warga binaan di Indonesia saat ini. Karena #napijugamanusia.

Koalisi Peduli Penjara:
LBH Masyarakat, Aksi Keadilan Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia
Judicial Research Society (IJRS), dan KontraS.

Dokumen – Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tentang Pembentukan Pokja P5 HAM

Kemarin, dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, serta Hari Disabilitas Internasional, Menteri Hukum dan HAM telah meresmikan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas Mental di Indonesia.

Pembentukan ini berdasarkan inisiasi dan juga kerjasama dari berbagai lembaga seperti LBHM, Perhimpunan Jiwa Sehat dan Kementerian Hukum dan HAM Indonesia.

Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 4 Tahun 2021, tentang Pembentukan Kelompok Kerja P5 HAM bagi Disabilitas Mental. Dokumen Keputusan Menteri dapat dilihat pada tautan di bawah ini:

Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 4 Tahun 2021

Rilis Pers – Peluncuran Pokja P5 HAM bagi Penyandang Disabilitas Mental

Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia ke-73 dan Hari Disabilitas Internasional, pada tanggal 13 Desember 2021, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) melaksanakan peluncuran Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.HA.04.02 Tahun 2021 tentang Kelompok Kerja (Pokja) Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia Bagi Penyandang Disabilitas Mental. Acara ini dihadiri secara offline oleh 64 orang dan secara online oleh 245 orang.

Sebagai pembuka, Mualimin Abdi, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia menjelaskan latar belakang pembentukan Pokja PDM. Ia menyampaikan bahwa PDM masih merupakan kelompok rentan (vulnerable groups) yang kerap mendapatkan stigma. Sebagai komitmen pemerintah untuk P5HAM bagi PDM, Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menginisiasi pokja ini. Mengingat kompleksitas isu PDM, upaya yang komprehensif diperlukan agar PDM dapat kembali hidup secara inklusif di tengah-tengah masyarakat. Penanganan permasalahan PDM membutuhkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga dan kementerian, serta peran serta masyarakat, ujar Mualimin Abdi

“Hal lain yang diperlukan dalam Pokja yaitu untuk mendeklarasikan komitmen Pemerintah dalam upaya Penanganan dan Pemenuhan HAM PDM, mendiskusikan permasalahan hukum dan HAM yang dialami oleh PDM khususnya di panti-panti rehabilitasi sosial yang menjadi fokus kerja awal Kelompok Kerja,” terang Mualimin Abdi.

Setelah kata sambutan, acara peluncuran dilanjutkan dengan keynote speech dari Eddy O.S Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang menegaskan peran pemerintah dalam melindungi PDM dari tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi di panti.

“Peraturan yang jelas dibutuhkan mulai dari syarat perizinan, standar layanan panti, aturan ketat mengenai sikap petugas terhadap penghuni panti, pengawasan, evaluasi, sanksi bagi panti-panti yang melanggar, layanan kesehatan, mekanisme pengaduan, pelatihan keterampilan dan lain sebagainya,” terang Eddy O.S. Hariej. Selanjutnya disampaikan bahwa Upaya yang komperhensif diperlukan sehingga PDM yang sebelumnya terkurung bisa kembali hidup secara inklusif di tengah-tengah masyarakat dan merupakan permasalahan yang kompleks membutuhkan kerja sama dan koordinasi lintas lembaga dan kementerian serta pemerintah daerah. Pemaparan tersebut langsung disambut dengan peluncuran secara simbolik dengan video bumper yang menampilkan secara singkat foto-foto dokumentasi kegiatan Pokja.

Setelah peluncuran, ungkapan apresiasi diberikan oleh Wakil Duta Besar Australia, Steve Scott, yang mengapresiasi pembentukan Pokja ini karena menjadi cerminan komitmen Indonesia dalam mengarusutamakan hak penyandang disabilitas. Ia juga menyampaikan, “Australia siap untuk kolaborasi lanjutan yang mendukung implementasi kebijakan disabiitas di Indonesia.”

Apresiasi dan dukungan juga disampaikan oleh Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia (KSP) sebagai salah satu pihak yang juga mengawal pembentukan Pokja ini dari awal. Mewakili Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Strategis, menyampaikan, “Inklusi harus kita tingkatkan terus, persepsi terhadap penyandang disabilitas mental. Permasalahan yang kompleks harus melibatkan pemerintah lintas sektor untuk menjawab permasalah yang kompleks, yang mana Pokja harus bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.”

Kegiatan peluncuran kemudian dilanjutkan oleh diskusi panel yang menghadirkan empat orang pembicara dan dua orang penanggap. Diskusi panel dipandu oleh Sonya Hellen Sinombor, Jurnalis Kompas.

Sebagai pembicara pertama, Timbul Sinaga, Direktur Instrumen HAM, Kementerian Hukum dan HAM, menjelaskan bahwa pekerjaan pertama Pokja adalah menginformasikan terbentuknya Pokja sehingga setiap pemangku kepentingan bersiap-siap menyelaraskan kerjanya dengan visi-misi Pokja. Ia berkata, “Langsung kerja dengan buat surat ke gubernur dan bupati serta pengurus panti yang berisi bahwa Pokja sudah terbentuk.”

Penjelasan ini dilanjutkan oleh penerangan dari Emma Widianti, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial. Ia menjelaskan, “Dengan adanya Pokja mampu mendorong pemenuhan HAM bagi PDM (Penyandang Disabilitas Mental), dengan adanya perbaikan sistim terdekat dengan PDM”.

Pembicara berikutnya datang dari Kementerian Kesehatan, yakni Celestinus Eigya Munthe, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA. Ia menerangkan, “Ini merupakan suatu komitmen penting dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia, perlu kita sosialisasikan ke masyarakat sehingga penanganan kejiwaan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat”.

Pembicara terakhir datang dari perwakilan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD), yakni Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat. Ia menerangkan, “Yang menjadi korban kekerasan justru PDM cuman saat kita menjadi korban tidak pernah dimuat di media, bahkan pemasungan itu paling banyak terjadi di dalam panti-panti. Tidak ada yang memonitor panti dan bahkan tidak ada mekanisme pengaduan.”

Paparan dari para narasumber direspon positif oleh Sunarman Sukamto, Tenaga Ahli Madya Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Strategis, Kantor Staf Presiden. Ia menjelaskan, “Pembentukan Pokja merupakan inisiator yang baik sebab selama ini belum ada pelindungan dan penghormatan HAM bagi penyandang disabilitas mental (PDM).”

Penanggap terakhir datang dari Muhammad Afif Abdul Qoyim, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, yang menjelaskan juga peran bantuan hukum di dalam Pokja ini. Ia menerangkan, “Panti yang sekarang tertutup sehingga ketika ada kekerasan tidak ada pengawasan, mirip seperti tindakan penyiksaan. Butuh akses bantuan hukum bagi penghuni yang ada di dalam.”

Acara peluncuran ditutup pada jam 17.00 WIB. Para hadirin yang terdiri dari perwakilan kementerian, lembaga, kantor wilayah, dinas, dan organisasi masyarakat sipil sepakat untuk mengawal kerja Pokja dan menanti perubahan yang signifikan terhadap penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM bagi PDM di Indonesia.

Dokumen Kelompok Kerja (Pokja) P5 HAM dapat diunduh pada link berikut:
Keputusan Menteri (Kepmen) Hukum dan HAM, Nomor 4 Tahun 2021

Rilis Pers Bersama:
LBH Masyarakat (LBHM), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Kementerian Hukum dan HAM

Rilis Pers – Tanggapan atas Kerja Sama LPSK dan BNN

Sebagai lembaga yang memiliki fokus melindungi saksi dan korban sudah menjadi hal yang wajar jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menjalin kerja sama untuk memberikan rasa aman bagi saksi maupun korban dalam tindak pidana narkotika. Kerja sama yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) sudah berlangsung lebih kurang sejak tahun 2016 dan berakhir pada September 2021. Pada 2 November 2021, LPSK dan BNN resmi memperjangan kerja sama di kantor BNN.

Selain itu, perpanjangan kerja sama ini juga adanya faktor desakan dari Komisi III DPR RI agar LPSK memiliki peran yang lebih besar dalam melakukan perlindungan saksi tindak pidana narkotika. Namun, jika ditinjau lebih lanjut, langkah ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan selama proses penyelesaian perkara pidana di tingkat peradilan dan cenderung belum tepat sasaran.

Dalam praktiknya, sering kali kita melihat saksi yang dihadirkan di persidangan dalam tindak pidana narkotika adalah pihak kepolisian maupun BNN yang melakukan penangkapan atau berstatus sebagai penyidik terhadap Terdakwa. Yang mana peran mereka sudah dilindungi dalam pasal 212 pada KUHP dan pasal 7 pada Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Polri.

Berdasarkan pemantauan berita daring yang dilakukan oleh LBH Masyarakat (LBHM), pada tahun 2017, terdapat 183 kasus tembak di tempat terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika dengan jumlah korban total 215 orang. Sedangkan pada tahun 2018 terdapat penurunan jumlah kasus tembak di tempat yaitu sebanyak 159 kasus, dengan jumlah korban total 199 orang. Ditambah, praktik-praktik penyiksaan dalam lingkup pemeriksaan dan kekerasan dalam lingkup penahanan, serta pemerasan masih terus terjadi, khususnya di kasus narkotika. Hal ini lah yang seharusnya menjadi sorotan utama sebagai bentuk implementasi kerja sama yang baik antara BNN dengan LPSK.

Dalam kasus narkotika, tindakan penembakan justru menjadi instrumen dalam melakukan penegakan hukum, yang mana harus dipahami bahwa tindakan tersebut adalah sebagai wujud pengingkaran terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kerja sama yang terjadi antara LPSK dan BNN masih dirasa belum tepat sasaran dan justru akan menjadi tameng bagi aparat penegak hukum terkait dalam melegitimasi tindakannya yang mengingkari jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Saat ini, yang dibutuhkan dalam rangka melindungi saksi dan korban dalam kasus narkotika adalah membuat regulasi yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang terdampak dari tindakan penegakan hukum yang melanggar hak asasi manusia. Jika LPSK menginginkan tujuan mulianya benar-benar tercapai, harus ada regulasi khusus untuk memberikan perlindungan hukum yang memungkin bagi LPSK membuka pintu pengaduan tersebut seluas-luasnya bagi masyarakat terdampak.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM mendesak agar:

  1. LPSK dan BNN mengutamakan perlindungan hukum dan keamanan bagi terduga pelaku dalam kasus narkotika;
  2. LPSK dan BNN menyepakati bahwa pengguna narkotika dan perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika merupakan korban yang patut dilindungi dan dijamin;
  3. LPSK bersedia memberikan pertimbangan kepada perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika sebagai saksi pelaku (justice collaborator).

Narahubung:
1. Kiki Marini Situmorang: 0896 3970 1191
2. Awaludin Muzaki: 0812 9028 0416

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

Merri Utami sudah memasuki usia pemenjaraan yang ke-20 tahun pada 31 Oktober 2021 yang lalu. Sudah 5 tahun permohonan grasi Merri Utami belum mendapatkan balasan sama sekali dari Presiden.

Pada momentum 20 tahun pemenjaraan Merri Utami, tim kuasa hukum (LBHM) bersama dengan anak dari Merri Utami, Devi Christa mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP), untuk menyerahkan surat dukungan dari publik terkait jawaban atas grasi dari ibunya Devi Christa yakni Merri Utami. Surat dukungan ini juga dibuat untuk mendorong Presiden untuk segera memberikan jawaban dan mengabulkan permohonan grasi Merri Utami yang sudah diajukan sejak tahun 2016.

Selain surat dukungan yang sudah ditandatangani oleh lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil, kami juga menyerahkan petisi dukungan yang sudah kami buat dan kumpulkan sejak tahun 2020. Setidaknya terdapat lebih dari 50.000 orang yang sudah menandatangani petisi dan sepakat untuk mendukung pemberian grasi terhadap Merri Utami. Momentum ini tidak hanya kami pakai untuk berdiplomasi dengan negara, kami juga mengekspresikannya lewat aksi simbolis dengan cara mimbar bebas, sampai dengan teatrikal sebagai bentuk ekspresi dan dukungan terhadap Ibu Merri Utami yang selama ini terampas hak-haknya.

Surat dukungan dapat teman-teman lihat dan unduh pada link berikut:

Surat Dukungan Publik Untuk Merri Utami

[Laporan Penelitian] Komparasi Sistem Dukungan Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak diresmikan, Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tentang kapasitas hukum telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan akademisi, ahli hukum, dan tenaga medis. Hal ini memancing banyak respon dari banyak kelompok, seperti kelompok aktivis disabilitas yang merayakan keberadaan pasal itu, karena memberikan pengakuan setara terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas. Disamping itu ada juga kelompok pihak-pihak lain yang memiliki interpretasi berbeda, bahkan menolak keberadaan Pasal 12 dalam CRPD ini Keberagaman pendapat itu menyebabkan adanya variasi dalam pengimplementasian pengakuan universal atas kapasitas hukum oleh negara-negara yang meratifikasi CRPD.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi CRPD, Indonesia sudah mengimplementasikanya dalam sebuah Undang-Undang (UU) yakni UU Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa mereka menghormati hak asasi orang dengan disabilitas dengan mengakomodirnya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas).

Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) masih menjadi salah satu kelompok rentan yang masih belum bisa merasakan sepenuhnya hak-haknya. Seperti hak atas kapasitas hukum. Masih banyak ODP yang terampas hak atas kapasitas hukumnya, hal ini terjadi karena tidak dianggap kompeten untuk mengambil keputusan dikarenakan kondisi kejiwaanya, yang pada akhirnya kapasitas hukum mereka terenggut/dicabut.

Dalam pengambilan keputusan bagi seorang ODP, Indonesia masih menggunakan sistem perwalian, sistem ini dianggap tidak efektif dan dinilai melanggar hak asasi, serta sangat diskriminatif. Padahal seharusnya ODP dapat diperlakukan secara setara (equal) dalam proses hukum, seperti yang dituang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem perwalian dan mulai memakai pendekatan yang supportif terhadap ODP yakni Support Decission Making (SDM). LBHM sejak tahun 2020, telah melakukan penelitian terkait pengambilan keputusan untuk ODP dengan melakukan perbandingan sistem pengambilan keputusan yang ada di seluruh dunia. Secara garis besar dalam laporan ini mengenalkan kepada publik terkait sistem pengambilan keputusan yang baik untuk ODP.

Laporan penelitian ini terbagi dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia, & English), untuk mengunduh dokumen silahkan mengklik link dibawah ini:

Versi Indonesia

English Version

Skip to content