Skip to content

Tag: Siaran Pers

Kertas Kebijakan: Mendorong Komutasi Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup yang Efektif, Berkeadilan, dan Bermartabat

Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023. Biasa dirujuk sebagai KUHP Baru, produk ini mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Artinya KUHP Baru akan berlaku mulai 2 Januari 2026. Melalui KUHP Baru, Indonesia memperkenalkan sejumlah ketentuan dengan tujuan restriksi atau melimitasi penggunaan pidana mati.

Pertama, pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 67 juncto Pasal 98 KUHP Baru. Pengancaman pidana mati secara alternatif bertujuan sebagai “upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.”

Kedua, “hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana.”, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1). Apabila selama masa percobaan tersebut terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, Pasal 101 KUHP Baru menambahkan, “jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Walau KUHP Baru menyediakan tiga pendekatan yang intensinya membatasi penggunaan pidana mati, KUHP Baru sesungguhnya masih mempertahankan pidana mati.

Selain pidana mati, KUHP Baru juga masih mempertahankan pidana penjara seumur hidup. Serupa dengan komutasi pidana mati, KUHP Baru memungkinkan pidana penjara seumur hidup diubah menjadi pidana penjara 20 tahun dalam hal seorang narapidana seumur hidup telah menjalani pidana penjara paling singkat 15 tahun, melalui Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 tahun dan pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 621 KUHP Baru menyebutkan bahwa peraturan pelaksana KUHP Baru harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak KUHP Baru diundangkan. Artinya, Peraturan Pemerintah yang mengatur tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tersebut harus diundangkan paling lambat 2 Januari 2025.

Baca kertas kebijakan LBHM dan PBHI terkait Peraturan Pemerintah mengenai tata cara komutasi pidana penjara seumur hidup dan pidana mati yang harus diperhatikan oleh pemerintah melalui link di bawah ini: 

BERIBADAH ADALAH HAK KAIN KECAM PERSEKUSI DAN DISKRIMINASI TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

6 Desember 2024

Rabu (4/12), PJ Bupati Kuningan Agus Toyib, secara resmi menyatakan larangan terhadap kegiatan

Jalsah  Salanah  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  yang  akan  diselenggarakan  pada  tanggal  6-8

Desember 2024 di Desa Manislor Kecamatan Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Hal tersebut disampaikan melalui surat resmi Bupati Kuningan no. 200.1.4.3/4697/BKBP. Di dalam surat tersebut PJ Bupati Agus menyatakan bahwa kegiatan tersebut “dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu”. Lebih lanjut, sebagaimana dilansir oleh kanal berita online, Kapolres Kuningan AKBP Willy Andrian juga meminta kegiatan Jalsah Salanah tersebut untuk tidak digelar demi “menjaga keamanan wilayah Kuningan”.

Atas peristiwa ini, Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mengecam keras sikap intoleran dan aksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

KAIN  menilai  pelarangan  pelaksanaan kegiatan keagamaan ini merupakan ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Padahal, perlindungan terhadap kebebasan setiap   warga   negara   untuk   memeluk   agama   dan   kepercayaannya   masing-masing   serta menjalankan  ibadah  berdasarkan  agama  dan  kepercayaannya  sudah  jelas  diatur  di  dalam Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Selain merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, larangan ini adalah bentuk pengabaian terhadap komitmen Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak berekspresi serta hak berkumpul dari setiap warga negara Indonesia yang tertuang di dalam UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tidak  hanya  itu,  pelarangan  ini  merupakan  bentuk  diskriminasi  yang  telah  dilakukan  oleh Pemkab dan Polres Kuningan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selama ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan salah satu kelompok yang paling sering menerima diskriminasi dari negara, baik berupa penyegelan rumah ibadah hingga pelabelan terhadap pengikutnya.

KAIN berpandangan alih-alih melarang pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah tersebut, Pemkab dan Polres Kuningan seharusnya memastikan bahwa Jemaat Ahmadiyah dapat melangsungkan kegiatan keagamaannya dengan aman dan lancar, tanpa adanya intimidasi maupun kekerasan dari kelompok masyarakat lain.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka KAIN menuntut:

  1. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kepolisian Resor Kuningan untuk menjalankan kewajibannya menghormati dan melindungi hak asasi manusia Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, berekspresi, serta berkumpulnya sebagaimana tertuang di dalam UUD 1945;
  2. Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan untuk mencabut larangan pelaksanaan kegiatan Jalsah Salanah dan memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya dengan khidmat;
  3. Pemerintah Pusat,   Provinsi,   Kota   dan   Kabupaten,   serta   masyarakat   luas   untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan persekusi kepada JAI dan menindak dengan tegas para pelaku tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI; serta
  4. Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Diskriminasi Komprehensif (RUU PDK) guna memberikan perlindungan bagi seluruh kelompok rentan di Indonesia dari tindakan-tindakan diskriminatif.

Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari 49 organisasi masyarakat sipil kelompok rentan di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. KAIN terbentuk dari 2021 dan berkomitmen untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dengan mendorong hadirnya legislasi anti diskriminasi yang komprehensif dan peraturan lainnya yang mengutamakan prinsip non-diskriminasi.

Narahubung: 085939676720 (Albert)

Dorong Percepatan Revisi Undang-Undang Narkotika, LBHM Menyelenggarakan Dialog Kebijakan

Pada Hari Rabu, 4 Desember 2024, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyelenggarakan kegiatan Dialog “Reformasi Kebijakan Narkotika dan Penerapan Harm Reduction di Indonesia” di Jakarta untuk mendiskusikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang telah masuk ke dalam dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 100 orang, baik secara luring dan daring ini menghasilkan beberapa kesepakatan penting.

Dalam pidato kuncinya, Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum Republik Indonesia, memberikan apresiasi atas ruang dialog yang dibangun oleh masyarakat sipil ini untuk membangun kebijakan penanggulangan narkotika yang efisien dan efektif dengan merujuk pada bukti dan perkembangan dunia internasional. Ia juga menegaskan kembali semangat revisi UU Narkotika yang memberikan pendekatan kesehatan.

“Sejak 28 tahun yang lalu ketika saya menulis skripsi tentang narkotika dan psikotropika, saya memang sudah memberikan rekomendasi terhadap pengguna itu memang tidak dihukum tapi diobati,” ujarnya.

Pada sesi diskusi pertama, empat pembicara sama-sama menggarisbawahi urgensi pembahasan revisi UU Narkotika yang sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025. Salah satu tujuannya adalah beralih dari kebijakan punitif yang ada sekarang. Hal inilah yang disampaikan oleh H. Adang Daradjatun, Anggota Komisi III, yang menyatakan, “Kita sepakati, baik dari Mahkamah Agung, dari teman BNN, bahwa memperluas akses rehabilitasi tanpa kriminalisasi ini sangat penting sekali.”

Pendekatan punitif yang sekarang dilakukan juga tidak mampu untuk membeda-bedakan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan derajat kebersalahannya. Obsevasi ini disampaikan oleh Hakim Agung Sutarjo, Hakim Agung Kamar Pidana yang menyampaikan “Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tidak memberikan parameter kriteria penyalahgunaan narkotika yang jelas dan yang benar. Yang dikatakan penyalahguna seperti apa, pengedar seperti apa, sebagai penjual, sebagai pembeli, itu yang parameternya tidak jelas.”

Toton Rasyid, selaku Direktur Hukum, Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama Badan Narkotika Nasional, menyatakan bahwa orientasi pendekatan rehabilitasi dalam UU Narkotika sekarang masih menempatkan rehabilitasi sebagai kewajiban. Ia menyampaikan, “Cuma masalahnya sekarang rezim hukum memang harus diubah Undang-Undang ini. Kalau kita bicara Undang-Undang 35/2009, di pasal 103 rehabilitasi itu bagian dari menjalani hukuman. Jadi kita masih seperti itu. Kalau teman-teman mengatakan ini, jangan, (karena) orang punya hak menentukan untuk direhab atau tidak, ya (revisi) Undang-Undang ini harus segera kita selesaikan.”

Desakan yang tegas untuk merevisi UU Narkotika juga datang dari elemen masyarakat sipil, diwakili oleh Maidina Rahmawati dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). Ia menyoroti pembobotan yang lebih berat UU Narkotika pada penghukuman dan bukannya kesehatan. Revisi UU Narkotika ini menurutnya akan membenahi tata kelola narkotika. Ia menyampaikan: “Ke depannya kita butuh dorongan bersama kawal pembahasan revisi UU Narkotika. Pastikan intervensi kesehatan tersebut diperkenalkan dalam revisi Undang-Undang Narkotika.”

Pada sesi kedua setelah makan siang, diskusi dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana reformasi kebijakan narkotika melalui penuntasan amanat Prolegnas Prioritas 2025 turut bisa memperkuat kebijakan pengurangan dampak buruk (harm reduction) di Indonesia. Pembicara pertama sesi kedua, Nixon Randy Sinaga, pengacara publik LBHM memaparkan hasil penulisan kertas kebijakan menyoal kondisi kebijakan narkotika di Indonesia yang perlu mengintegrasi pendekatan pengurangan dampak buruk. Dia menyatakan, “Pengurangan dampak buruk adalah kebijakan yang mengarusutamakan hak atas kesehatan, yang berusaha untuk memitigasi dampak-dampak negatif dari penggunaan narkotika baik secara kesehatan, sosial, maupun aspek hukum dari penggunaan narkotika.Hal ini berangkat dari pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.”

Rosma Karlina, Direktur Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara, menjelaskan bahwa program pengurangan dampak buruk yang didorong oleh masyarakat sipil adalah pendekatan yang sifatnya holistik dan inklusif. Ia menekankan pentingnya memahami kebutuhan pengguna narkotika yang bisa berbeda-beda. Rosma menjelaskan, “Kebijakan pengurangan dampak buruk yang belum responsif terhadap gender, mengakibatkan rasa takut akan diskriminasi dan kriminalisasi bagi perempuan pengguna narkotika.” Ia menceritakan kasus-kasus di mana perempuan pengguna narkotika mendapatkan kekerasan dan melapor ke polisi, tapi bukannya kasus kekerasan yang diselesaikan, polisi malah sibuk mengkriminalisasi mereka atas penggunaan narkotika.

Melihat skema intervensi kesehatan yang sekarang tersedia bagi pengguna narkotika, Elly Hotnida Gultom, menjelaskan upaya Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Ia menjabarkan bahwa Kementerian Kesehatan fokus untuk membangun layanan terapi kesehatan terpadu di lebih banyak Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia dengan penambahan sekitar 700 fasyankes Institusi Penerima Wajib Lapor. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pengguna narkotika perlu untuk direhabilitasi. Ia menyatakan, “Dari World Drug Report itu, 1 banding 8 (pengguna) yang membutuhkan layanan kesehatan.”

Permasalahan rehabilitasi yang mencuat dalam diskusi sejak pagi hari juga ditangkap dengan sangat baik oleh Marsono, Koordinator Pokja Napza dan Analis Kebijakan pada Direktorat Rehabilitasi Korban Bencana dan Kedaruratan, Kementerian Sosial. Marsono menyatakan bahwa Kementerian Sosial memiliki visi untuk terus memperbaiki standar layanan rehabilitasi Lembaga Kesejahteraan Sosial. Pada closing statement-nya, ia menyatakan, “Saat ini, perlu penertiban-penertiban terhadap lembaga-lembaga yang memang belum terstandar. Itu wajib kita proses ke sana.”

Dalam kegiatan ini, Nixon dan Rosma menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan badan legislatif untuk mereorientasi kebijakan narkotika di Indonesia dengan pendekatan hak atas kesehatan dan mereduksi penggunaan sarana penal, secara khusus bagi pengguna narkotika. Agenda reformasi kebijakan narkotika harus berangkat dari penghormatan hak asasi manusia, inklusif, non-diskriminatif, partisipatif, dan mengakomodasi seluruh kelompok rentan seperti perempuan, keberagaman gender, anak, dan disabilitas. 

Acara ditutup jam 16.00 waktu setempat. Dialog semacam ini, yang menyatukan perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil dalam satu ruangan, menjadi cara untuk menjunjung prinsip partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan. Harapannya, akan ada diskusi-diskusi serupa supaya revisi Undang-Undang Narkotika yang akan disahkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

 

Narahubung

0896-3970-1191 (Kiki Marini)

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Kerangkeng Bupati Langkat: Bukti Suburnya Praktik Rehabilitasi Liar

Oleh LBH Masyarakat (LBHM) & Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)

Jakarta, 25 Januari 2022 – Penangkapan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin atas kasus korupsi, yang diikuti dengan penemuan kerangkeng besi yang diduga digunakan sang koruptor untuk mengurung pekerja yang menggarap sawitnya, turut menguak dugaan praktik perbudakan.

Jeruji besi tersebut diketahui sudah ada sejak 2012, dan dikatakan hendak digunakan sebagai tempat rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika meski tidak layak secara fasilitas. Pemberitaan menyebutkan bahwa pada 2017 Badan Narkotika Nasional Kabupaten Langkat sempat meminta Terbit mengurus perizinan jika hendak menjadikan ruangan tersebut sebagai tempat rehabilitasi. Namun, hingga kini tempat tersebut dilaporkan tidak berizin.

Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi. Penempatan manusia ke dalam kerangkeng seperti yang dilakukan Terbit jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak, yang hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan. Masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika pun benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, hal ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi. Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara.

Kecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap namun tidak memiliki bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.

Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati. Tindakan perampasan kemerdekaan itu bahkan dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menahan (merampas kemerdekaan) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun”. Bahkan hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.

Meskipun alasan Bupati Terbit adalah terkait rehabilitasi narkotika, justru tindakan tersebut menambah satu persoalan lagi mengenai pelanggaran aspek prosedur operasional dan legalitas, yang dapat diancam pidana dengan Undang-Undang tentang Kesehatan atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Ditemukannya tempat rehabilitasi ilegal di kediaman Bupati Langkat, justru meneguhkan temuan lapangan dalam kasus-kasus narkotika. Pertama, bagi seorang pecandu yang ditangkap aparat banyak yang dikirim ke tempat-tempat rehabilitasi bukan dalam skema proses hukum. Praktik ini dikategorikan sebagai penahanan sewenang-wenang. Sebab seseorang ditahan tanpa diputus melalui persidangan sebagai mekanisme legal untuk merampas kemerdekaan seorang. Kedua, pecandu yang dikirim ke tempat rehabilitasi sebagai rangkaian dari proses hukum. Tindakan ini alih-alih untuk melakukan pemulihan, justru secara hukum dianggap bagian dari menjalani penghukuman.

Praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Mereka dikurung dalam jeruji besi sehingga tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat dan berkomunikasi dengan pihak luar. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru
menghadirkan permasalahan baru karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya. Praktik pengurungan seperti ini merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.

Lebih jauh, praktik ilegal demikian berpotensi sebagai tempat penyiksaan. Temuan masyarakat sipil terhadap tempat penyiksaan biasanya dilakukan di tempat tertutup. Institusi kepolisian menempati tempat yang paling banyak terjadi penyiksaan. Terakhir kejadian yang menimpa FNS, seorang pecandu narkotika yang ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal diduga kuat disiksa karena ditemukan luka disekujur tubuhnya. Di beberapa tempat lain seperti panti-panti
rehabilitasi dan panti-panti sosial, tidak luput dari ruang potensial terjadinya penyiksaan. Situasi ini mengkhawatirkan karena praktik penyiksaan dilakukan di tempat-tempat tertutup. Dari aspek pembuktian, kondisi tersebut menghambat pengungkapan kasusnya dan menyeret pelaku. Sehingga tidak jarang, kasus-kasus penyiksaan mandek tanpa ada kejelasan status hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut:

  1. Polri untuk meminta pertanggung jawaban hukum kepada Bupati Terbit atas tindakannya melakukan dugaan tindak pidana perampasan kemerdekaan seorang;
  2. Polri menutup tempat-tempat serupa tahanan seolah-olah sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial;
  3. Penutupan oleh Polri disertai dengan koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk memastikan hak-hak dasar para korban tidak terabaikan, khususnya perihal tempat tinggal yang layak serta menghindari stigma dari masyarakat;
  4. Kelompok kerja untuk pencegahan penyiksaan yang terdiri dari Komnas HAM, KPAI, Ombudsman, LPSK, Komnas Perempuan untuk mengintensifkan kembali kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan serupa tahanan.