Category: Isu

Isu LBHM

Hukuman Mati Tidak Melindungi Siapapun Hentikan Pidana Mati dan Hapuskan!

Pernyataan Sikap dalam Peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Internasional 9 Oktober 2024

 

Setiap tanggal 10 Oktober, berbagai negara, organisasi, dan advokat di seluruh dunia bersatu dalam solidaritas untuk kembali menegaskan sebuah kebenaran universal bahwa setiap nyawa manusia berharga, dan tidak boleh ada orang yang harus menghadapi eksekusi mati sebagai bentuk penghukuman yang adil. Pada hari ini, kami Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) dan Koalisi untuk Menghapus Hukuman Mati (HATI) yang terdiri dari berbagai kalangan aktivis, advokat, praktisi, tokoh agama, dan komponen masyarakat sipil lainnya turut bersolidaritas dan menyerukan diakhirinya praktik tersebut. Kami mengingatkan pentingnya hak hidup sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun dan bahwa keadilan seharusnya adalah tentang rehabilitasi dan pemulihan, bukan pembalasan.

Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan, 55 negara masih mempertahankan hukuman mati untuk pidana luar biasa, 222 orang dieksekusi mati sepanjang 2023, serta terdapat 41.047 orang berada dalam deret tunggu eksekusi mati. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia yang di dipublikasi di website https://sdppublik.ditjenpas.go.id/dwh, per 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati dalam deret tunggu, 11 orang di antaranya adalah perempuan.

Pidana mati telah lama menjadi isu yang diperdebatkan, menimbulkan pertanyaan tentang moral, hukum, dan dampak sosialnya. Dalam banyak kasus, hukuman mati secara tidak proporsional menargetkan masyarakat yang terpinggirkan, orang miskin, dan bahkan mereka yang dituduh secara tidak benar dengan melanggar hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial). Dampak dari hukuman mati bukan hanya masalah hukum, tetapi juga sangat personal. Kisah-kisah terpidana mati dan keluarga mereka memberikan gambaran yang sangat jelas tentang konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia. Dari tuduhan pengadilan yang tidak adil hingga laporan penderitaan mental yang diderita oleh mereka yang menunggu eksekusi, kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa hukuman mati sejatinya adalah tentang penyiksaan dan penderitaan yang nyata, sehingga penerapan pidana mati tampak sebagai hukuman berlapis.

Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan. Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun. Hukuman mati tidak membawa pada keadilan, sebaliknya hanya menciptakan lebih banyak korban. Dengan memilih abolisi atau penghapusan hukuman mati, Indonesia dapat mewujudkan sistem peradilan yang adil, manusiawi, dan sejalan dengan kecenderungan global untuk mengakhiri hukuman mati.

Kami juga mengingatkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan 2 Januari 2023 (UU No.1 Tahun 2023), pidana mati merupakan pidana alternatif yang pemidanaannya selalu diberikan satu paket dengan masa percobaan 10 tahun untuk dapat dilakukan pengubahan hukuman menjadi seumur hidup. KUHP yang baru juga menetapkan pembentukan mekanisme penilaian terhadap terpidana mati untuk melihat adanya perubahan sikap dan perbuatan yang terpuji sebagai syarat pengubahan pidana mati.

Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional. Malaysia, baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib (mandatory death sentence) dan membuat kebijakan pemindahan ulang (resentencing) yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati. Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dan mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan.

Pada Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia ini, kami menyerukan kepada pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo sebelum menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Oktober 2024 untuk menyelesaikan komutasi massal bagi 557 terpidana mati. Sedangkan bagi Presiden terpilih dan anggota DPR yang baru saja dilantik, serta seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Aparat Penegak Hukum (Yudikatif) dan Pemerintah (Eksekutif) untuk mengambil langkah nyata menuju masyarakat yang lebih beradab, manusiawi dan adil, bergabung dengan negara-negara lain untuk mengakhiri bentuk hukuman keji dan tidak dapat dipulihkan ini (irrevisible).

Ini saatnya Indonesia mengambil langkah-langkah yang terukur dan berani untuk menghapuskan hukuman mati.

Untuk itu,kami mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkrit dan terukur untuk menghapuskan hukuman mati, melalui langkah-langkah berikut :

  1. Melakukan moratorium penuntutan pidana mati;
  2. Melakukan moratorium eksekusi pidana mati;
  3. Memastikan dibentuknya mekanisme penilaian untuk pengurangan hukuman mati;
  4. Melakukan asesmen secepatnya terhadap terpidana mati di deret tunggu yang sudah menjalani pidana penjara 10 tahun lebih untuk pengurangan hukuman;
  5. Melakukan pemantauan secara berkala pada tempat-tempat penahanan terpidana mati untuk memastikan hak-hak mereka terpenuhi dan mencegah terjadinya penyiksaan;
  6. Memastikan responsivitas gender dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga penahanan/pemenjaraan sehingga kebutuhan, situasi dan kerentanan khas perempuan dapat diakui dan dipertimbangkan;
  7. Menjamin terpenuhinya Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas sejak dari proses penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai dengan putusan sehingga kebutuhan, hambatan, dan kerentananan Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan proses yang setara dan adil diakui dan dipertimbangkan;
  8. Menyelamatkan Warga Negara Indonesia atau buruh migran dari hukuman mati di luar negeri.

Daftar Lembaga dan Individu:

Lembaga

  1. Imparsial
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  3. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  4. Reprieve
  5. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  6. JPIC Divina Providentia
  7. ICJR
  8. Forum Akar Rumput Indonesia (FARI)
  9. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  10. Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN)
  11. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  12. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  13. JALA PRT
  14. Marsinah.id
  15. Institut Sarinah
  16. Artsforwomen Indonesia
  17. FSBPI
  18. GMNI
  19. Kidung
  20. KKPPMP KEPRI
  21. YAPESDI
  22. Sikola Mombine, Sulteng
  23. Suluh Perempuan
  24. Perempuan Mahardhika
  25. Migrant CARE
  26. PBHI
  27. IJRS
  28. Beranda Migran
  29. Peduli Buruh Migran
  30. debtWATCH Indonesia
  31. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  32. PADMA INDONESIA (Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia).
  33. LRC KJHAM
  34. SETARA Institute
  35. Yayasan Inklusif
  36. ELSAM
  37. Komunitas Perempuan Berkisah
  38. Yayasan Perempuan Indonesia Tumbuh Berdaya (Pribudaya)
  39. Yayasan Srikandi Sejati
  40. Pasah Kahanjak
  41. Kolektif Semai
  42. Caritas Indonesia
  43. Jaringan Nasional Anti TPPO (JarNas Anti TPPO)
  44. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia
  45. Emancipate Indonesia
  46. Human Rights Working Group (HRWG)
  47. Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya
  48. INFID
  49. CENTRA Initiative
  50. Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP)
  51. KASBI
  52. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  53. Solidaritas Perempuan
  54. Koalisi Perempuan Indonesia
  55. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
  56. Asosiasi LBH APIK Indonesia (APIK)
  57. F-SEDAR
  58. Aliansi Magang, Outsourcing, Kontrak Melawan (AMUK)
  59. Amnesty International Indonesia

 

Individu

  1. Rosma Karlina
  2. Baby V. Nurmaya
  3. Rizki Kurniawan
  4. Bambang Yulistyo Tedjo
  5. Yuyu Marliah Sukabumi
  6. Eva Sundari
  7. Olin Monteiro
  8. Fanda Puspitasari
  9. Syahar Banu
  10. Panca Saktiyani
  11. Ririn Sefsani
  12. Siti Rubaidah
  13. Maria Yohanista Djou
  14. Amelia Efiliana
  15. DessiDesmaniar
  16. Wahyu Susilo
  17. Puspa Yunita
  18. Rully Winata
  19. Dicky Sulaeman, S.H.
  20. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal)
  21. Raditya Budi Setiawan, S.E.
  22. Iwan Misthohizzaman
  23. Arimbi Heroepoetri
  24. Youngster1312
  25. Yuli Riswati
  26. Sr Laurentina SDP
  27. Hery Oktavianus
  28. Dewi Tjakrawinata
  29. Sari Aznur
  30. Halili Hasan
  31. Alimah Fauzan
  32. Kekek Apriana DH
  33. Ditta Wisnu
  34. Erwin Natosmal Oemar
  35. Nabila Tauhida
  36. Jesse Adam Halim
  37. Eric Sindunata
  38. Dike Nomia
  39. Erwin Netosmal Oemar
  40. Dian Kartika Sari
  41. Pera Sopariyanti
  42. Aida Milasari
  43. Yessi Talibo
  44. Savitri Wisnuwardhani
  45. Mike Verawati
  46. Nursyahbani Katjasungkana

Lika Liku Jalan Kesetaraan: Advokasi Dukungan Pengambilan Keputusan oleh Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak 2020, melalui dukungan Australia Indonesia Partnership for Justice 2, LBHM fokus melakukan berbagai riset seputar pengampuan dan kapasitas hukum orang dengan disabilitas psikososial. Dukungan ini berlanjut dengan kolaborasi bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Perhimpunan Jiwa Sehat untuk mewujudkan konsep dan mekanisme Kelompok Kerja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (Pokja P5HAM).

Cerita berikut (yang didokumentasikan sepanjang Mei – Juni 2024) berupaya memotret perjalanan bersama LBHM dan AIPJ2 bersama para mitra masyarakat sipil dan organisasi penyandang disabilitas serta pemerintah melewati lika liku untuk mewujudkan kesetaraan bagi orang dengan disabilitas psikososial.

LBHM dan AIPJ2 terus membuka diri dengan berbagai persepsi dalam tiap tahap kolaborasi. Kami mengapresiasi setiap narasumber dalam cerita ini yang telah berbagi, yang mengingatkan setiap kita untuk terus menggaungkan prinsip hak asasi dan hak hukum bagi orang dengan disabilitas psikososial. Selamat membaca!

Unduh publikasi tersebut melalui link di bawah ini:

Laporan Observasi Simposium Nasional “Hukum yang Hidup di Masyarakat” (Living Law) Paska KUHP Baru

Di tengah masa transisi mengantisipasi keberlakuan KUHP baru mulai Januari 2026, ada kebutuhan bagi masyarakat sipil baik yang bergerak di isu hak masyarakat adat maupun mereka yang berfokus pada perlindungan hak kelompok rentan untuk mendiskusikan sejumlah isu terkait Pasal 2 KUHP baru dan (potensi) implementasi dan implikasinya. 

Di saat bersamaan, seiring dengan persiapan pemerintah menyiapkan rencana peraturan turunan pasal tersebut,  masyarakat sipil juga merasa perlu memberikan masukan yang konstruktif atau setidaknya memberikan saran yang bersifat pengaman (safeguarding) yang berkeadilan dan berperspektif HAM.

Upaya untuk mendiskusikan hal-hal tersebut dan menyarikan masukan dan rekomendasi kunci itu dilakukan dengan adanya pelaksanaan acara Simposium Nasional “Hukum yang Hidup dalam Masyarakat” Pasca KUHP Baru. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menggagas dan menyelenggarakan Simposium Nasional.

Dari kegiatan tersebut, menghasilkan laporan observasi berdasarkan diskusi antar pemangku kepentingan yang dapat Sobat Matters akses melalui link di bawah ini. 

Pedoman Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Mental

Institusionalisasi (pengurungan secara paksa) masih menjadi salah satu permasalahan yang menimpa sebagian kelompok orang di Indonesia. Banyak praktik institusionalisasi dirancang dengan sebuah landasan yang keliru bahwa penempatan seseorang di satu tempat di mana orang tersebut mendapatkan perawatan supaya ‘sembuh’.

Praktik institusionalisasi ini kemudian membuahkan masalah yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan. Dalam konteks Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP), praktik institusionalisasi menyebabkan ribuan ODP kehilangan kebebasan dan haknya.

Pedoman ini kemudian hadir untuk menjadi salah satu cara mengurai permasalahan yang masih dialami ODP. Pedoman ini juga berupaya mengatasi dilema yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil dalam menanggulangi masalah panti bagi ODP.

Tak hanya itu, pedoman ini merupakan sarana bagi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Aparat Penegak Hukum (APH), masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas untuk bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi yang melekat pada ODP.

Pedoman ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi pemangku kepentingan untuk berupaya dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia PDM di panti-panti rehabilitasi mental.

Dengan dasar kesetaraan, bahwa ODP punya hak dan kesempatan yang sama untuk penikmatannya, maka ODP juga berhak untuk bebas dari penahanan yang sewenang-wenang karena kedisabilitasannya, termasuk tindakan kekerasan, merendahkan martabat, dan pelanggaran HAM lainnya yang mungkin dialami oleh ODP di panti-panti rehabilitasi mental.

Terakhir, pedoman ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi dan tugas dari panti-panti rehabilitasi mental sebagai tempat singgah sementara yang berperspektif HAM untuk mengembalikan fungsi sosial ODP sehingga mereka dapat hidup mandiri dan inklusif dalam masyarakat.

Unduh pedoman tersebut melalui link di bawah ini:

Legal Opinion – Mengurai Benang Kusut Hukum yang Hidup di Masyarakat dalam KUHP

Pada tahun 2023, Indonesia telah mengesahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (“KUHP 2023”). Perubahan yang dilakukan oleh perumus undang-undang terhadap KUHP 2023, memperkenalkan kepada publik terhadap banyak ketentuan-ketentuan baru seperti (1) jenis pidana dan tindakan baru; (2) tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat; (3) konsep pemaafan hakim (judicial pardon); (4) pidana korporasi dan lain sebagainya.

Salah satu perubahan KUHP 2023 yang akan menjadi fokus sorotan dalam tulisan ini adalah isu tindak pidana yang hidup di dalam masyarakat atau yang selanjutnya di dalam tulisan ini disebut dengan tindak pidana adat. Menurut Dominikus Rato, bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat. Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis serta tidak dibentuk oleh negara, sehingga ketika hal tersebut dibentuk oleh negara maka hal tersebut tidak lagi merupakan karakteristik dari hukum adat. Dengan adanya ketentuan baru dalam KUHP 2023 yang mengatur bahwa tindak pidana adat harus diatur secara tertulis di dalam peraturan daerah, maka perubahan ini menjadikan hukum adat di Indonesia mengalami reformasi atau perubahan wajah karena hukum adat dibatasi menjadi hukum tertulis. Dengan kondisi demikian, karakteristik hukum adat yang tidak tertulis tadi, dengan sifatnya yang dinamis atau mudah berubah, kini akan menjadi lebih kaku mengingat proses perubahan hukum adat tersebut kini membutuhkan rangkaian proses formil layaknya peraturan perundang-undangan pada umumnya yang membutuhkan waktu. Lambat laun nasib hukum adat yang dinamis akan berubah menjadi hukum nasional pada umumnya.

Unduh Legal Opinion

Policy Brief Risiko dan Mitigasi Dampak Pengaturan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Pelaksana KUHP

Formalisasi Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (HYHDM) dalam KUHP membawa risiko   besar bagi kelompok marginal dan rentan, serta menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam hukum pidana nasional. Sebab, formalisasi HYHDM berpotensi mematikan sifat dinamis dan fleksibel dari HYHDM, meningkatkan obesitas regulasi dan berbiaya tinggi di tingkat daerah, serta memperkuat diskriminasi dan hegemoni kelompok elit dominan di dalam masyarakat.

Dampak nyata dari formalisasi ini adalah over-kriminalisasi, ketidakpastian hukum, dan disparitas dalam pelaksanaan hukum pidana, yang bisa memperparah ketidakadilan bagi  kelompok marginal dan rentan. Maka, sebaiknya Pemerintah tidak perlu membentuk peraturan pelaksana HYHDM. Namun apabila pembentukan peraturan pelaksana tetap dilanjutkan, diperlukan upaya mitigasi yang sistematis berlandaskan prinsip keadilan, partisipatif, pemberdayaan, dan keberpihakan dalam proses pembentukan peraturan pelaksana KUHP.

Untuk meminimalisir risiko dari peraturan pelaksana KUHP, policy brief ini akan menekankan pada pembentuk peraturan untuk memperhatikan aspek proses, indikator substansi, dan implementasi ketentuan HYHDM

Unduh Policy Brief:

Laporan Dokumentasi Implementasi Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan

Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah istilah yang berasal dari konsep supported decision-making yang penjelasannya tercantum dalam Komentar Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konsep SDPK merupakan mekanisme alternatif bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) untuk menggantikan konsep substitute decision-making yang sarat diskriminasi.

Secara konseptual, SDPK menghormati otonomi, keinginan, dan preferensi individu, sebagaimana tertuang dalam dokumen komentar umum yang sama poin ke-24. Selain itu, SDPK juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat orang dengan disabilitas sebagai penentu utama keputusan.

Konsep SDPK menempatkan individu sebagai subjek yang menentukan pengambilan keputusan meski terdapat orang lain yang membantunya, sehingga berdampak positif pada kemandirian dan produktivitas individu tersebut.

Meskipun SDPK memiliki penjelasan terperinci dan berkaitan erat dengan persoalan kapasitas hukum, CRPD tidak memberi aturan baku implementasi SDPK. Begitupun dengan Indonesia, sebagai salah satu negara pihak dalam CRPD, belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, termasuk aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, secara formal, Indonesia masih belum mampu menghapus pengampuan yang berkiblat pada paradigma substitute decision-making.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, maupun aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, Indonesia masih belum mampu menghapus sistem pengampuan yang berhaluan SSPK, sebuah sistem yang menjadi antitesa SDPK.

Namun, penerapan SDPK di Indonesia tidaklah mustahil, sebab pengakuan hak-hak dasar orang dengan disabilitas telah tercantum dalam berbagai peraturan, termasuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak orang dengan disabilitas beserta beberapa peraturan turunannya.

Beberapa peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang memuat hak-hak dasar, termasuk yang berkaitan dengan SDPK. Ditambah lagi, meski belum spesifik membahas SDPK, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) yang dikelola oleh beberapa pemangku kepentingan di pemerintahan, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Gagasan SDPK bersifat multidimensional dan bentuk implementasinya beragam. Ragam implementasi itu tercantum dalam penelitian LBHM (2021) yang membandingkan praktik SDPK di berbagai negara yang menegaskan bahwa ada dugaan kuat bahwa praktik-praktik yang mengusung prinsip SDPK sejatinya sudah terlaksana di Indonesia, meskipun sifatnya informal.

Salah satu contohnya adalah kelompok dukungan sebaya atau peer-support group yang telah dipraktikkan oleh organisasi masyarakat sipil. Contoh lainnya adalah peer counseling dimana konseling dilakukan oleh sebaya, bukan oleh profesional. Konsep peer counseling sendiri muncul dari kebutuhan menghilangkan jarak antara konselor dengan yang berkonsultasi, agar hubungannya lebih setara. Selain itu, terdapat pula konsep group activity atau aktivitas kelompok yang dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip dalam SDPK.

Unduh laporan dokumentasi untuk mengetahui bagaimana praktik SDPK ini dilakukan di Indonesia oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia):

Versi Bahasa Indonesia

Versi Bahasa Inggris

Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia

Orang dengan Sindroma Down di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses hak-hak dasar mereka, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hasil riset LBHM bersama YAPESDI berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023) mengungkapkan berbagai tantangan signifikan yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down.

Akses pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down masih terbatas dan fakta tersebut terlihat dari rendahnya jumlah siswa Sindroma Down di sekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah jumlah orang dengan Sindroma Down yang mengaksesnya. Di samping persoalan ketersediaan, dunia pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas dan inklusivitas.

Di bidang pekerjaan, pemerintah juga masih terkendala untuk mendorong penyedia kerja baik pemerintah maupun swasta untuk menyediakan lowongan bagi orang dengan Sindroma Down. Orang dengan Sindroma Down tak bisa mengakses layanan perbankan secara setara karena salah paham mengenai kapasitas hukum dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri.

Melihat dari persoalan di atas, bagaimana akses pemenuhan hak-hak dasar, yakni hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perbankan, dan hak atas layanan publik, yang meliputi layanan kesehatan, layanan akomodasi, layanan administrasi dan pendataan, serta jaminan sosial, terhadap orang dengan Sindroma Down?

Selain itu apa saja kendala yang dihadapi orang dengan Sindroma Down untuk mendapat pemenuhan hak-hak tersebut?

Baca selengkapnya melalui link di bawah ini:

Sobat Matters juga dapat mengakses laporan penelitian tersebut dalam versi bahasa sederhana melalui link di bawah ini:

Perkembangan Pidana Mati dalam Proses Peradilan: Analisis Awal Berbasis Kasus Berdimensi Hukuman Mati Terbaru

Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.

Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.

Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.

Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?

Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

KUHP Baru yang disahkan akhir tahun 2022 lalu oleh DPR bersama Presiden masih memuat pidana mati sebagai hukuman yang diberlakukan dalam tindak pidana di Indonesia. Meski pidana mati masih dipertahankan, KUHP Baru menempatkan pidana mati bukan lagi pidana pokok sebagaimana existing KUHP. Ini artinya, pidana mati bukan lagi pemidanaan yang bersifat utama.

Dalam konteks implementasinya, KUHP Baru mengatur terkait penerapan pidana mati diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 98 KUHP Baru.

Tetapi secara konseptual, skema pidana mati alternatif ini menjadikan tindak pidana yang bersifat khusus berubah menjadi tindak pidana yang sangat serius atau yang luar biasa, sebagaimana termaktub dalam Pasal 67 KUHP Baru dan penjelasannya, diantaranya tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia.

Dari konstruksi hukum tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis, apa saja jenis-jenis tindak pidana yang tidak disebutkan dalam Penjelasan Pasal 67 KUHP Baru? Apakah pidana mati akan diberlakukan secara alternatif juga?

Baca selengkapnya terbitan baru kami: “Hukuman Mati dalam KUHP Baru: Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana”

Skip to content