Category: Kesehatan Jiwa

Kesehatan Jiwa LBHM

Pedoman Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia bagi Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Mental

Institusionalisasi (pengurungan secara paksa) masih menjadi salah satu permasalahan yang menimpa sebagian kelompok orang di Indonesia. Banyak praktik institusionalisasi dirancang dengan sebuah landasan yang keliru bahwa penempatan seseorang di satu tempat di mana orang tersebut mendapatkan perawatan supaya ‘sembuh’.

Praktik institusionalisasi ini kemudian membuahkan masalah yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan. Dalam konteks Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP), praktik institusionalisasi menyebabkan ribuan ODP kehilangan kebebasan dan haknya.

Pedoman ini kemudian hadir untuk menjadi salah satu cara mengurai permasalahan yang masih dialami ODP. Pedoman ini juga berupaya mengatasi dilema yang dihadapi pemerintah dan masyarakat sipil dalam menanggulangi masalah panti bagi ODP.

Tak hanya itu, pedoman ini merupakan sarana bagi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Aparat Penegak Hukum (APH), masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas untuk bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi yang melekat pada ODP.

Pedoman ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi pemangku kepentingan untuk berupaya dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia PDM di panti-panti rehabilitasi mental.

Dengan dasar kesetaraan, bahwa ODP punya hak dan kesempatan yang sama untuk penikmatannya, maka ODP juga berhak untuk bebas dari penahanan yang sewenang-wenang karena kedisabilitasannya, termasuk tindakan kekerasan, merendahkan martabat, dan pelanggaran HAM lainnya yang mungkin dialami oleh ODP di panti-panti rehabilitasi mental.

Terakhir, pedoman ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi dan tugas dari panti-panti rehabilitasi mental sebagai tempat singgah sementara yang berperspektif HAM untuk mengembalikan fungsi sosial ODP sehingga mereka dapat hidup mandiri dan inklusif dalam masyarakat.

Unduh pedoman tersebut melalui link di bawah ini:

Laporan Dokumentasi Implementasi Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan

Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah istilah yang berasal dari konsep supported decision-making yang penjelasannya tercantum dalam Komentar Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konsep SDPK merupakan mekanisme alternatif bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) untuk menggantikan konsep substitute decision-making yang sarat diskriminasi.

Secara konseptual, SDPK menghormati otonomi, keinginan, dan preferensi individu, sebagaimana tertuang dalam dokumen komentar umum yang sama poin ke-24. Selain itu, SDPK juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat orang dengan disabilitas sebagai penentu utama keputusan.

Konsep SDPK menempatkan individu sebagai subjek yang menentukan pengambilan keputusan meski terdapat orang lain yang membantunya, sehingga berdampak positif pada kemandirian dan produktivitas individu tersebut.

Meskipun SDPK memiliki penjelasan terperinci dan berkaitan erat dengan persoalan kapasitas hukum, CRPD tidak memberi aturan baku implementasi SDPK. Begitupun dengan Indonesia, sebagai salah satu negara pihak dalam CRPD, belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, termasuk aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, secara formal, Indonesia masih belum mampu menghapus pengampuan yang berkiblat pada paradigma substitute decision-making.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, maupun aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, Indonesia masih belum mampu menghapus sistem pengampuan yang berhaluan SSPK, sebuah sistem yang menjadi antitesa SDPK.

Namun, penerapan SDPK di Indonesia tidaklah mustahil, sebab pengakuan hak-hak dasar orang dengan disabilitas telah tercantum dalam berbagai peraturan, termasuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak orang dengan disabilitas beserta beberapa peraturan turunannya.

Beberapa peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang memuat hak-hak dasar, termasuk yang berkaitan dengan SDPK. Ditambah lagi, meski belum spesifik membahas SDPK, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) yang dikelola oleh beberapa pemangku kepentingan di pemerintahan, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Gagasan SDPK bersifat multidimensional dan bentuk implementasinya beragam. Ragam implementasi itu tercantum dalam penelitian LBHM (2021) yang membandingkan praktik SDPK di berbagai negara yang menegaskan bahwa ada dugaan kuat bahwa praktik-praktik yang mengusung prinsip SDPK sejatinya sudah terlaksana di Indonesia, meskipun sifatnya informal.

Salah satu contohnya adalah kelompok dukungan sebaya atau peer-support group yang telah dipraktikkan oleh organisasi masyarakat sipil. Contoh lainnya adalah peer counseling dimana konseling dilakukan oleh sebaya, bukan oleh profesional. Konsep peer counseling sendiri muncul dari kebutuhan menghilangkan jarak antara konselor dengan yang berkonsultasi, agar hubungannya lebih setara. Selain itu, terdapat pula konsep group activity atau aktivitas kelompok yang dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip dalam SDPK.

Unduh laporan dokumentasi untuk mengetahui bagaimana praktik SDPK ini dilakukan di Indonesia oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia):

Versi Bahasa Indonesia

Versi Bahasa Inggris

Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia

Orang dengan Sindroma Down di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses hak-hak dasar mereka, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hasil riset LBHM bersama YAPESDI berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023) mengungkapkan berbagai tantangan signifikan yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down.

Akses pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down masih terbatas dan fakta tersebut terlihat dari rendahnya jumlah siswa Sindroma Down di sekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah jumlah orang dengan Sindroma Down yang mengaksesnya. Di samping persoalan ketersediaan, dunia pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas dan inklusivitas.

Di bidang pekerjaan, pemerintah juga masih terkendala untuk mendorong penyedia kerja baik pemerintah maupun swasta untuk menyediakan lowongan bagi orang dengan Sindroma Down. Orang dengan Sindroma Down tak bisa mengakses layanan perbankan secara setara karena salah paham mengenai kapasitas hukum dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri.

Melihat dari persoalan di atas, bagaimana akses pemenuhan hak-hak dasar, yakni hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perbankan, dan hak atas layanan publik, yang meliputi layanan kesehatan, layanan akomodasi, layanan administrasi dan pendataan, serta jaminan sosial, terhadap orang dengan Sindroma Down?

Selain itu apa saja kendala yang dihadapi orang dengan Sindroma Down untuk mendapat pemenuhan hak-hak tersebut?

Baca selengkapnya melalui link di bawah ini:

Sobat Matters juga dapat mengakses laporan penelitian tersebut dalam versi bahasa sederhana melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososia Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial\”:

https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2023/06/Buku-Psychosocial-Disability-Legal_FIN.pdf

Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”:

https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2023/06/Policy-Brief-Rev.pdf

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas PsikososiaTinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial\”:

https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2023/06/Buku-Psychosocial-Disability-Legal_FIN.pdf

Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”:

https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2023/06/Policy-Brief-Rev.pdf

[Laporan Penelitian] Gambaran Disabilitas Psikososial di Indonesia: Pemetaan Isu-Isu Strategis

Pasca melakukan ratifikasi CRPD di tahun 2011, Indonesia menyikapi ratifikasi itu dengan serius, dimana Pemerintah Indonesia membentuk suatu perundang-undangan yang menjami hak penyandang disabilitas, hal ini dapat kita lihat sekarang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 atau dikenal dengan istilah UU Penyandang Disabilitas.

Pembentukan UU Penyandang Disabilitas ini merupakan sebuah bentuk tanggung jawab nyata dari negara terhadap kelompok disabilitas untuk menghormati Hak Asasi Manusianya. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata implementasi kebijakan ini masih belum mencakup semua kelompok disabilitas. Salah satu yang luput adalah kelompok Disabilitas Psikososial atau Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Selama ini ODP masih mengalami diskriminasi dan stigma yang akhirnya menyebabkan terjadi kekangan hak dan halangan partisipasi yang dirasakan ODP, salah satunya dalam bidang hukum dan HAM. Selama ini masih terjadi perdebatan apakah ODP dapat bertanggung jawab secara pidana atau tidak, dalam satu penelitian disebutkan jika ODP
ODP tidak mungkin bertanggung jawab secara pidana–pendapat ini dilandaskana pada keberadaan pasal 44 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak dipidana jika ‘jiwanya cacat’, karena dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam penelitian ini kami ingin membalika stigmatisasi yang ditujukan kepada ODP. Secara garis besar HAM, ODP itu masih mempunyai hak, salah sataunya adalah hak atas kapasitas hukumnya. Upaya mendenied hak tersebut seudah termasuk dalam pelanggaran hak. Teman-teman dapat membaca laporan lengkap tentang ODP di bawah ini:

Versi Indonesia

Versi Inggris

[Laporan Penelitian] Komparasi Sistem Dukungan Dalam Pengambilan Keputusan Untuk Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sejak diresmikan, Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) tentang kapasitas hukum telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan akademisi, ahli hukum, dan tenaga medis. Hal ini memancing banyak respon dari banyak kelompok, seperti kelompok aktivis disabilitas yang merayakan keberadaan pasal itu, karena memberikan pengakuan setara terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas. Disamping itu ada juga kelompok pihak-pihak lain yang memiliki interpretasi berbeda, bahkan menolak keberadaan Pasal 12 dalam CRPD ini Keberagaman pendapat itu menyebabkan adanya variasi dalam pengimplementasian pengakuan universal atas kapasitas hukum oleh negara-negara yang meratifikasi CRPD.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi CRPD, Indonesia sudah mengimplementasikanya dalam sebuah Undang-Undang (UU) yakni UU Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah Indonesia meyakini bahwa mereka menghormati hak asasi orang dengan disabilitas dengan mengakomodirnya dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas).

Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) masih menjadi salah satu kelompok rentan yang masih belum bisa merasakan sepenuhnya hak-haknya. Seperti hak atas kapasitas hukum. Masih banyak ODP yang terampas hak atas kapasitas hukumnya, hal ini terjadi karena tidak dianggap kompeten untuk mengambil keputusan dikarenakan kondisi kejiwaanya, yang pada akhirnya kapasitas hukum mereka terenggut/dicabut.

Dalam pengambilan keputusan bagi seorang ODP, Indonesia masih menggunakan sistem perwalian, sistem ini dianggap tidak efektif dan dinilai melanggar hak asasi, serta sangat diskriminatif. Padahal seharusnya ODP dapat diperlakukan secara setara (equal) dalam proses hukum, seperti yang dituang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Sudah saatnya Indonesia meninggalkan sistem perwalian dan mulai memakai pendekatan yang supportif terhadap ODP yakni Support Decission Making (SDM). LBHM sejak tahun 2020, telah melakukan penelitian terkait pengambilan keputusan untuk ODP dengan melakukan perbandingan sistem pengambilan keputusan yang ada di seluruh dunia. Secara garis besar dalam laporan ini mengenalkan kepada publik terkait sistem pengambilan keputusan yang baik untuk ODP.

Laporan penelitian ini terbagi dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia, & English), untuk mengunduh dokumen silahkan mengklik link dibawah ini:

Versi Indonesia

English Version

Knowledge Product – Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia

Situasi seorang ODP yang berhadapan dengan hukum di Indonesia sangatlah mengkhawatirkan. Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Seorang dengan Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), hal ini diharmonisasikan kedalam Undag-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Orang dengan Disabilitas—termasuk juga di dalamnya adalah perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP).

Namun, adanya perundangan-undangan terkait perlindungan terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial ternyata tidak menyelesaikan pelanggaran hak terahadap kelompok ODP. Salah satu bentuk diskriminatif yang melanggar hak seorang ODP adalah Pengampuan ODP, yang ada di dalam pasal 443 (UU Nomor 8/2016) dimana dalam pasal tersebut menjelaskan adanya mekanisme untuk memindahkan hak individu untuk memberi keputusan kepada orang lain untuk mengambil keputusan dalam. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran karena menghilangkan legal capacity seseorang. Pada Undang-Undang lain yakni UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa terdapat pasal yang memberikan kewenangan kepada keluarga untuk mengambil keputusan, bagi anggota keluarganya yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa untuk dibawa ke pusat rehabilitasi.

Referensi lengkap dapat di baca di:
Menuju Model Sistem Dukungan Dalam Pengambilan keputusan di Indonesia (Indonesian version)
Towards a Supported Decision-Making Model in Indonesia (English version)

Berikut slide infografis terkait ODP (dalam dua bahasa):
1. Infografis terkait ODP (versi bahasa Indonesia)

2. Infogrhapic about PPD (English version)

Assessing Indonesian Guardianship Laws: Protecting the Rights of People with Psychosocial Disabilities

Although the discourse related to mental health has become mainstream, Persons with Psychosocial Disabilities (PPD) in Indonesia still experience discriminations. Negative stigmas portraying them as someone ‘dangerous’ or ‘irrational’ encourage the assumption that they do not have the capacity to do legal conducts. Guardianship system inherent in Indonesian Civil Law is one of the violations of PPD’s rights to legal capacity.

LBHM, together with Monash University, conducted research on the legal framework of guardianship and its implementation in Indonesia. Using the data from court decisions and FGD results, this research demonstrates how Indonesian guardianship system infringes one’s economic rights, imposed without considering valid evidences, granted without limitations, and ignores the will and preferences of PPD. Download the full report here.

You can also check for the Indonesian version here.

Laporan Penelitian – Asesmen Hukum Pengampuan Indonesia: Perlindungan Hak Orang dengan Disabilitas Psikososial

Sekalipun narasi seputar kesehatan jiwa semakin populer belakangan ini, Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) di Indonesia masih sering mengalami tindakan diskriminasi. Stigma buruk yang dilekatkan terhadap mereka sebagai orang yang ‘berbahaya’ atau ‘irasional’ membuat negara dan pihak-pihak lain menganggap mereka tidak mampu melakukan tindakan hukum. Sistem pengampuan yang Indonesia atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu manifestasi di mana hak atas kapasitas hukum bagi ODP ini dilanggar.

LBHM bersama dengan Monash University melakukan penelitian terkait dengan kerangka hukum pengampuan serta implementasinya di lapangan. Menggunakan data penetapan pengadilan dan hasil FGD, penelitian ini memperlihatkan bagaimana pengampuan merenggut hak ekonomi, ditetapkan tanpa memperhitungkan alat bukti yang tepat, diberikan seringkali tanpa batas, dan mengabaikan kehendak dan preferensi ODP. Unduh laporan lengkapnnya di sini.

Skip to content