Category: Kesehatan Jiwa

Kesehatan Jiwa LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Disabilitas Psikososial dalam Sengkarut Hukum HAM

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) telah dibuat, perbuat stigma dan diskriminasi masih kerap kali terjadi terhadap Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Selain stigma dan diskriminasi, ODP kerap mengalami tindakan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Setidaknya ada 18.000 orang yang dipasung karena penyakitnya dianggap sebagai kutukan atau kerasukan, padahal pemerintah sudah melarang pemasungan 1977.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dikombinasi dengan data rutin dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) menunjukkan gejala depresi dan kecemasan sudah diidap orang Indonesia sejak usia 15 tahun. Presentasinya pun cukup banyak, untuk penderita depresi saja ada sekitar 14 juta orang, sedang prevalansi gangguan psikososial berat, seperti skizophrenia ada sekitar 400 ribu orang. Jumlah yang tinggi ini tidak dibarengi dengan layanan fasilitas yang mencukupi dan memadai.

Menurut data Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Indonesia baru memiliki 48 rumah sakit jiwa, 50%-nya berlokasi di 4 (Empat) provinsi. Data lainnya, menunjukkan hanya 30% dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 (dua ratus empat puluh sembilan) dari total 445 (empat ratus empat puluh lima) rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. Ditambah ada delapan provinsi di Indonesia yang belum melayani pasien gangguan psikososial.

Fasilitias dan pelayanan kesehatan yang langka pun memicu terjadinya pelanggaran hak-hak dasar para penyadang disabilitas psikososial. Misalnya, menempatkan pasien perempuan dan laki-laki di bangsal yang berdekatan dan ini berpotensi menimbulkan pelecehan, selain itu juga penyuntikkan alat kontrasepsi tanpa adanya persetujuan klien, dan juga tindak kekerasan yang dilakuka di lembaga pelayanan kesehatan jiwa yakni dengan melakuka pembatasan fisik (pemasungan).

Hak atas kebebasan semestinya diperoleh oleh setiap orang tanpa terkecuali, baik itu kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, maupun kesehatan. Hal ini diatur dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia dan tersebar dalam beberapa Pasal. Misalnya, Pasal 28 G ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), serta Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Instrumen yang signifikan tentang Hak ODP terdapat dalam Pasal 42 UU HAM.

LBH Masyarakat (LBHM) mengeluarkan laporan Monitoring dan Dokumentasi (Mondok) untuk memperkaya pemahaman dan pengayaan terkait isu Kesehatan Jiwa, agar dapat bermanfaat untuk merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, efektif dan berpijak padan norma-norma HAM.

Untuk melihat laporan penuh silahkan unduh di sini

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Kebijakan yang Paranoid, Kekangan terhadap Disabilitas Psikososial

Ada banyak hal yang masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pahami mengenai gangguan jiwa dan orang-orang yang mengidapnya. Baru pada tahun 2014 Indonesia memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang berusaha memastikan perlindungan hak terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Sayangnya, masih banyak muatannya yang mendiskriminasi kapasitas ODP. Pengarusutamaan hak ODP melalui kerangka Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga belum paripurna selama amanat peraturan turunan belum terealisasi.

Perkembangan yang lambat ini bukan sepenuhnya kejanggalan regional. Di dunia internasional sekalipun, masalah gangguan jiwa belum mendapatkan jatah kebijakan dan pendanaan karena berbagai alasan. Advokasi internasional pun lalai menyadari bahwa masalah kesehatan jiwa tidak mampu untuk ditangani dengan bertumpu pada pendekatan medis semata melainkan juga pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketidakpahaman serta keterlambatan belajar inilah yang menghasilkan stigma-stigma negatif dalam kebijakan-kebijakan kesehatan jiwa Indonesia. Masyarakat sering mempersepsikan ODP sebagai orang yang menakutkan, tidak bisa diprediksikan, dan aneh. Inilah mengapa sekalipun ada upaya-upaya \’menolong\’ ODP, aspek kontrol masih terasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penindakan, razia, pengamanan dan penangkapan untuk mengontrol ODP.

Agar bisa terus meningkatkan pengetahuan dan kepekaan kita tentang isu-isu kesehatan jiwa, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan dokumentasi ini. Kami melakukan pemantauan berkaitan dengan ODP dan penegakan hukum. Lebih spesifiknya, kami mencari data-data kekerasan dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap atau dilakukan oleh ODP sepanjang tahun 2017.

Pemantauan semacam ini bukanlah pengalaman pertama kami. Pada tahun 2016 kami melakukan pemantauan serupa yang menemukan 3445 ODP menjadi korban kekerasan dan 58 kasus ODP dituduh melakukan tindak pidana. Dari hasil laporan tahun kemarin, kami mendapatkan banyak informasi mengenai banyaknya pemasungan, pengamanan paksa, penelantaran, dan penganiayaan terhadap ODP. Kami juga mencatat adanya persoalan ketidakjelasan prosedur penanganan hukum ketika ODP dituduh melakukan tindak pidana agar tetap mampu memberikan keadilan baik bagi korban maupun pelaku.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Oleh karena itu dengan dilanjutkannya dokumentasi di tahun 2017, kami mampu mencatat apakah ada perubahan penanganan kasus-kasus ODP di Indonesia atau tidak dalam kurun waktu satu tahun yang sudah berlalu. Laporan ini diharapkan bisa menjadi basis data baik bagi LBH Masyarakat sendiri ataupun organisasi-organisasi lainnya yang peduli atas masalah kesehatan jiwa dan hak asasi manusia (HAM) untuk melakukan advokasi masa mendatang.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!

Kertas Kebijakan: Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata

Tulisan ini menjabarkan studi mengenai kapasitas mental dalam hukum pidana dan hukum perdata Indonesia, serta kaitannya dengan hukuman mati di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa (UUKJ) menyediakan sebuah kerangka hukum baru untuk isu kesehatan jiwa yang bertujuan untuk melindungi hak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Pasal 71-73 UUKJ mencoba memperjelas kerangka hukum untuk mengevaluasi kapasitas mental dalam hukum perdata dan pidana. Kapasitas mental adalah kemampuan untuk ‘memahami karakter dan konsekuensi dari tindakannya [dan keputusannya]’. Kapasitas merujuk pada ‘penilaian  kemampuan seseorang untuk membuat sebuah keputusan, bukan penilaian atas keputusan yang mereka buat’. Penilaian kapasitas mental seseorang sangat penting untuk menentukan posisi mereka dalam lingkup hukum pidana, hukum perdata, dan kaitannya dengan kasus hukuman mati.

Namun, UUKJ masih baru dan efektivitasnya belum dapat dipastikan. Membandingkan dengan peraturan serupa di negara-negara lain adalah langkah yang bijak guna menentukan metode implementasi terbaik ke depannya. Kertas kebijakan ini berupaya menunjukkan bagaimana perangkat hukum di Indonesia memosisikan ODGJ dan bagaimana perbandingannya dengan negara lain.

Kertas Kebijakan berjudul “Penentuan Kapasitas Mental dalam Hukum Pidana dan Perdata” yang ditulis oleh Codey J. Larkin, mahasiswa Universitas La Trobe, Melbourne, selama menjalani masa magang di LBH Masyarakat ini bisa diakses di tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Hukum yang Bipolar, Melindungi atau Memasung?

Masalah kesehatan bukan hanya soal apa yang tampak secara fisik tetapi juga secara psikis. Pada tahun 2013, riset kesehatan dasar memperkirakan bahwa kira-kira 1,7 permil rumah tangga Indonesia memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa berat.[i] Gangguan ini berpotensi mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan sosial mereka apabila tidak ditangani secara tepat dan cepat. Penanganan ini bukan hanya dengan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, tetapi juga perlindungan hukum.

Orang yang memiliki masalah kejiwaan seringkali tidak bisa mengakses layanan-layanan publik akibat stigma dan diskriminasi. Masyarakat seringkali menganggap mereka berbahaya, tidak rasional, tidak bisa bertanggung jawab terhadap urusan-urusan domestik, dan tidak mampu untuk bekerja. Akhirnya, kehadiran mereka pun dianggap menjadi sebuah gangguan dan eksistensi mereka disingkirkan ke lembaga-lembaga penahanan, seperti tempat rehabilitasi, rumah sakit jiwa (RSJ) dan penjara.

LBH Masyarakat menaruh perhatian khusus kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sedang berhadapan dengan hukum, terutama mereka yang disangkakan melakukan tindak pidana. Perhatian kami ini dilatarbelakangi oleh masih mudanya usia perangkat hukum yang mengatur masalah ODGJ di dalam sistem peradilan pidana.[1] Apabila perlindungan hukum tidak diberikan sejak tahap penangkapan, terbuka kemungkinan sangat besar ODGJ menjalani proses peradilan dan mendapatkan penghukuman yang akan memperparah gangguannya.

Pelaku penyingkiran ODGJ bukan hanya dilakukan melalui sistem peradilan pidana, melainkan juga dalam praktik hidup sehari-hari. Praktik pemasungan adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat yang masih jamak terjadi di Indonesia.[ii] Selain pasung, ODGJ juga rentan untuk mendapatkan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Atas dasar inilah, kami mendokumentasikan kasus-kasus pidana yang diduga dilakukan oleh ODGJ serta praktek-praktek kekerasan terhadap ODGJ di sepanjang tahun 2016. Upaya pendokumentasi ini juga sebetulnya tidak lepas dari peristiwa kehilangan. Pada tahun 2015, LBH Masyarakat kehilangan klien sekaligus teman: Rodrigo Gularte, warga Negara Brazil yang didiagnosis memiliki gangguan jiwa berat dan kemudian dibunuh atas nama hukum melalui eksekusi hukuman mati. Kami menjadi saksi bagaimana pria itu tidak pernah diberikan baik layanan kesehatan memadai maupun akses terhadap hukum yang setara sejak awal proses peradilan sampai tubuhnya ditembus peluru. Maka, sekalipun berita mengenai Rodrigo Gularte sudah reda pada tahun 2016, laporan ini kami dedikasikan kepadanya dan ODGJ lain yang masih berada di belakang jeruji, baik di penjara asli ataupun penjara belakang rumah. Selamat membaca!

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Skip to content