Tag: Kesehatan Jiwa

Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia

Orang dengan Sindroma Down di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses hak-hak dasar mereka, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hasil riset LBHM bersama YAPESDI berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023) mengungkapkan berbagai tantangan signifikan yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down.

Akses pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down masih terbatas dan fakta tersebut terlihat dari rendahnya jumlah siswa Sindroma Down di sekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah jumlah orang dengan Sindroma Down yang mengaksesnya. Di samping persoalan ketersediaan, dunia pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas dan inklusivitas.

Di bidang pekerjaan, pemerintah juga masih terkendala untuk mendorong penyedia kerja baik pemerintah maupun swasta untuk menyediakan lowongan bagi orang dengan Sindroma Down. Orang dengan Sindroma Down tak bisa mengakses layanan perbankan secara setara karena salah paham mengenai kapasitas hukum dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri.

Melihat dari persoalan di atas, bagaimana akses pemenuhan hak-hak dasar, yakni hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perbankan, dan hak atas layanan publik, yang meliputi layanan kesehatan, layanan akomodasi, layanan administrasi dan pendataan, serta jaminan sosial, terhadap orang dengan Sindroma Down?

Selain itu apa saja kendala yang dihadapi orang dengan Sindroma Down untuk mendapat pemenuhan hak-hak tersebut?

Baca selengkapnya melalui link di bawah ini:

Sobat Matters juga dapat mengakses laporan penelitian tersebut dalam versi bahasa sederhana melalui link di bawah ini:

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

[KOMIK EPISODE 05] Sulitnya Mengakses Hak atas Layanan Perbankan bagi Orang dengan Sindroma Down

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode kelima ini menceritakan pengalaman Orang dengan Sindroma Down yang masih menghadapi berbagai hambatan untuk mengakses hak atas layanan perbankan. Hal ini karena kapasitas hukum mereka belum diakui.

[KOMIK EPISODE 04] Pentingnya Orang dengan Sindroma Down Dapat Pekerjaan Tetap dan Jadwal Konsisten

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode keempat ini menceritakan orang dengan Sindroma Down yang kesulitan mendapat pekerjaan tetap dengan jadwal yang konsisten, berbagai diskriminasi pada jam kerja yang mereka rasakan, dan upah yang lebih rendah dari pekerja pada umumnya.

[KOMIK EPISODE 03] Fasilitas Publik yang Tak Maksimal Hambat Kemandirian Orang dengan Sindroma Down

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode ketiga ini menceritakan fasilitas publik yang tidak mengakomodasi kebutuhan Orang dengan Sindroma Down sejatinya dapat menghambat kemandirian mereka.

[KOMIK EPISODE 01] Perjuangan Orang dengan Sindroma Down Mengakses Hak Dasarnya di Indonesia

Melodi Inklusi adalah cerita tentang realitas yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down di indonesia. Komik ini hendak membangun kesadaran publik lebih besar lagi, dan memotret realitas pelik yang selama ini mereka alami. Episode pertama ini menceritakan kehidupan orang dengan Sindroma Down yang masih harus menghadapi berbagai tantangan.

[INFOGRAFIS] Hak-Hak Orang dengan Sindroma Down: Panduan Mewujudkan Masyarakat Inklusif

Meski pemerintah Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas), nyatanya itu masih belum berhasil melaksanakan pembangunan yang inklusif bagi orang dengan Sindroma Down. Hal ini tergambarkan dari rendahnya partisipasi mereka dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kondisi ini kemudian menyebabkan rendahnya partisipasi bermakna mereka dalam pembangunan, sehingga tidak mendapat manfaat pembangunan yang sama dengan orang non-disabilitas.

Riset Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tahun 2023 menemukan 23 aturan tentang Orang dengan Sindroma Down yang bertentangan dengan mandat Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities/CRPD). Temuan itu mempertanyakan arah dan pijakan atas penghormatan dan perlindungan hak-hak Orang dengan Sindroma Down di Indonesia jika melawan arus dengan konvensi utamanya.

Dari situasi tersebut, ditambah anggapan bahwa orang dengan Sindroma Down seringkali diidentifikasikan lambat dalam berperilaku dan kemampuannya yang hanya dipatok ukuran skor intelligence quotient (IQ), berdampak pada terisolasinya orang dengan Sindroma Down dari hak-hak mereka. Padahal ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa dengan lingkungan yang baik dan hak-hak yang terpenuhi, orang dengan Sindroma Down dapat hidup secara mandiri, di antaranya yang ditulis oleh Martha Beck dalam The Gift of Down Syndrome: Some Thoughts for New Parents.

Data dalam Infografis ini, yang berangkat dari penelitian LBHM berjudul Akses Pemenuhan Hak untuk orang dengan Sindroma Down di Indonesia (2023), harapannya dapat memberikan penjelasan secara sistematis terkait pemenuhan hak-hak mereka, sehingga dapat menyumbang informasi yang mampu mendorong perubahan kebijakan dan pembangunan yang menyertakan Orang dengan Sindroma Down secara bermakna. Selamat membaca!

[RILIS PERS] ABSENNYA ISU DISABILITAS: INDIKASI PEMBAHASAN RUU KESEHATAN YANG TIDAK TUNTAS

11 Juli 2023

Beberapa hari terakhir, telah beredar informasi bahwa pada hari Selasa, 11 Juli 2023, akan diadakan Rapat Paripurna DPR RI Ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu agenda Rapat tersebut adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan (RUU Kesehatan). Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, hingga organisasi disabilitas. 

Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei yang dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan:

  1. Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69% menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94% partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
  2. Di sisi lain, akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69% responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan,tetapi hanya ada 30% yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan. Ditambah lagi, hingga rilis pers ini dibuat, draft final RUU Kesehatan masih simpang siur keberadaannya.
  3. Proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil. Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II. Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.
  4. Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas akan permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang menurut mereka perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas (73%), jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia (71%), ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas (71%), program jaminan kesehatan negeri/swasta (69%), sistem rujukan layanan kesehatan (58%), intervensi dan deteksi dini (54%), layanan edukasi kesehatan (50%), disabilitas psikososial (49%), obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas (47%), upaya kesehatan berbasis masyarakat (43%), disabilitas karena sindrom langka (39%), kesehatan reproduksi penyandang disabilitas (39%), layanan habilitasi (33%), kesehatan remaja (32%).
  5. Prioritas permasalahan-permasalahan kesehatan ini belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan. Menurut RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.
  6. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik. Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draft RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak draft RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.
  2. Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.
  3. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.
  4. Meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.

Organisasi yang Mendukung dan Narahubung:

  1. FORMASI Disabilitas, 0852-5623-3366 (Nur Syarif Ramadhan)
  2. Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), 0877-7548-6146 (Hisyam Ikhtiar)
  3. Wahana Keluarga Cerebral Palsy, 0856-2851-903 (Reny Indrawati)
  4. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 0859-3967-6720 (Albert Wirya)
  5. Perkumpulan OHANA, 0812-2756-973 (Nuning Suryatiningsih) 0821-3729-3816 (Risnawati Utami)
  6. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, 0815-5332-8120 (Sylvia Sumargi)
  7. Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), 0813-2941-2360 (Purwanti)

Buku Laporan Penelitian \”Tinjauan Kebijakan Orang dengan Disabilitas Psikososial\” dan Policy Brief \”Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia\”

Penyusunan kebijakan tentang disabilitas di Indonesia memang mengalami perkembangan pesat dan tersebar di setiap institusi pemerintah pusat atau daerah juga swasta. LBHM menemukan hampir 300 peraturan tentang disabilitas dibanyak sektor misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum, perlindungan sosial yang dibuat pemerintah sampai saat ini dengan jenis peraturan perundang-undangan yang berbeda. Keberadaan peraturan-peraturan ini menunjukan komitmen dalam mengakui dan memahami situasi disabilitas saat ini ke arah yang responsif.

Dalam studi ini LBHM meninjau ratusan peraturan yang eksisting tapi belum berhasil menjawab kebutuhan ragam disabilitas, terutama disabilitas psikososial. Di samping itu peraturan yang spesifik terhadap disabilitas psikososial masih mengandung hambatan dalam implementasinya. bahkan jenis-jenis peraturan tersebut cenderung disharmoni satu sama lain secara vertikal atau horizontal dan juga masih ditemukan kekosongan hukum dalam menjamin kesetaraan di hadapan hukum, non diskriminasi dan perlindungan terhadap akses keadilan bagi disabilitas psikosial.

Meskipun LBHM juga menilai dibeberapa institusi pemerintah memiliki peraturan yang terbilang komprehensif seperti di Direktorat Jenderal Peradilan Umum pada Mahkamah Agung namun aturan ini belum menginternalisasi di tingkat pengadilan bawah seperti pengadilan negeri, terlebih pengadilan negeri merupakan pengadilan yang dibutuhkan oleh disabilitas mental mendapatkan keadilan.

Persoalan internalisasi terhadap institusi pusat yang memiliki struktur organisasi sampai level Kota dan Kabupaten merupakan kendala besar dalam singkronisasinya. Bahkan dengan konsep otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap Kabupaten dan Kota menyusun peraturan daerah masing-masing, persoalan disabilitas menghadapi jalan terjal mengingat sebaran disabilitas terdapat di mana-mana. Dengan kondisi seperti ini upaya menghadirkan penanganan disabilitas yang responsif masih menghadapi tantangan yang cukup berat.

Namun dengan hadirnya studi ini, pemerintah bisa memperbaiki perkembangan hukum saat ini yang sudah dicapai ke arah yang digariskan dalam Konvensi Hak Orang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi 2016 lalu sebagai wujud komitmen kuat Indonesia dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak disabilitas.

Silakan membaca hasil penelitian dan policy brief yang telah LBHM lakukan melalui link di bawah ini:

Buku Laporan Penelitian ” Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososia Tinjauan Kebijakan Terkait Orang dengan Disabilitas Psikososial” :

Policy Brief ” Hak-Hak Disabilitas Psikososial di Indonesia” :

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu kelompok yang sering mendapatkan ancaman keselamatan ketika sedang menjalankan tugas-tugasnya. Persekusi dari aktor negara ataupun aktor privat berdampak pada kesehatan fisik dan psikis dari para pembela HAM. Hal yang sama terjadi kepada pembela HAM yang fokus pada individu-individu LGBTIQ+ di Indonesia. Tingginya kasus krisis yang dialami oleh individu LGBTIQ+— paralegal Konsorsium CRM mencatat 51 kasus pada tahun 2021—menimbulkan beban fisik dan mental bagi pembela HAM LGBTIQ+/

Berangkat dari hal tersebut, Konsorsium CRM bersama dengan Jaringan Transgender Indonesia dan perEMPUan melalui dukungan Program Voice Indonesia memproduksi Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia. Kami berharap panduan ini bisa digunakan seluas-luasnya ketika pembela HAM LGBTIQ+ mengalami dampak negatif stress ketika menjalankan tugasnya. Selain memberikan panduan praktis untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental yang lebih buruk, panduan ini juga memberikan kontak layanan lanjutan kesehatan mental yang ramah LGBTIQ+ di Indonesia.

Unduh laporan selengkapnya dengan menekan tautan di bawah:

Panduan Pertolongan Pertama Psikologis bagi Pembela HAM LGBTIQ+ di Indonesia

Skip to content