Month: July 2023

JOINT CALL FOR SINGAPORE TO HALT EXECUTIONS IMMEDIATELY

25 July 2023

This week Singapore intends to execute Mohd Aziz bin Hussain, a 56-year-old Singaporean Malay man convicted of trafficking approximately 50g of diamorphine (heroin) and Saridewi binte Djamani, a 45-year-old Singaporean woman convicted of trafficking approximately 30g of diamorphine (heroin). It has been almost twenty years since Singapore last executed a woman. If these executions proceed, Singapore will have executed 15 people for drug offences since 30 March 2022, an average of one execution every month.

International law restricts the death penalty to the ‘most serious crimes’ understood as intentional killing: executions for drug offences clearly fail to meet the ‘most serious crimes’ criterion under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Singapore is among a handful of countries that have executed (China, Iran and Saudi Arabia) or are likely to have executed (Vietnam and North Korea) individuals for drug offences in 2022 (see reports of Amnesty International and Harm Reduction International).

In an interview in September 2022, Law Minister K. Shanmugam confirmed that Singapore’s harsh policy on drugs is not resulting in the arrest of the so-called ‘Kingpins’: “Are we only catching the small guys and not the big guys? It’s a non-question because, you know, the big guys don’t come into Singapore for good reasons”. In July 2022, eight United Nations Special Procedures experts observed that “A disproportionate number of minority persons were being sentenced to the mandatory death penalty in Singapore”. In sum, instead of disrupting drug cartels, as it often claims to be the objective, the Government of Singapore deliberately retains capital drug laws that, in practice, operate to punish low-level traffickers and couriers, who are typically recruited from marginalised groups with intersecting vulnerabilities.

In December 2022, 125 countries voted for a moratorium on the death penalty at the United Nations. In June 2022, Thailand removed marijuana and hemp (that is below 0.2% THC) from its narcotics list. In April 2023, Malaysia’s parliament voted to abolish the mandatory death penalty, a law that took effect in July 2023, including for drug trafficking. The Government of Singapore is out of step with the global trend by continuing with this cruel and abhorrent practice.

The notion of national sovereignty cannot be used to undermine or negate the State’s obligation to protect the right to life. We strongly urge the Government of Singapore to immediately halt these scheduled executions. Instead, Singapore should pursue effective measures to humanely address the complex problem of drug trafficking in the country, particularly in the absence of any evidence that the death penalty is a uniquely effective deterrent for those who commit drug offences.

We also call on the UN Office on Drugs and Crime to take concrete actions to urge States to dispel the misguided notion that capital punishment is allowed under the UN Drug Conventions.

We call on the international community, particularly States who have abolished the death penalty in law or practice, to help halt this inhumane, ineffective and discriminatory practice in Singapore. 

Signed:

Amnesty International

Anti-Death Penalty Asia Network, Malaysia

Capital Punishment Justice Project, Australia

Coalition Against the Death Penalty, Philippines

Eleos Justice, Faculty of Law, Monash University, Australia

Ensemble contre la peine de mort (ECPM), France

Harm Reduction International, United Kingdom

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia

Odhikar, Bangladesh

Transformative Justice Collective, Singapore

RILIS PERS – Amicus Curiae untuk Terdakwa Ferdy Sambo, Penjatuhan Pidana Mati Wajib Berefikasi pada Reformasi Polri

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendorong penghapusan hukuman mati di seluruh tindak pidana di sistem hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengirimkan Amicus Curiae pada 4 Juli 2023 untuk Pemeriksaan Tingkat Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 53/PID/2023/PT.DKI jo. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 796/PID.B/2022/PN.JKT.SEL a.n. Terdakwa Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H.

Melalui Amicus Curiae yang LBHM kirimkan, harapannya Hakim dapat membaca kemarahan publik dan mengejawantahkannya kepada keadilan yang mampu mendorong untuk melakukan reformasi Polri, dan juga sekaligus memberikan restitusi kepada korban atau keluarga korban, dan pihak-pihak lain yang turut serta, menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus ini.

Berikut catatan LBHM kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Tingkat Kasasi terhadap Terdakwa Ferdy Sambo:

  1. Mempertimbangkan tidak adanya kejadian atau kondisi spesifik yang memberatkan Terdakwa.
  2. Mempertimbangkan tidak adanya keberulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
  3. Menjatuhkan Terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup atau waktu tertentu.
  4. Membebankan Terdakwa biaya restitusi terhadap keluarga Korban dan terhadap pihak-pihak lain yang telah dirugikan oleh perbuatan Terdakwa.
  5. Memerintahkan untuk melakukan reformasi Institusi Polri yang terukur, sistematis, dan transparan untuk mencegah keberulangan.

Silakan membaca Amicus Curiae tersebut melalui pranala di bawah ini:

Link Download

[RILIS PERS] ABSENNYA ISU DISABILITAS: INDIKASI PEMBAHASAN RUU KESEHATAN YANG TIDAK TUNTAS

11 Juli 2023

Beberapa hari terakhir, telah beredar informasi bahwa pada hari Selasa, 11 Juli 2023, akan diadakan Rapat Paripurna DPR RI Ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu agenda Rapat tersebut adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan (RUU Kesehatan). Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, hingga organisasi disabilitas. 

Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei yang dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan:

  1. Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69% menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94% partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.
  2. Di sisi lain, akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69% responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan,tetapi hanya ada 30% yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan. Ditambah lagi, hingga rilis pers ini dibuat, draft final RUU Kesehatan masih simpang siur keberadaannya.
  3. Proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil. Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II. Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.
  4. Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas akan permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang menurut mereka perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas (73%), jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia (71%), ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas (71%), program jaminan kesehatan negeri/swasta (69%), sistem rujukan layanan kesehatan (58%), intervensi dan deteksi dini (54%), layanan edukasi kesehatan (50%), disabilitas psikososial (49%), obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas (47%), upaya kesehatan berbasis masyarakat (43%), disabilitas karena sindrom langka (39%), kesehatan reproduksi penyandang disabilitas (39%), layanan habilitasi (33%), kesehatan remaja (32%).
  5. Prioritas permasalahan-permasalahan kesehatan ini belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan. Menurut RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.
  6. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik. Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draft RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak draft RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.
  2. Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.
  3. Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.
  4. Meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.

Organisasi yang Mendukung dan Narahubung:

  1. FORMASI Disabilitas, 0852-5623-3366 (Nur Syarif Ramadhan)
  2. Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), 0877-7548-6146 (Hisyam Ikhtiar)
  3. Wahana Keluarga Cerebral Palsy, 0856-2851-903 (Reny Indrawati)
  4. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 0859-3967-6720 (Albert Wirya)
  5. Perkumpulan OHANA, 0812-2756-973 (Nuning Suryatiningsih) 0821-3729-3816 (Risnawati Utami)
  6. Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, 0815-5332-8120 (Sylvia Sumargi)
  7. Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), 0813-2941-2360 (Purwanti)
Skip to content