Tag: Narkotika

Perkembangan Pidana Mati dalam Proses Peradilan: Analisis Awal Berbasis Kasus Berdimensi Hukuman Mati Terbaru

Indonesia sudah menunjukan gejala perubahan ke arah abolisi hukuman mati dengan disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun Indonesia masih mempertahankan keberadaan hukuman mati secara de jure, namun perkembangan dalam KUHP yang mengubah karakter dari hukuman mati menjadi hukuman alternatif dengan masa percobaan 10 tahun patut diapresiasi sebagai langkah mendekati penghapusan hukuman mati.

Kabar pergerakan penghapusan hukuman mati pada peraturan perundang-undangan Indonesia ini sudah terdengar sejak satu dekade yang lalu dan semakin riuh terdengar realisasinya sejak sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tahun 2019 sampai dengan 2021.

Perkembangan KUHP dengan ketentuan pidana mati yang baru ini mendorong Reprieve dan LBH Masyarakat (LBHM) untuk melihat apakah Indonesia sudah siap atau sudah memulai proses penyesuaian diri dengan ketentuan hukum yang akan berlaku pada tahun 2026 dengan melihat pola penuntutan dan penjatuhan putusan pidana mati.

Berangkat dari perhatian tersebut, timbul pertanyaan dalam benak penulis: apakah Jaksa dan Hakim mengaplikasikan semangat yang tertuang dalam KUHP yang baru?

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

[OPINI] Mengungkap Situasi Kepadatan di Tangerang dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Pendahuluan

Keputusan untuk membatasi kebebasan seseorang sebagai respons terhadap perilaku kriminal memerlukan pertimbangan yang seksama, antara memprioritaskan keselamatan publik atau mengakui hak-hak dasar berkaitan dengan martabat pribadi yang melekat pada setiap manusia.1 Penjara dan lembaga pemasyarakatan di beberapa negara mengalami kekurangan dana, kekurangan staf, dan kepadatan yang ekstrem, seringkali menyebabkan situasi tidak manusiawi dan tidak layak bagi narapidana.2 Narapidana umumnya merupakan kelompok yang terpinggirkan dan suaranya diabaikan, berasal dari kelompok minoritas, berjuang melawan penyakit mental, atau berjuang melawan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.3 Mengingat kerentanan kelompok ini, sangat penting bagi kita untuk menganalisis lingkungan di dalam penjara dari perspektif hak asasi manusia.

Bisa dikatakan, tantangan paling utama yang dihadapi sistem penjara saat ini soal masalah kepadatan penjara, sebuah faktor penting yang menyebabkan kondisi penjara berada di bawah standar layak, yang terjadi di seluruh dunia dengan konsekuensi yang berpotensi mematikan para penghuninya.4 

Indonesia menghadapi tantangan berat dalam sistem pemasyarakatan nya, dengan menampung 276.000 narapidana dan tahanan di fasilitas yang awalnya hanya dirancang untuk maksimum 132.107 orang pada tahun 2022, akibatnya menghasilkan lingkungan keras dan terkadang mengancam jiwa.5 Pada tahun 2021, lingkungan mematikan ini menjadi kenyataan tragis ketika 49 narapidana kehilangan nyawa dalam insiden kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang.6 Artikel ini akan menganalisis kebakaran Lapas Tangerang dari perspektif hak asasi manusia, melihat potensi pelanggaran hak asasi manusia, dan membandingkan kondisi Lapas Tangerang dengan standar penjara internasional.

Latar Belakang

Pada 8 September 2021 pukul 01:45 WIB, api mulai menyala dan berkobar selama lebih dari satu jam.7 Kobaran api muncul ketika sebagian besar narapidana sedang tidur, dan dampak paling parah berada di Blok C. Hasil penyelidikan Kepolisian menetapkan terjadi kesalahan dalam pemasangan kabel listrik yang dirancang untuk merespons korsleting akibatnya memicu terjadinya kebakaran. Terlebih lagi, instalasi tersebut dilakukan oleh seorang narapidana yang tidak memiliki keahlian dalam hal kelistrikan.8 

Kobaran api yang cepat menyebabkan penjaga tidak mengetahui api sudah menyebar luas. Sehingga petugas tidak memiliki waktu untuk membuka seluruh kunci sel tahanan dan menyebabkan secara tragis beberapa narapidana seolah sedang terjebak di neraka.9 Penjara Tangerang, yang awalnya dirancang untuk kapasitas 600 narapidana, menampung lebih dari 2.000 orang.10 Khususnya, Blok C, lokasi kebakaran, diperuntukkan bagi 38 narapidana, tetapi menampung hingga 122 orang pada saat kejadian.11 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik kondisi overcrowded di Lapas Tangerang dan menyatakan bahwa kepadatan penghuni menyulitkan proses evakuasi yang cepat saat kebakaran itu terjadi.12

Pertentangan Antara Standar Hak Asasi Manusia terhadap Kepadatan Penjara

Tulisan ini akan membedah kasus kebakaran Lapas Tangerang melalui sudut pandang standar internasional tentang hak-hak tahanan, terutama berfokus pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Aturan Minimum Standar PBB untuk Perlakuan terhadap Tahanan, yang umumnya dikenal sebagai Aturan Nelson Mandela. Tulisan ini juga bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana standar internasional ditegakkan dan apakah kepadatan yang berlebihan itu berkontribusi nyata terhadap pelanggaran hak-hak narapidana.

Pasal 7 (ICCPR)

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.

Kepadatan tahanan seringkali menjadi akar masalah yang dihadapi penjara saat ini, mengarah pada kondisi yang cukup buruk untuk dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, sehingga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 ICCPR.13 Pada Blok C, Lapas Tangerang, saat insiden tersebut terjadi, terdapat 122 narapidana yang seharusnya hanya diisi oleh kapasitas 38 narapidana. Dengan kepadatan yang tinggi, turut berkontribusi pada manajemen krisis yang buruk dan meningkatkan risiko bahaya. Selain itu, jatuhnya korban jiwa merupakan konsekuensi logis dari kelalaian petugas penjara yang bertanggung jawab atas listrik dan ketidakmampuan manajemen untuk membuka kunci sel tepat waktu.14 Kondisi di Lapas Tangerang bisa dibilang sudah memenuhi kriteria sebagai tempat yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

ICCPR membedakan antara penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia berdasarkan definisi. Namun demikian, beberapa ahli berpendapat, definisi penyiksaan yang sengaja dibuat samar-samar memungkinkan negara untuk dengan mudah menghindari tanggung jawab. Terlepas dari perbedaan definisi, penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, memiliki kesamaan operasional dan dapat mengakibatkan dampak yang sebanding terhadap korban.15

Pasal 10 (ICCPR)

Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.

Kantor PBB untuk Narkotika dan Kejahatan (UNODC) merujuk pada sel yang penuh sesak sebagai kondisi yang merendahkan martabat manusia, yang akan melanggar Pasal 10 (1). Kondisi lainnya yang digambarkan termasuk kebersihan yang tidak memadai, kondisi yang tidak sehat, dan potensi penyebaran penyakit menular, terutama ketika pihak berwenang tidak mengambil tindakan yang wajar untuk mencegah wabah tersebut. Keadaan itu seringkali merupakan konsekuensi yang dapat diprediksi dari kepadatan yang berlebih.16 Oleh karena itu, kondisi kepadatan di Lapas Tangerang dapat diartikan sebagai pelanggaran Pasal 10.

Standar dan norma Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana memberikan panduan untuk reformasi yang mempertimbangkan variasi dalam tradisi, sistem, dan struktur hukum di berbagai negara. Standar dan norma-norma tersebut mewakili ” praktik terbaik” yang dapat disesuaikan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan nasional mereka.17

Berikut ini adalah instrumen hak asasi manusia PBB yang menjelaskan prinsip-prinsip bagaimana seseorang yang berada dalam penahanan atau pemenjaraan harus diperlakukan.18 Aturan Minimum Standar, atau yang lebih umum dikenal sebagai Aturan Nelson Mandela, sering dianggap oleh negara-negara sebagai referensi utama untuk penilaian standar dalam penahanan dan digunakan oleh mekanisme pengawasan dan inspeksi untuk mengevaluasi perlakuan terhadap tahanan.19

Aturan 1

” Semua tahanan harus diperlakukan dengan hormat karena martabat dan nilai yang melekat pada mereka dan nilai yang melekat pada diri mereka sebagai manusia. Tidak ada tahanan yang boleh menjadi sasaran, dan semua tahanan harus dilindungi dari, penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman, yang tidak dapat dibenarkan oleh keadaan apa pun sebagai pembenaran. Keselamatan dan keamanan para tahanan, staf, penyedia layanan dan pengunjung harus dipastikan setiap saat.”

Di luar risiko yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu melanggar martabat yang melekat pada tahanan atau membuat mereka mengalami perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat mereka, ada juga kekhawatiran lainnya, yaitu kepadatan yang berlebihan merupakan ancaman besar bagi keselamatan dan keamanan tahanan dan staf, yang akan berakibat pada pelanggaran aturan 1.20

Selain itu, Nelson Mandela Rules menjelaskan kebutuhan esensial bagi para tahanan, termasuk akomodasi, penerangan, ventilasi, pengatur suhu, pakaian, tempat tidur, makanan, air minum, kebersihan pribadi, akses ke ruang terbuka, latihan fisik, dan layanan kesehatan. Namun, dalam kasus-kasus kepadatan penghuni di penjara, beberapa atau semua kebutuhan ini mungkin tidak dapat dipenuhi.21

Kesimpulan

Kondisi Lapas Tangerang yang sangat padat selama kebakaran dapat diartikan sebagai pelanggaran Pasal 7 dan Pasal 10 ICCPR, yang melanggar hak asasi manusia para narapidana. Kepadatan yang berlebihan menjadi penyebab utama dari berbagai masalah yang dihadapi oleh penjara, sehingga menimbulkan risiko bagi kesehatan dan keselamatan narapidana serta staf penjara. Kondisi di Lapas Tangerang terbukti melanggar standar dan norma Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengindikasikan kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip yang digariskan dalam instrumen hak asasi manusia. Insiden tragis di Lapas Tangerang dapat menjadi contoh tentang pentingnya mengatasi kepadatan di penjara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia. [*]

Andreas Johansson

Berasal dari Gothenburg, Swedia. Saat ini sedang terdaftar di program Master Hak Asasi Manusia di Universitas Gothenburg, dan ia sangat tertarik untuk memajukan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Referensi:

  1. Farias, K, (2013), “Above capacity: relieving overcrowded prison systems in Latin America with international drug control reform,” Suffolk transnational law review, 36 (2), page 367. ↩︎
  2. Narag, R.E. and Lee, S, (2018), “Putting Out Fires: Understanding the Developmental Nature and Roles of Inmate Gangs in the Philippine Overcrowded Jails,” International journal of offender therapy and comparative criminology, 62 (11), page 3509–3535. ↩︎
  3. Joshua, I.A. et al., (2014), “Human Rights and Nigerian Prisoners, Are Prisoners Not Humans?,” Medicine and law, 33 (4), page 11–20. ↩︎
  4. Penal Reform International, Prison overcrowding, (2021). Available at: https://www.penalreform.org/issues/prison-conditions/key-facts/overcrowding/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  5. U.S. Embassy & Consulates in Indonesia, 2022 country reports on Human Rights Practices: Indonesia. Available at: https://id.usembassy.gov/our-relationship/official-reports/2022-country-reports-on-human-rights-practices-indonesia/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  6. BBC, Indonesia prison fire: Tangerang jail blaze kills 41 inmates, (2021), BBC News. Available at: https://www.bbc.com/news/world-asia-58483850 (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  7. Ibid ↩︎
  8. Muthiariny, D.E, (2021), Police: Fire in Tangerang prison caused by negligenceTempo. Available at: https://en.tempo.co/read/1511790/police-fire-in-tangerang-prison-caused-by-negligence (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  9. BBC, Indonesia prison fire: Tangerang jail blaze kills 41 inmates, (2021), BBC News. Available at: https://www.bbc.com/news/world-asia-58483850 (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  10. Supriyono & Ihsan, A. Y, (2022), Criminal Liability in Prison Fire Cases: A Case Study of Class I Tangerang Prison FireIJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 7 (1), page 101-116. ↩︎
  11. Strangio, S. (2021), “Indonesian fire shines grisly light on region’s prison overcrowding problem,” The Diplomat. Available at: https://thediplomat.com/2021/09/indonesian-fire-shines-grisly-light-on-regions-prison-overcrowding-problem/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  12. Santosa, B, (2021), “41 tangerang prison prisoners died during prison fire, ICJR: Overcrowding causes mitigation to be hampered during emergency“, VOI. Available at: https://voi.id/en/news/83184 (Accessed: 30 November 2023). ↩︎
  13. Human Rights Watch, Human rights abuses against prisoners. Available at: https://www.hrw.org/legacy/advocacy/prisons/abuses.htm (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  14. Supriyono & Ihsan, A. Y, (2022), Criminal Liability in Prison Fire Cases: A Case Study of Class I Tangerang Prison FireIJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 7 (1), 101-116. ↩︎
  15. Perez-Sales, Pau, (2016), Psychological torture: definition, evaluation and measurement. London: Routledge. ↩︎
  16. Human Rights Watch, Human rights abuses against prisoners. Available at: https://www.hrw.org/legacy/advocacy/prisons/abuses.htm (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  17. UNODC, Compendium of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice, (2016), United Nations Office on Drugs and Crime. ↩︎
  18. OHCHR, Body of principles for the protection of all persons under any form of. Available at: https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/body-principles-protection-all-persons-under-any-form-detention (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  19. Penal Reform International, UN Nelson Mandela rules, (2020). Available at: https://www.penalreform.org/issues/prison-conditions/standard-minimum-rules/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  20. UNODC, (2013), Handbook on strategies to reduce overcrowding in prisons, Vienna: English, Publishing and Library Section, United Nations Office at Vienna. ↩︎
  21. Barzano, Piera, (2018), “Humanitarian consequences of overcrowding and legal responses in times of armed conflict”, International Institute of Humanitarian Law. Available at: https://iihl.org/wp-content/uploads/2018/10/BARZAN%C3%92-REV-1.pdf. (Accessed: 17 November 2023). ↩︎

[OPINION] Unpacking the Tangerang Overcrowding Situation from a Human Rights Perspective

Introduction

The decision to limit an individual\’s freedom as a response to criminal behavior necessitates a careful balance between prioritizing public safety and recognising the fundamental rights associated with personal dignity inherent in every human being.1 Prisons and correctional facilities in some countries are characterized by underfunding, understaffing and extreme overcrowding, which often lead to inhuman and deficient living arrangements.2 Prisoners are usually a voiceless and forgotten group on the margins of society, often coming from minority groups, struggling with mental illness, or contending with substance abuse.3 Considering the vulnerability of this group, it is crucial to analyze the environment inside prisons from a human rights perspective.

Arguably, the most prominent challenge confronting prison systems today is the issue of overcrowding, a significant factor leading to substandard prison conditions worldwide with potentially deadly consequences.4 Indonesia is facing an onerous challenge within its penal system, housing 276,000 prisoners and detainees in facilities originally designed for a maximum of 132,107 as of 2022, resulting in a harsh and sometimes life-threatening environment.5 In the previous year, 2021, this deadly environment materialized into a tragic reality when 49 prisoners lost their lives in a fire at the overcrowded Tangerang Prison, located not far away from the capital.6 This article will analyze the Tangerang Prison fire from a human rights perspective, addressing potential human rights violations and comparing the Tangerang prison’s conditions to international prison standards.

Background

At 01:45, September 8, 2021, the fire started and raged for just over an hour. The blaze erupted while most inmates were sleeping and affected Block C the worst.7 A police investigation determined it was the faulty installation of an electric cable which was designed to respond to short circuits, which it subsequently failed to do, that precipitated the outbreak of the fire. Moreover, the installation was made by an inmate lacking expertise in electrical matters.8 The rapid escalation of the fire meant that by the time the guards were alerted to the situation, it had already spread extensively. This resulted in insufficient time to unlock all cells, tragically leaving some inmates trapped in the inferno.9 Tangerang Prison, initially designed for a capacity of 600 inmates, accommodated over 2,000 individuals.10 Notably, Block C, the site of the fire, was intended for 38 inmates but held 122 people at the time of the incident.11 The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) was critical of the overcrowded conditions at Tangerang Prison and claimed that overcrowding complicates the quick evacuation process during fire emergencies.12

Human Rights Standards Contradicting Prison Overcrowding

This section will dissect the case through the lens of international standards on prisoners’ rights, primarily focusing on the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the United Nations Standards Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, commonly known as the Nelson Mandela Rules. This analysis aims to evaluate the extent to which international standards were upheld and whether overcrowding contributed significantly to violations of prisoners’ rights.

Article 7 (ICCPR)

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.”

Overcrowding is often at the root of many problems prisons face today, leading to conditions that are deficient enough to constitute cruel, inhuman or degrading treatment, making it a violation of Article 7 of the ICCPR.13 The 122 inmates that were residing in Block C which was designed for 38 inmates could have, due to the extreme overcrowding, contributed to decrepit crisis management and intensified the risk of harm. Furthermore, the loss of life was a direct consequence of negligence from prison officers in charge of electricity and the management’s inability to unlock the cells in time.14 The conditions in Tangerang Prison arguably meet the criteria for being deemed cruel, inhuman or degrading.

ICCPR distinguishes between torture and cruel, inhuman, or degrading treatment by definition. Nevertheless, some scholars contend that the intentionally vague definition of torture allows states to conveniently evade responsibility. Despite the definitional distinction, torture and cruel, inhuman, or degrading treatment share operational similarities and can result in comparable effects on the victim.15

Article 10 (ICCPR)

“All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.”

The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) references overcrowded cells as conditions amounting to degrading treatment which would violate Article 10 (1). Additional conditions outlined include inadequate hygiene, unsanitary conditions, and the potential for infectious diseases to spread, especially when authorities have not taken reasonable measures to prevent such outbreaks. These circumstances are often predictable consequences of overcrowding.16 Consequently, the overcrowded conditions in Tangerang Prison might be interpreted as violating Article 10.

The United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice provide guidance for reform that takes into consideration the variations in legal traditions, systems and structures across different countries. The standards and norms represent “best practices” that can be tailored by states to meet their national needs.17 The following are UN human rights instruments detailing the principles under which an individual under detention or imprisonment should be treated.18 The Standard Minimum Rules, or more commonly the Nelson Mandela Rules, are frequently considered by states as the principal reference for standards in detention and are employed by monitoring and inspection mechanisms to evaluate the treatment of prisoners.19 

Rule 1

 “All prisoners shall be treated with the respect due to their inherent dignity and value as human beings. No prisoner shall be subjected to, and all prisoners shall be protected from, torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, for which no circumstances whatsoever may be invoked as a justification. The safety and security of prisoners, staff, service providers and visitors shall be ensured at all times.”

Beyond the previously mentioned risk of violating the inherent dignity of the prisoner or subjecting them to cruel, inhuman, or degrading treatment—a potential consequence of overcrowding—there is an additional concern. Overcrowding poses a major threat to the safety and security of both prisoners and staff, which would result in violating rule 1.20

Furthermore, the Nelson Mandela Rules outline essential necessities for prisoners, including accommodation, lighting, ventilation, temperature control, clothing, bedding, food, drinking water, personal hygiene, access to outdoor spaces, physical exercise, and healthcare services. However, in instances of overcrowding, some or all of these necessities may not be upheld.21

Conclusion

The extremely overcrowded conditions at Tangerang Prison during the fire outbreak can be interpreted as a violation of both Article 7 and Article 10 of the ICCPR, violating the human rights of the inmates. Overcrowding is revealed as the underlying cause of numerous challenges encountered by prisons, posing risks not just to the health and safety of inmates, but also to the prison staff. The conditions in Tangerang Prison are demonstrated to transgress the United Nations standards and norms, indicating a failure to adhere to the principles outlined in human rights instruments and “best practices”. Negligence directly triggered the fire; nevertheless, the role of overcrowding in potentially hindering crisis management cannot be overlooked. In conclusion, the tragic incident at Tangerang Prison serves as an example that emphasizes the critical need to address prison overcrowding, not only in Indonesia but also globally, to prevent further human rights violations. [*]

Andreas Johansson

From Gothenburg, Sweden. Currently enrolled in the Master of Human Rights program at the University of Gothenburg, and Andreas is passionate about advancing human rights and social justice.

Reference:

  1. Farias, K, (2013), “Above capacity: relieving overcrowded prison systems in Latin America with international drug control reform,” Suffolk transnational law review, 36 (2), page 367. ↩︎
  2. Narag, R.E. and Lee, S, (2018), “Putting Out Fires: Understanding the Developmental Nature and Roles of Inmate Gangs in the Philippine Overcrowded Jails,” International journal of offender therapy and comparative criminology, 62 (11), page 3509–3535. ↩︎
  3. Joshua, I.A. et al., (2014), “Human Rights and Nigerian Prisoners, Are Prisoners Not Humans?,” Medicine and law, 33 (4), page 11–20. ↩︎
  4. Penal Reform International, Prison overcrowding, (2021). Available at: https://www.penalreform.org/issues/prison-conditions/key-facts/overcrowding/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  5. U.S. Embassy & Consulates in Indonesia, 2022 country reports on Human Rights Practices: Indonesia. Available at: https://id.usembassy.gov/our-relationship/official-reports/2022-country-reports-on-human-rights-practices-indonesia/ (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  6. BBC, Indonesia prison fire: Tangerang jail blaze kills 41 inmates, (2021), BBC News. Available at: https://www.bbc.com/news/world-asia-58483850 (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  7. Ibid ↩︎
  8. Muthiariny, D.E, (2021), Police: Fire in Tangerang prison caused by negligence, Tempo. Available at: https://en.tempo.co/read/1511790/police-fire-in-tangerang-prison-caused-by-negligence (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  9. BBC, Indonesia prison fire: Tangerang jail blaze kills 41 inmates, (2021), BBC News. Available at: https://www.bbc.com/news/world-asia-58483850 (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  10. Supriyono & Ihsan, A. Y, (2022), Criminal Liability in Prison Fire Cases: A Case Study of Class I Tangerang Prison FireIJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 7 (1), page 101-116. ↩︎
  11. Strangio, S. (2021), “Indonesian fire shines grisly light on region’s prison overcrowding problem,” The Diplomat. Available at: https://thediplomat.com/2021/09/indonesian-fire-shines-grisly-light-on-regions-prison-overcrowding-problem/ (Accessed: 17 November 2023).  ↩︎
  12. Santosa, B, (2021), “41 tangerang prison prisoners died during prison fire, ICJR: Overcrowding causes mitigation to be hampered during emergency“, VOI. Available at: https://voi.id/en/news/83184 (Accessed: 30 November 2023).  ↩︎
  13. Human Rights Watch, Human rights abuses against prisoners. Available at: https://www.hrw.org/legacy/advocacy/prisons/abuses.htm (Accessed: 17 November 2023).  ↩︎
  14. Supriyono & Ihsan, A. Y, (2022), Criminal Liability in Prison Fire Cases: A Case Study of Class I Tangerang Prison FireIJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies), 7 (1), 101-116  ↩︎
  15. Perez-Sales, Pau, (2016), Psychological torture: definition, evaluation and measurement. London: Routledge. ↩︎
  16. Human Rights Watch, Human rights abuses against prisoners. Available at: https://www.hrw.org/legacy/advocacy/prisons/abuses.htm (Accessed: 17 November 2023).  ↩︎
  17. UNODC, Compendium of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice, (2016), United Nations Office on Drugs and Crime. ↩︎
  18. OHCHR, Body of principles for the protection of all persons under any form of. Available at: https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/body-principles-protection-all-persons-under-any-form-detention (Accessed: 17 November 2023). ↩︎
  19. Penal Reform International, UN Nelson Mandela rules, (2020). Available at: https://www.penalreform.org/issues/prison-conditions/standard-minimum-rules/ (Accessed: 17 November 2023).  ↩︎
  20. UNODC, (2013), Handbook on strategies to reduce overcrowding in prisons, Vienna: English, Publishing and Library Section, United Nations Office at Vienna. ↩︎
  21. Barzano, Piera, (2018), “Humanitarian consequences of overcrowding and legal responses in times of armed conflict”, International Institute of Humanitarian Law. Available at:  https://iihl.org/wp-content/uploads/2018/10/BARZAN%C3%92-REV-1.pdf. (Accessed: 17 November 2023).  ↩︎

[OPINI] Di Balik Jeruji Besi: Sekilas tentang Kehidupan Penjara di Indonesia

Saya pernah terhibur dengan cerita tentang kehidupan di dalam sistem penjara di Indonesia. Kisah-kisah tentang sel yang penuh sesak, di mana hanya orang-orang yang memiliki cukup uang bisa mengakses fasilitas layak seperti tempat tidur. Kisah itu bagaikan sarana untuk menanamkan disiplin di benak anak-anak; memperingatkan mereka tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kehidupan kriminal. Jika ada, itu adalah cerita yang harus saya lihat dengan mata kepala sendiri.

Akhirnya, pada tanggal 26 Oktober 2023 lalu, saya mendapatkan akses ke tempat itu.

Sebagai orang asing berambut pirang, saya mempersiapkan diri untuk menghadapi teriakan-teriakan yang biasanya diteriakkan oleh anak-anak sekolah Indonesia ketika saya bertemu dengan mereka. Namun, kali ini bukan anak sekolah, melainkan narapidana yang dipenjara. 

Setelah melewati pemeriksaan keamanan standar, saya tiba dengan sedikit gugup karena mendapati apa yang tampak di depan saya seperti kelas sekolah yang duduk di lantai dengan rompi oranye yang dengan sabar menunggu kami. Yang membuat saya lega, mereka jelas lebih tertarik dengan proses hukum yang akan mereka jalani daripada seorang bule yang tidak menarik seperti saya.

Sebelum berkunjung, saya telah menantikan kesempatan untuk melihat sekilas kehidupan penjara di Indonesia, untuk menyelidiki kisah di balik bangunan penjara yang mengintimidasi dan menjadi saksi dunia paralel di dalamnya. Di sana, para narapidana menemukan diri mereka, secara harfiah, berada di balik jeruji besi, dikelilingi oleh menara pengawas yang mencekam dan tampilan suram kawat berduri. Membayangkan mereka terkurung di dalam tembok-tembok itu membuat saya merinding, dan hati saya terenyuh melihat mereka mengalami nasib seperti itu.

Sebagai seorang mahasiswa yang mengambil studi hak asasi manusia, saya berusaha sebaik mungkin untuk melihat kehidupan penjara di Indonesia melalui sudut pandang keilmuan saya itu. Karena hak asasi manusia dan dunia di balik tembok penjara sering kali berlawanan. 

Kepadatan narapidana di penjara yang berlebihan ini, menjadi bukti betapa mengerikannya pengabaian hak asasi manusia. Jauh melebihi kapasitas yang seharusnya, lembaga-lembaga ini tak berbeda seperti bom waktu yang terus berdetak.1 Kebakaran yang melanda Lapas di Tangerang, di mana 49 tahanan terbakar hidup-hidup, hanyalah salah satu dari sekian banyaknya contoh yang meresahkan, yang menunjukkan bukti kegagalan sistemik dalam mengatur aparatur penegak hukum beserta hukum pidananya.2

Setelah menjadi perwakilan dari serikat pekerja dalam sistem pidana Swedia selama empat tahun, mata saya cukup terlatih untuk melihat kekurangan keselamatan di tempat kerja. Mungkin kekurangan keamanan yang paling menonjol di penjara Indonesia adalah perbedaan yang signifikan, antara jumlah staf dan jumlah narapidana yang cukup besar. Ini adalah persamaan yang mengganggu, di mana risiko narapidana mengalahkan atau menyebabkan kerusakan pada staf penjara yang kalah jumlah. Lebih dari 100 narapidana yang nekat melarikan diri setelah kerusuhan penjara di Aceh dapat menjadi pengingat tentang bahaya yang ditimbulkan akibat kepadatan narapidana.3

Akibat undang-undang narkotika yang mengedepankan penghukuman, itu membuat penjara-penjara di Indonesia dipenuhi para pelanggar narkotika.4 Saya bertanya-tanya, apakah para pembuat undang-undang percaya bahwa tindakan keras seperti itu benar-benar memberikan hasil yang diinginkan, ketika sudah jelas bahwa berbagai penjara tersebut berada dalam kondisi yang memprihatinkan? Mungkinkah pendekatan alternatif, yang berakar pada rehabilitasi dan reintegrasi, tidak dapat menjadi solusi yang lebih meyakinkan untuk tantangan ini, baik secara ekonomi maupun moral?

Ini adalah pertanyaan yang cukup menggelisahkan dan membutuhkan jawaban dalam aspek kekuasaan politik Indonesia. Sayangnya, kepercayaan saya terhadap lembaga politik Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini sangat kecil, lantaran melihat betapa tidak terpengaruhnya mereka terhadap masalah ini. Reformasi narkotika nampaknya merupakan langkah yang sangat penting untuk meringankan masalah kepadatan yang tidak hanya melanda penjara-penjara di Indonesia, tetapi juga penjara-penjara di seluruh dunia.

Dalam pengamatan saya sendiri terhadap perjuangan penting ini, yang dalam banyak hal dipimpin oleh masyarakat sipil Indonesia, saya benar-benar terkesan dengan orang-orang yang memerangi masalah ini. Perjuangan ini, meskipun ditandai dengan kesenjangan dan tantangan yang menakutkan, tampaknya sangat penting untuk melindungi hak asasi manusia para narapidana. Jangan sampai kita lupa, di balik tembok penjara, tidur di lantai, mereka tetaplah manusia yang berhak mendapatkan hak-haknya. [*]

Andreas Johansson

Berasal dari Gothenburg, Swedia. Saat ini sedang terdaftar di program Master Hak Asasi Manusia di Universitas Gothenburg, dan ia sangat tertarik untuk memajukan hak asasi manusia dan keadilan sosial.

Catatan Kaki:

  1. Novian, R. et al., (2018), Strategies to Reduce Overcrowding in Indonesia: Causes, Impacts, and Solutions, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) [Preprint]. doi:https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/03/Strategies-to-Reduce-Overcrowding-in-Indonesia.pdf. ↩︎
  2. Llewellyn, A., (2021), Why are Indonesian prisons so dangerous?, Al Jazeera. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2021/10/30/why-are-indonesian-prisons-so-dangerous (Accessed: 27 November 2023). ↩︎
  3. Ibid ↩︎
  4. Ibid ↩︎

[OPINION] Behind Bars: A Glimpse Into Indonesian Prison Life

I had been amused by tales of life within the Indonesian prison system before. The stories of overcrowded cells where only the people with enough money can buy themselves access to the beds appear almost as cautionary stories, designed to instil discipline in the minds of children, warning them of the dangers criminal life can bring. If anything, it was a story I needed to see with my own eyes.

At last, on the 26th of October, I gained access inside. 

As a blonde foreigner, I braced myself for the chanters of the kind most Indonesian school boys would holler when I encountered them. However, this time, it was not school boys, but rather imprisoned felons. After the standard security clearance, I arrived with a degree of nervousness to find what looked like a sedentary school class sitting on the floor with orange vests patiently waiting for us. To my relief, they were, obviously, much more interested in their upcoming legal process than an uninteresting bule like myself.

Before my visit, I had looked forward to the opportunity to get a glimpse into Indonesian prison life, to delve beneath the façade of the intimidating prison building that bears witness to a parallel world within. Here the inmates find themselves, quite literally, behind bars, surrounded by foreboding watchtowers and the grim visage of barbed wire. The thought of confinement within those walls sends a shiver down my spine, and my heart goes out to those who endure such a fate.

Being a human rights student, I did my best to evaluate Indonesian prison life through the lens of a human rights perspective, for human rights and the world behind prison walls are regrettably frequent adversaries. Indeed, the governing body for prisons in Indonesia is, appropriately, the Ministry Of Law and Human Rights.

My assessment, I must admit, has left me with a sombre impression.

Expectedly, it is the overcrowding of prisons that stands as a harrowing testament to the abject neglect of human rights. Swollen far beyond their intended capacity, these institutions are nothing short of ticking time bombs.1 The fire that consumed Tangerang Prison, where 49 prisoners were burned alive, is only one of many recent disturbing examples of evidence of systemic failures within the Indonesian state apparatus, and its criminal code.2

Having been a trade union representative in the Swedish criminal system for four years, my eyes are trained to spot safety deficiencies in the workplace. Perhaps the most glaring safety deficiencies in Indonesian prisons is the stark disparity between the number of staff and the sizable inmate population. It is a disturbing equation, where the risk of inmates overpowering or causing harm to the outnumbered prison staff looms ominously overhead. The more than 100 prisoners who made their daring escape after a prison riot in Aceh is a reminder of the perils posed by overcrowding.3

Ensnared within its punitive drug legislation, Indonesia finds its prisons overflowing with non-violent drug offenders.4 I do wonder if the lawmakers believe such severe measures truly yield the desired results when it is obvious that the prisons are in a disastrous state. Could a more enlightened approach, rooted in rehabilitation and reintegration, not stand as a more convincing solution to this challenge, both economically and morally?

These are the rather unsettling quandaries that beg for answers in the shadowed corridors of Indonesian political power. Alas, my confidence in the Indonesian political establishment to solve this issue is meagre, seeing how unaffected by it they are. It seems that drug reform stands as an essential remedy to relieve the chronic overcrowding plaguing not only Indonesian prisons, but prisons all over the world. In my own observations on this vital struggle, in many ways led by Indonesian civil society, I am genuinely impressed by the people who combat this issue. This struggle, though marked by its disparities and daunting challenges, appears essential for the safeguarding of prisoners\’ human rights. Lest we forget, within those prison walls, sleeping on the floor, they remain humans deserving of their rights. [*]

Andreas Johansson

From Gothenburg, Sweden. Currently enrolled in the Master of Human Rights program at the University of Gothenburg, and Andreas is passionate about advancing human rights and social justice.

Footnote:

  1. Novian, R. et al., (2018), Strategies to Reduce Overcrowding in Indonesia: Causes, Impacts, and Solutions, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) [Preprint]. doi:https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/03/Strategies-to-Reduce-Overcrowding-in-Indonesia.pdf. ↩︎
  2. Llewellyn, A., (2021), Why are Indonesian prisons so dangerous?, Al Jazeera. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2021/10/30/why-are-indonesian-prisons-so-dangerous (Accessed: 27 November 2023). ↩︎
  3. Ibid ↩︎
  4. Ibid ↩︎

Surat Desakan untuk Memastikan Pengambilan Kesaksian Mary Jane Veloso sebagai Saksi Korban Perdagangan Orang dengan Berbasis Hak Asasi Manusia dan Prinsip Non Punishment

Kepada, Yth

Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

Jaksa Agung Republik Indonesia

Dengan hormat,

Kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil dan individu yang meyakini bahwa hukuman mati tidak akan membawa keadilan dan mengadvokasi penghapusan hukuman mati di Indonesia dan di seluruh dunia, mengawal dan memantau perkembangan kasus Mary Jane Veloso, perempuan terpidana mati yang merupakan korban perekrutan ilegal dan perdagangan orang di negara asalnya Filipina. Terkait dengan perkembangan terbaru proses hukum kasus perdagangan orang di mana kesaksian Mary Jane Veloso dibutuhkan di pengadilan Filipina. JATI menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. JATI mengapresiasi rencana pengambilan kesaksian tertulis Mary Jane Veloso sebagai saksi korban perdagangan orang yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Filipina melalui mekanisme Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA). Kesaksian Mary Jane Veloso yang sudah dinanti sejak 2019, selepas Putusan Mahkamah Agung Filipina bernomor G.R No 240053 tertanggal 19 Oktober 2019 mengizinkan Mary Jane Veloso untuk memberikan kesaksiannya sebagai korban tindak pidana perdagangan manusia atas tindakan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao, yang diperkuat putusan tanggal 4 Maret 2020 yang menolak semua keberatan Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas putusan sebelumnya. Kesaksian Mary Jane Veloso merupakan langkah penting untuk menegaskan bukti bahwa dia merupakan korban dari tindak pidana perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi sebagai kurir narkotika;
  2. Bahwa pada Pengadilan Regional Nueva Ecija Filipina telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup serta denda sebesar 2 juta Peso kepada Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao atas tindakan perekrutan illegal tenaga kerja berskala besar berdasarkan putusan perkara No SD (15) – 3666 tertanggal 14 Januari 2020. Maria Christina P. Sergio dan Julius Lacanilao terbukti tidak memiliki lisensi resmi sebagai perekrut tenaga kerja untuk ditempatkan ke luar negeri. Mereka merupakan pelaku yang juga merekrut dan mengajak Mary Jane Veloso ke Malaysia dengan janji mendapat pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga;
  3. Bahwa sejumlah pendapat hukum dan HAM, eksaminasi hukum, dan pendapat pakar, sudah menyebutkan dugaan kuat bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban perdagangan orang yang direkrut dan dieksploitasi untuk menjadi kurir narkotika;
  4. Bahwa berdasarkan eksaminasi dan kajian tersebut di atas, dalam proses hukum di Indonesia, Mary Jane Veloso mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) seperti tidak disediakannya juru bahasa yang mumpuni pada saat pemeriksaan dan persidangan, bantuan hukum yang tidak maksimal, tidak alat bukti yang menguatkan Mary Jane Veloso sebagai perantara bisnis narkotika, serta pembebanan pembuktian oleh terdakwa yang semestinya merupakan kewajiban penuntut umum;
  5. Bahwa pada 29 April 2015 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memutuskan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso dengan pertimbangan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan proses hukum yang sedang berlangsung di Filipina, di mana Mary Jane Veloso dibutuhkan keterangannya sebagai saksi dan/atau korban untuk mendapatkan keadilan;
  6. Bahwa keputusan Presiden tersebut merupakan langkah penting yang harus dituntaskan untuk menunjukan komitmen negara dalam mencegah dan melakukan tindakan tegas atas kejahatan perdagangan manusia yang menimpa para pekerja migran;
  7. Bahwa Indonesia dan Filipina telah meratifikasi Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia khususnya pada terhadap Perempuan dan Anak atau Protokol Palermo, yang merupakan Suplemen Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir. Di Indonesia Protokol tersebut diratifikasi melalui Undang-Undang 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Berdasarkan uraian di atas, maka JATI mendesak Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia:

  1. Bahwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) mendefinisikan TPPO dengan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Dari definisi tersebut, JATI menegaskan berbagai pendapat ahli dan lembaga HAM nasional bahwa Mary Jane Veloso merupakan korban TPPO;
  2. Bahwa hak-hak Mary Jane Veloso sebagai saksi korban kasus perdagangan orang sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang dan perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, harus dipastikan dipenuhi dan dihormati. Hak tersebut antara lain mendapat pendampingan hukum, mendapatkan informasi mengenai kasus di mana dia diambil keterangannya, mendapat perlindungan, repatriasi, dan pemulihan. Peristiwa pelanggaran fair trial dalam proses hukum sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran agar tidak terulang kembali;
  3. Bahwa dalam kasus perdagangan orang dikenal prinsip non-hukuman (non-punishment principle) yang menetapkan bahwa korban perdagangan tidak boleh dituntut atau dihukum atas tindakan melawan hukum yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan orang. Prinsip ini bukan berarti memberikan kekebalan hukum bagi Mary Jane Veloso, tapi alat untuk memberikan perlindungan terhadap Mary Jane Veloso, sebagai korban TPPO dan jaminan penyelesaian  proses peradilan pidana berbasis HAM yang saat ini sedang berjalan di Filipina. Prinsip non-hukuman juga diamanatkan dalam Pasal 18 UU TPPO bahwa korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana. Serta penegasan Pasal 26 UU TPPO bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang;
  4. Bahwa sebagai warga negara asing yang merupakan korban TPPO, Mary Jane Veloso berhak untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU TPPO, yakni dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia;
  5. Bahwa dari uraian di atas, komitmen Presiden Joko Widodo untuk  memberikan akses keadilan bagi Mary Jane Veloso sudah semestinya dituntaskan dengan membebaskannya dari hukuman melalui grasi kepada Mary Jane Veloso;
  6. Bahwa kasus yang dialami oleh Mary Jane Veloso sebenarnya banyak dialami oleh pekerja migran Indonesia di luar negeri, tapi dalam perkembangan proses hukumnya kasus Mary Jane Veloso belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented case). Terobosan hukum untuk penerapan prinsip non-penghukuman akan menjadi preseden baik dalam perlindungan korban TPPO tidak hanya di Indonesia dan Filipina, tetapi juga di tingkat regional dan global;
  7. Bahwa JATI percaya pidana mati terhadap Mary Jane Veloso tidak akan membawa keadilan bagi siapa pun, sebaliknya justru bertentangan dengan keadilan karena merenggut kehidupan perempuan miskin seperti Mary Jane Veloso. Maka, proses pengambilan kesaksian ini bukan sebagai titik akhir untuk melegitimasi eksekusi mati terhadap Mary Jane Veloso tapi justru babak baru dalam menempuh proses upaya hukum dengan tujuan untuk membebaskan Mary Jane Veloso dari pidana mati. Sehingga JATI mendesak Pemerintah Indonesia menuntaskan kasus Mary Jane Veloso di Indonesia melalui saluran keadilan hukum yang tersedia sebagai komitmen Pemerintah Indonesia melawan TPPO;
  8. Bahwa JATI sebagai representasi dari masyarakat sipil akan terus mengawal proses hukum kasus Mary Jane Veloso baik di Indonesia dan Filipina, serta terus menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menjalankan proses secara transparan dan akuntabel dengan berpegang pada prinsip HAM dan keadilan gender.

Demikian surat desakan ini kami buat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)

Lembaga:

  1. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)
  2. Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI)
  3. JPIC Divina Providentia Kupang
  4. Persatuan Gereja Indonesia (PGI)
  5. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  6. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
  7. Komunitas Sant’Egidio Indonesia
  8. Solidaritas Perempuan
  9. Zero Human Trafficking Network (ZHTN)
  10. Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat (SAFETY)
  11. F-SEDAR
  12. Migrant CARE
  13. Solidaritas Perempuan Lampung
  14. Reprieve
  15. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
  16. Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)
  17. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
  18. Yayasan Istri Binangkit
  19. KKPPMP Keuskupan Pangkalpinang
  20. PADMA INDONESIA
  21. SOLID PAPUA
  22. GANAS COMMUNITY (Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas) Taiwan
  23. YAYASAN MENTARI (US)
  24. Konsul Penyintas Indonesia
  25. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
  26. Amnesty International Indonesia
  27. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC- KJHAM)
  28. Yayasan Mutiara Maharani (YMM)
  29. KDS EMC2 Cengkareng
  30. Dark BALI
  31. Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
  32. Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI)
  33. WOMXN\’S VOICE
  34. Fighting For Feminism (TRIPLE-F)
  35. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  36. Institut Sarinah
  37. Kidung – Subang
  38. Asosiasi Purna Pekerja Migran Indonesia (APPMI)
  39. F-BUMINU SARBUMUSI
  40. Rumpun Perempuan dan Anak Riau (RUPARI)
  41. Persatuan Perempuan Residivis Indonesia
  42. Perempuan Mahardhika
  43. Persatuan Mahasiswa Universitas Terbuka Hong Kong (PERMA UTHK)
  44. Perkumpulan Peduli Kebijakan Napza (PPKN)
  45. Bhatida Indonesia
  46. Perkumpulan Sopir Trailer Tanjung Priok (PSTTP)
  47. Komunitas HANAF
  48. Driver Karisidenan Madiun (DKM)
  49. Barisan Relawan Jalan Perubahan Hong Kong (BARAJP BPLN HK)
  50. Unbound Now Indonesia
  51. JALA PRT
  52. TalithaKum Indonesia Jaringan Jakarta
  53. HRWG
  54. BEBESEA
  55. Forum Peduli Anak Bangsa
  56. Jaringan Buruh Migran (JBM)
  57. Forum Islam Progresif
  58. IPPMI (Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia)
  59. CAKSANA Institute – law and public policy Reform, JOGJA
  60. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
  61. Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Bandung
  62. Yayasan Sakura Indonesia
  63. O.U.R. Indonesia
  64. KAPAL Perempuan
  65. Perkumpulan Suara Kita
  66. FORMASI Disabilitas
  67. SIGAB Indonesia
  68. JRS Indonesia
  69. PERTIMIG Malaysia
  70. Indonesian Migrant Workers Union – Hong Kong & Macau
  71. Assosiasi Buruh Migran Indonesia Hong Kong (ATKI-HK)
  72. Persatuan BMI Tolak Overchargin – PILAR Hong Kong
  73. Liga Pekerja Migran Indonesia – LIPMI Hong Kong
  74. Jaringan Buruh Migran Indonesia – JBMI Hong Kong, Macau, Taiwan
  75. Gabungan Migran Muslim Indonesia – GAMMI Hong Kong
  76. IMPARSIAL
  77. Asosiasi LBH APIK Indonesia
  78. LBH JAKARTA
  79. Migran Pos
  80. Yayasan Embun Pelangi
  81. KJHAM

Individu:

  1. Sr Laurentina SDP
  2. Pdt. Krise Gosal
  3. Anwar Ma\’arif (Bobi)
  4. Yuni Asriyanti
  5. Pdt. Henrek Lokra
  6. Robert B. Triyana
  7. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus
  8. Anastasia Kiki
  9. Gabriel Goa
  10. Shandra Woworuntu (US)
  11. Thaufiek Zulbahary
  12. Puspa Yunita
  13. Herdayanti
  14. Samsudin Nurseha
  15. Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo
  16. Nurkholis
  17. Darda Syahrizal
  18. Ermelina Singereta (Advokat di Dike Nomia Law Firm)
  19. Lusya Loko Dai
  20. Vivi Octavia
  21. Cythia Puspitasari
  22. Tohase
  23. Dewi Tjakrawinata
  24. Eva K Sundari
  25. Panca Saktiyani
  26. Mamik Sri Supatmi
  27. Paryanto
  28. Ali Nurdin
  29. Wahyu Nara Saputro
  30. Novia Arluma
  31. Nofia Erizka Lubis, S.H.
  32. Dina Nuriyati
  33. Maizidah Salas
  34. Th. Triza Yusino
  35. Maria Selastiningsih
  36. Yuliana M. Benu
  37. Ririn Sefsani
  38. Nunuk Margiati
  39. Juple
  40. Pudji Tursana
  41. Shantoy Hades
  42. Damairia Pakpahan
  43. Daniel Awigra
  44. Dade Gunadi Firdaus
  45. Olin Monteiro
  46. Savitri Wisnuwardhani
  47. Agung Kurniawan
  48. Wasingatu Zakiyah
  49. Budhis Utami
  50. Isti Komah
  51. Valentina Utari
  52. Rully Winata
  53. Christian Pascha
  54. Valentina Sri Wijiyanti
  55. Retnowati Iskandar
  56. Naomi Srikandi
  57. Siti Alviyah
  58. Khotimun Sutanti
  59. Bariyah

[SIARAN PERS] PTUN Jakarta Mengabulkan Eksepsi Jaksa Agung: Hak atas Bebas dari Penyiksaan bagi Merri Utami Dipertanyakan

Pada tanggal 7 Desember 2023, melalui e-court, instrumen Pengadilan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memeriksa dan mengadili perkara nomor: 256/G/TF/2023/PTUN.JKT tidak menerima gugatan Merri Utami atas Tindakan Administrasi Pemerintah/Tindakan Faktual yang tidak melakukan tindakan hukum (omission) yang dilakukan oleh (1) Presiden Republik Indonesia, (2) Jaksa Agung Republik Indonesia, dan (3) Menteri Hukum dan HAM Indonesia. Adapun dasar gugatan ini adalah karena Merri Utami merasa para Tergugat tidak melakukan tindakan hukum atas penderitaan psikologis dan mental yang dialami Merri Utami terkait pemenjaraannya selama lebih dari 22 tahun.

Selama persidangan, Saksi yang memeriksa kondisi psikologi Merri Utami menyatakan bahwa Merri Utami mengalami penderitaan psikologis dan mental terkait pemenjaraannya yang tak kunjung usai meski telah melewati 22 tahun. Tak hanya itu, posisi Merri Utami yang pernah masuk ke dalam daftar terpidana yang akan menjalani eksekusi mati di tahun 2016, nyatanya juga berkontribusi terhadap kesehatan jiwanya. Terlepas pada tanggal 27 Februari 2023, Presiden Republik Indonesia mengabulkan grasi Merri Utami melalui Keputusan Presiden Nomor 1/G/2023, yang telah diajukan sejak tanggal 24 Juli 2016. Namun, itu tidak secara otomatis membuat kondisi psikologi dan mentalnya pulih. Tetapi melanggengkan penyiksaan terhadap Merri Utami. Bahkan bukti tertulis yang dihadirkan Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa terjadi kesalahpahaman penghukuman terhadap Merri Utami. 

Namun, dari berbagai alat bukti yang dihadirkan Majelis Hakim, dalam putusannya lebih mempertimbangkan hal-hal bersifat administratif, sebagaimana yang didalilkan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai Tergugat II, yaitu menganggap apa yang digugat oleh Merri Utami telah melewati batas waktu yang ditentukan (kadaluwarsa). Pertimbangan hakim tersebut sarat dengan ketidakadilan. Sebab secara teknis hukum, pengajuan gugatan ini yang diunggah melalui sistem e-court ternyata beberapa fiturnya tidak kompatibel dengan hukum acara pengajuan gugatan yaitu terkait Merri Utami sebagai Penggugat wajib mengunggah selain dokumen gugatan yaitu dokumen upaya administratif kepada Para Tergugat.

Ketiadaan unggahan dokumen upaya administratif dalam sistem e-court bisa berdampak terhadap gugatan Merri Utami tidak dapat di register dan diperiksa PTUN Jakarta. Namun tragisnya pertimbangan Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa upaya administratif tidak wajib. Sehingga antara fitur e-court yang mewajibkan unggahan dokumen upaya administratif dengan pertimbangan Majelis Hakim sangat kontradiksi, yang membuat keadilan bagi Merri Utami semakin menjauh.   

Pada sisi lain, keberanian Merri Utami untuk menggugat Para Tergugat harus diapresiasi karena tidak serta-merta untuk dirinya sendiri, melainkan turut mengupayakan pembelaan terhadap para terpidana-terpidana Indonesia lainnya yang mengalami hal serupa, yaitu pemenjaraan yang tidak jelas ujungnya kapan, imbas abainya Para Tergugat.

LBH Masyarakat (LBHM) selaku Tim Kuasa Hukum Merri Utami berterima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses persidangan ini, antara lain Dra. Probowatie Tjondroegoro, M.Si., selaku Psikolog yang selama ini melakukan pemeriksaan psikologi terhadap Merri Utami dari dalam penjara dan Saksi di PTUN Jakarta. Begitu juga kepada Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si., selaku dosen Kriminologi Universitas Indonesia (UI) yang hadir sebagai Ahli dalam perkara ini. Kami juga berterima kasih kepada seluruh individu dan organisasi masyarakat yang juga turut mengawal dan hadir dalam persidangan dan terus memberikan dukungan kepada Merri Utami.

Setelah putusan tersebut, Merri Utami sempat mengajukan upaya hukum atas putusan nomor: 256/G/TF/2023/PTUN.JKT, namun pada akhirnya dicabut dan beralih mengajukan remisi kepada Presiden yang telah diajukan per tanggal 22 Desember 2023 terkait pengubahan pidana seumur hidup. Upaya ini merupakan salah satu mekanisme terkait hak warga binaan pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-03.PS.01.04 Tahun 2000.

Keduanya merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagai peraturan teknis dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan 1995) yang belum dicabut meski terdapat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan 2022) yang mencabut UU Pemasyarakatan 1995. Sebab, Pasal 94 UU Pemasyarakatan 2022 menyebutkan sebelum ada peraturan pelaksana yang baru, peraturan pelaksana yang dilahirkan dari UU Pemasyarakatan 1995 tetap berlaku. Ke depannya, LBHM sebagai kuasa Merri Utami akan mengawal proses pengajuan remisi kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Jakarta, 11 Januari 2024

Narahubung:

  • Aisyah Humaida : 0822-6452-7724
  • Awaludin Muzaki : 0812-9028-0416

[RILIS PERS] LBHM Ajak Pemuka Lintas Agama Beri Narasi Positif dan Toleran dalam Mendukung Layanan Pengurangan Dampak Buruk bagi Pengguna Narkotika

Peran pemuka agama di kehidupan masyarakat amat penting, termasuk dalam mendukung layanan pengurangan dampak buruk (harm reduction) bagi pengguna narkotika. Pengaruh mereka bisa membawa pengguna narkotika ke arah yang positif lewat tuntunan rohani. Lewat tuntunan rohani, kehidupan pengguna narkotika bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Terlebih lagi, jika narasi yang disampaikan menggunakan pendekatan yang toleran, bukan penghukuman.

Hal positif itu hendak diupayakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) lewat kegiatan Webinar yang mengambil tema “Peran Pemuka Agama dalam Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika”. Webinar itu berupaya menjembatani diskusi yang produktif dan berkelanjutan antar pemuka agama serta memberikan forum untuk menyebarkan narasi-narasi yang toleran atas pengguna narkotika.

Webinar yang diadakan pada Rabu, 22 November 2023 secara online ini, menghadirkan enam (6) narasumber.

Narasumber pertama yaitu Nuraida sebagai Peneliti. Ia memaparkan hasil penelitian yang sebelumnya diluncurkan LBHM pada awal tahun 2023 lalu, berjudul “Perspektif Keagamaan Terhadap Pengguna Narkotika dan Layanan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika di Indonesia”.

Nuraida menyampaikan, pengguna narkotika pada dasarnya berharap kepada pemuka agama agar dapat merangkul mereka, berperan aktif dalam permasalahan pengguna narkotika, dan tidak menstigma mereka ketika mengikuti kegiatan keagamaan.

“Dari hasil temuan yang kami dapatkan, teman-teman pengguna narkotika yang berada di komunitas punya banyak harapan. Harapan kepada tokoh agama untuk dirangkul dan dibimbing 13 orang, berharap ada penerimaan 4 orang, berharap (pemuka agama) berperan aktif 7 orang, dan tidak menstigma 9 orang,” kata Nuraida.

Temuan itu disambut baik oleh narasumber kedua, yaitu Prof. Musdah Mulia sebagai Akademisi sekaligus ulama perempuan yang berkecimpung di isu-isu hak asasi manusia, salah satunya isu narkotika. Ia menyebut, pemuka agama seharusnya memainkan peranan penting dalam mendorong penghargaan dan penghormatan terhadap setiap individu, salah satunya pengguna narkotika.

“Pemuka agama sebaiknya fokus kepada upaya-upaya membangun kedamaian dengan mengedepankan ajaran agama yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, empati, saling menghargai dan menolong sesama, terutama kepada kelompok rentan dan tertindas, seperti pengguna narkotika,” jelas dia.

Berbagai hal positif tersebut, dalam konteks Malaysia, sebenarnya telah dilakukan. Narasumber ketiga, yaitu Dr. Rusdi bin Abdul Rashid sebagai Project Coordinator for Spiritual Enhanced Drug Addiction Rehabilitation, menyampaikan bahwa di Malaysia, telah ada beberapa masjid di sana yang menyediakan terapi rumatan metadon untuk pengguna narkotika.

“Di Malaysia, kami memberdayakan komunitas masjid untuk mendorong pemikiran kolaboratif untuk lebih meningkatkan rehabilitasi kecanduan dalam intervensi spiritual Islam yang inovatif. Salah satunya, dengan mengimplementasikan program Peningkatan Spiritual pada Kecanduan dan Rehabilitasi Narkotika (SEDAR) di tahun 2010,” ungkapnya.

Program tersebut bermula sejak tahun 2010 di Masjid Ar-Rahman Malaysia, kemudian memperluas cakupannya ke Masjid Ad-Deeniah pada tahun 2015, lalu Layanan Metadon Keliling Masjid pada tahun 2019 yang menyasar Masjid Gelugor Pulau Pinang, Masjid Terapung Pulau Pinang, dan Masjid Merbah Sempah Pulau Pinang. Tak berhenti di sana, rencananya program tersebut juga akan diperluas yang melibatkan 2000 masjid di Malaysia.

Rima Ameilia sebagai Peneliti, juga menyampaikan bahwa agama selain Islam, misalnya Kristen, Katolik, dan Protestan, juga memiliki peranan penting terhadap kehidupan pengguna narkotika. Namun sayangnya, masih banyak dari beberapa tokoh agama tersebut yang memberikan stigma kepada pengguna narkotika.

“Hasil survei dari masyarakat Kristen, Katolik, dan Protestan memiliki stigma negatif bahwa pengguna narkotika menyimpangi ajaran agama dan menyembah hal lain selain Tuhan,” tuturnya.

Padahal, di agama Kristen sendiri, telah banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa penghargaan terhadap hidup seseorang jadi hal yang tak kalah penting, termasuk kepada pengguna narkotika. Anggapan ini diperkuat oleh Lenta Simbolon, Sekretaris Eksekutif Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Ia menyatakan secara prinsipnya, ajaran gereja mendukung program terapi rumatan metadon (PTRM) sebagai salah satu program untuk mendukung pengguna narkotika.

“Pendampingan pastoral bagi warga gereja (termasuk yang kecanduan narkotika) ada ayat Al-Kitab yang isinya untuk melayani dan mendampingi siapapun: Petrus 5:2-4, misalnya. ‘Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena malu mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri’. Namun hal ini masih kurang dilakukan oleh gereja-gereja yang ada di Indonesia,” imbuhnya.

Di akhir sesi pemaparan narasumber, Ester Kincová sebagai Public Affairs and Policy Manager Transform Drug Policy Foundation, sebuah organisasi masyarakat sipil berbasis di United Kingdom yang fokus pada kebijakan narkotika, memberi gambaran bagaimana keterlibatan kongregasi-kongregasi gereja Kristen dan Katolik di Inggris yang aktif terlibat dalam layanan pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkotika.

“Ada banyak kongregasi gereja Kristen yang terlibat dalam pelayanan pengurangan dampak buruk narkotika, dan setuju untuk mendorong wacana reformasi kebijakan narkotika secara khusus,” tutupnya.

[Rilis Pers] Hentikan Pendekatan Keamanan dan Militeristik dalam Kebijakan Narkotika

Pada Senin, 11 September 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelenggaran rapat terbatas (Ratas) soal pemberantasan dan penanganan narkotika di Indonesia. Dalam Ratas itu, Jokowi menyampaikan terdapat usulan agar rehabilitasi narkotika bisa dilakukan di Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam). Jokowi mengatakan usulan itu muncul dari Panglima Daerah Militer (Pangdam). Namun demikian, Jokowi tidak menyebutkan usulan itu muncul dari Pangdam wilayah mana.

Jokowi bukan pertama kali ini saja mewacanakan penggunaan pendekatan atau pelibatan aktor keamanan dalam kebijakan narkotika. Sebelumnya, pada tahun 2016, Jokowi pernah secara terang-terangan memberikan arahan secara langsung kepada jajarannya, di antaranya BNN dan Institusi Kepolisian, untuk memberantas narkotika. Dalam arahan tersebut, tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga memerintahkan untuk menembak di tempat para pelaku yang diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika.

Perintah tembak di tempat yang diserukan Jokowi tersebut kemudian mulai memakan korban. Berdasarkan pemantauan LBH Masyarakat (LBHM), dalam rentang waktu tahun 2017-2018 setidaknya ada 414 orang yang menjadi korban luka dan 167 orang meninggal tanpa melalui proses peradilan. Catatan tersebut menunjukan watak Jokowi lebih menyukai pendekatan perang dalam mengatasi permasalahan narkotika (War on Drugs), ketimbang pendekatan yang berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan atau sains yang sejalan dengan hak asasi manusia (HAM).

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Undang-Undang TNI), dalam ketentuan Pasal 7 pada pokoknya telah menyebutkan bahwa TNI memiliki tugas pokok menegakan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan negara Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang TNI tersebut, tugas pokok TNI tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Merujuk ketentuan tersebut tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa TNI diberikan kewenangan untuk melakukan rehabilitasi masalah narkotika.

Pelibatan TNI dalam kebijakan narkotika hanya akan menambah rentetan permasalahan dwi fungsi TNI yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Jika terus dibiarkan, kebiasan buruk ini akan mengancam iklim demokrasi dan HAM yang susah payah telah diperjuangkan dalam reformasi tahun 1998. Padahal, dalam kebijakan narkotika sepatutnya pendekatan kesehatan dengan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM yang seyogyanya dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan kebijakan narkotika di Indonesia.

Berdasarkan catatan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN), rehabilitasi bukanlah satu-satunya alternatif solusi, apalagi rehabilitasi yang bersifat paksa. Dari jumlah 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah dalam penggunaannya, tentunya membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tidak terbatas pada pendekatan rehabilitasi rawat inap/jalan. Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan, serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan lebih memberikan solusi, ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau memaksa mengakses (bersifat mandatory) layanan rehabilitasi, termasuk jika nanti dilakukan di Rindam.

Oleh sebab itu, sudah seyogyanya Jokowi kembali kejalan yang benar dan menolak usulan-usulan yang justru menjerumuskan kebijakan narkotika secara khusus, dan situasi HAM Indonesia secara umum, ke dalam keterpurukan yang lebih dalam. Berdasarkan hal-hal tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika menuntut, sebagai berikut:

  1. Negara harus menjamin bahwa praktik perang terhadap narkotika (War on Drugs) harus diakhiri;
  2. Negara harus mengambil tindakan yang efektif dalam permasalahan narkotika yang berlandaskan pendekatan kesehatan dan ilmu pengetahuan yang sejalan dengan HAM;
  3. Negara harus menghentikan segala upaya untuk mengembalikan Dwi Fungsi ABRI.

Jakarta, 12 September 2023

Hormat kami:

LBH Masyarakat
KontraS
Imparsial
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Centra Initiative
Rumah Cemara
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN)
Lingkar Ganja Nusantara (LGN)
Paguyuban Peduli Kebijakan Napza Parahiangan (PPKNP)

Narahubung:

  1. Maruf Bajammal
  2. Andy Muhammad Rezaldy
Skip to content