Tag: LGBTIQ

[Laporan Penelitian] Dalam Rangka Menegakkan Tibum: Sebuah Asesmen terhadap Konsep dan Implementasi Ketertiban Umum di Indonesia

Beragamnya peraturan-peraturan normatif tentang ketertiban umum menyebabkan tiadanya satu definisi yang padu tentang ketertiban umum di Indonesia. Pendefinisian ketertiban umum sangat tergantung dari kepentingan penguasa yang tercermin dari aspek politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Definisi ketertiban umum yang tidak bulat tersebut menyebabkan variasi jenis-jenis ketertiban. Totalnya ada 48 jenis tertib di mana satu jenis tertib umumnya menjabarkan beberapa jenis aktivitas yang dilarang. Beberapa aturan ketertiban umum pada level lokal pun mengulang peraturan pada tingkat nasional.

Ragam-ragam ketertiban umum mampu menghambat pemenuhan HAM orang dengan HIV dan populasi kunci HIV. Salah satu jenis ketertiban yang umumnya mendisiplinkan ODHIV dan populasi kunci HIV adalah ragam tertib sosial yang umumnya mengkategorikan apa yang dimaksud dengan tindakan asusila. Sayangnya, tindakan asusila sering kali didefinisikan secara bebas, sepihak, dan luas.

Misalnya, Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 7 Tahun 2016 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, menyamakan tindakan asusila sebagai menjajakan diri di jalan, bercumbu, berciuman dan aktivitas seksual lainnya.

Untuk itu, penelitian ini berusaha untuk melihat bagaimana konsep ketertiban umum didefinisikan serta bagaimana dampak penegakannya bagi penghormatan, pelindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Kalian dapat membaca hasil penelitian tersebut melalui link di bawah ini:

Laporan Kerja (Annual Report) LBHM Tahun 2021

2 tahun sudah Indonesia mengalami pandemi COVID-19, hal ini juga berpengaruh kepada tatanan sosial di masyarakat secara signifikan. Salah satunya terhadap kelompok rentan dan termarjinalkan. Kelompok ini mengalami tantangan berganda, mulai dari dampak ekonomi hingga tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia mereka yang membuat mereka hidup dalam bayang-bayang pelanggarang HAM.

Akses bantuan hukum yang tidak memadai, masih adanya peraturan diskriminatif, ketidakmerataan keadilan sosial adalah sebagian kecil dampak dari sekian banyak dampak lainnya yang dihadapi oleh kelompok rentan sehingga berada pada situasi tidak \’menguntungkan\’. LBHM secara gigih masih berdiri bersama kelompok rentan, berjuang bersama untuk memajukan dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh lewat dampingan hukum, riset dan kampanye publik.

LBHM mendokumentasikan perjuangan dan pekerjaan kami dalam Laporan Kerja (2021). Laporan ini merupakan pertanggung jawaban LBHM kepada publik dalam menginformasikan kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh LBHM sepanjang tahun 2021 — sekaligus juga menjadi refleksi kerja-kerja LBHM selama satu tahun kebelakang. Kami menganalisa situasi serta tantangan HAM selama 2021 dan tahun yang akan datang. Laporan ini dapat tersusun, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah LBHM.

Laporan Kerja (Annual Report) Tahun 2021 kami dapat dibaca pada tautan di bawah ini:

LBHM Annual Report 2021

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu dan permasalahan Hak Asasi Manusia yang terjadi.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pelanggaran HAM pada kelompok rentan dan termarjinalkan di Indonesia.

Salah satu temuan dalam laporan ini adalah perihal kurangnya usaha pemerintah dalam memberikan upaya perlindungan secara hukum terhadap kelompok rentan yang termarjinalkan.

Temuan lengkapnya dapat dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review – Joint Submission Human Rights Situation in Indonesia With Specific focus on Vulnerable Groups

Universal Periodic Review – Joint Submission on LGBTIQ Right for Indonesia

Setiap 5 tahun sekali badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu mengadakan Universal Periodic Review (UPR) terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia di seluruh negara. UPR ini dapat terlaksana karena adanya investigasi independen yang dilakukan oleh kelompok kerja HAM bentukan PBB, namun, masyarakat sipil juga dapat membuat laporan terkait pemantauannya terhadap sebuah isu.

Pada tahun ini, LBHM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Anti Diskriminasi Kelompok Rentan Berbasiskan Orientasi Seksual dan Identitas Gender, baru saja mengirimkan laporan temuan tentang pemenuhan HAM kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia.

Dalam laporan ini salah satu yang menjadi perhatian adalah perihal kekerasan terhadap kelompok LGBTIQA+ yang dialami selama masa pandemi COVID-19.

Dokumen lengkapnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Universal Periodic Review Indonesia – Joint Submission on LGBTIQ Rights for Indonesia (English)

Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA dan Human Rights Working Group (HRWG) bersamasama dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya menyatakan kecewa atas Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.

Pada tanggal 21 Desember 2021 DPRD Kota Bogor dan Walikota Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (p4s). Koalisi menilai, Perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi pada kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender di Kota Bogor. Pasalnya, pada Bab III pasal 6 menyebutkan bahwa kelompok dan perilaku yang dimaksudkan adalah homoseksual, lesbian dan waria.

Perda ini bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Di dalam PPDGJ poin F66 disebutkan:

“Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan (Poin F66)

Dalam klasifikasi internasional yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, telah menyatakan bahwa transgender bukan merupakan gangguan kejiwaan.

Sebagai konsekuensi, segala hal yang dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan seksual di dalam Perda ini akan dikenakan upaya pencegahan dan penanggulangan, di mana di dalamnya termasuk juga tindakan pengamanan dan rehabilitasi. Hal ini dapat berdampak pelibatan bukan hanya dari aparatur pemerintahan daerah namun juga masyarakat. Perda ini berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu, Perda ini mengamanatkan pembentukan sebuah komisi penanggulangan yang pembiayaannya akan dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Koalisi menilai Perda ini merupakan bentuk pelanggaran HAM pada warga negara tertentu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan dan rasa aman. Berikut adalah dampak langsung dari Perda ini:

  1. Dampak kekerasan psikis dan tertutupnya akses kesehatan

    Perda menjadi legitimasi untuk mengkategorikan kelompok LGBT sebagai kelompok yang dapat disembuhkan dengan tindakan rehabilitasi dan penanggulangan. Petugas kesehatan, penyedia layanan kesehatan, aparatur daerah dan masyarakat secara umum dapat mengirim individu baik anggota keluarga maupun anggota masyarakat ke pusat rehabilitasi. Perda ini juga bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghapus segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap orang dengan HIV dan kelompok populasi kunci, yang tertuang di dalam Deklarasi Politik PBB tentang HIV/AIDS tahun 2021. Kebijakan seperti ini, akan menjadi hambatan yang besar terhadap respon HIV yang efektif menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
  2. Dampak kekerasan bernuansa terapi konversi/upaya korektif

    Pada pasal 9, 12, 15 dan 18 secara spesifik mengatakan bahwa salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Hal ini akan berpotensi semakin maraknya aktivitas pemaksaan upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Victor Madrigal Borloz, Ahli Independen Prosedur Khusus PBB tentang SOGI dalam laporan tematiknya menyebut upaya ini sebagai bentuk penyiksaan.
  3. Dampak kekerasan fisik (penangkapan sewenang-wenang)

    Ketiadaan payung hukum anti-diskrimnasi yang melindungi kelompok LGBT telah menjauhkan kelompok LGBT dari akses keadilan ketika mengalami kekerasan, diskriminasi dan pengusiran dari rumah, perda ini memperkuat aksi-aksi tersebut. Sebagai bentuk proses pencegahan, aktivitas penangkapan sewenang-wenang dan persekusi semakin marak di Kota Bogor terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Perda ini juga mengamantkan Pemerintah Kota Bogor untuk membentuk lembaga lintas sektoral (pasal 8) dalam memaksimalkan implementasi Perda ini.
  4. Dampak informasi yang keliru (miss-information) terkait minoritas seksual dan gender

    Pasal 15 menyebutkan bahwa salah satu langkah yang akan dilakukan untuk pencegahan adalah melalui edukasi dan penyebaran informasi terkait 15 kelompok dan perilaku pada pasal 6. Tindakan ini akan berpotensi semakin meningkatkan adanya informasi yang keliru tentang orientasi seksual dan identitas gender yang berpotensi meningkatkan kebencian dan penolakan.
  5. Dampak kehilangan sumber ekonomi

    Atas dampak-dampak yang telah kami sebutkan di atas, secara langsung akan menutup akses bagi kelompok LGBT untuk bekerja dan mendapatkan sumber penghasilan sehari-hari.

Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keberagaman Gender dan Seksual meminta secara
mendesak:

  • Walikota Bogor, Gubernur Jawa Barat dan Kementerian Dalam Negeri untuk berkoordinasi dan segera membatalkan Perda No 10 tahun 2020 Kota Bogor;
  • Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan resmi menyikapi Perda Diskriminatif ini dan menyurati DPRD, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat guna peninjauan kembali.
  • Kantor Staf Presiden sebagai penyelenggara Program Kabupaten dan Kota Ramah HAM untuk mencabut Kota Bogor dari klasifikasi Kota Ramah HAM dan tidak menjadikan Kota Bogor ataupun daerah di Jawa Barat sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan karena Perda yang dihasilkan bertentangan dengan HAM itu sendiri.

Dokumen (.PDF) Siaran Pers Koalisi Kami Berani dapat diunduh rekan-rekan pada tautan berikut:
Pernyataan Sikap – Peraturan Daerah Kota Bogor No 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual: Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Publikasi – Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi

Pandemi COVID-19, yang menghantam Indonesia genap setahun yang lalu, telah memberikan
dampak yang luar biasa bagi setiap orang, tanpa terkecuali.

Namun, meskipun setiap orang terdampak oleh COVID-19, tetapi tidak semuanya merasakan beban yang sama. Sebagian kelompok masyarakat Indonesia merasakan penderitaan yang jauh lebih berat di banding kelompok lainnya. Kelompok keragaman seksual dan gender salah satu kelompok yang merasakan dampak dari COVID-19, bahkan sebelum pandemi terjadi pun, kelompok ini sudah mengalami beragam marjinalisasi dalam segala bidang kehidupan. Pada masa awal pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapakan di beberapa wilayah di Bulan Maret 2020 sebagai upaya pemerintah untuk menghambat penyebaran COVID-19, Konsorsium CRM mengidentifikasi dan mendistribusikan bantuan kepada ribuan kelompok LGBTQ yang kehilangan mata pencarian dan membutuhkan dukungan bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan sewa tempat tinggal mereka.

Laporan studi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium CRM untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam dan multidimensional terkait dengan kondisi kelompok LGBTQ yang berada di wilayah-wilayah yang terdampak berat oleh pandemi COVID-19. Dalam laporan ini dapat teman-teman temukan secara mendalam tentang dampak pandemi COVID-19 yang dialami oleh komunitas LGBTQ. Salah satu temuan penting dalam laporan ini adalah bahwa lebih dari delapan puluh persen (80%) komunitas LGBTQ yang menjadi responden dari penelitian ini mengalami penurunan pendapatan sampai 25% hingga 50% selama pandemi berlangsung. Penurunan yang signifikan dari pendapatan ini menempatkan setidaktidaknya 63% dari komunitas LGBTQ jauh bawah garis kemiskinan Nasional yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Penelitian dan publikasi laporan studi ini merupakan bagian dari program kerja Konsorsium CRM untuk menguatkan resiliensi kelompok keragaman seksual dan gender di Indonesia di dalam menghadapi krisis, dengan dukungan dari Yayasan Kurawal.

Rilis Pers – Hukum Qanun & Lengahnya Negara Memberikan Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Seksual dan Gender

Lagi tindakan diskriminasi terjadi kepada kelompok minoritas seksual dan gender (LGBTIQ+). Kali ini menimpa pasangan MU dan AL, mereka dihukum cambuk karena melakukan hubungan seksual, MU dan AL dianggap melanggar Pasal 63 ayat 1 Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat yang mengharuskan mereka dihukum 80 kali cambuk (dikurangi masa tahanan 3 bulan, menjadi 77 kali)—eksekusi mereka terjadi pada 28 Januari 2021 lalu.

Hukum cambuk ini bukanlah pertama kalinya menimpa kelompok LGBT, pada tahun 2017 pernah terjadi hukuman cambuk terhadap kelompok LGBT (MT dan MH) yang dituduh melakukan hubungan seksual, mereka di hukum sebanyak 85 kali cambukan. Pada 2018 juga hal serupa kembali terjadi, pasangan LGBT (N dan R) yang menerima hukum Qanun sebanyak 86 kali cambukan.

LBH Masyarakat (LBHM) pada tahun 2016 saja, sebanyak 396 orang sudah dieksekusi (cambuk) dan bersiap berhadapan dengan hukuman cambuk (66 orang masih berupa ancaman cambuk). Dalam temuan ini juga ditemukan jika terdapa kelompok LGBT yang dirazia dan diancam mendapatkan hukuman cambuk.

Selain bertentangan dengan hukum positif, pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan terhadap kelompok LGBT ini tentunya merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi yang dilindungi oleh konstitusi.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:

Contact Person: 0812-3631-0500 (LBHM)

Rilis Pers – BRIGADIR TT AJUKAN UPAYA HUKUM BANDING: PERJUANGAN MASIH BERLANJUT

Kemarin, 25 Januari 2021, Brigadir TT didampingi kuasa hukumnya, Ma’ruf dari LBH Masyarakat (LBHM) resmi mendaftarkan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Upaya hukum banding ini merupakan bentuk perlawanan terhadap putusan PTUN Semarang Nomor: 63/G/2020/PTUN.SMG pada tanggal 7 Januari 2021.

Pada memori banding ini, LBHM menekankan kekeliruan PTUN Semarang dalam mengadili perkara Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) Brigadir TT dari Dinas Kepolisian Republik Indonesia. LBHM juga meyakini PTUN Semarang bertentangan dengan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan, seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung (SEMA 10/20).

Perjuangan Brigadir TT belum selesai, perjuangannya kini belanjut pada tahap selanjutnya, #KeadilanUntukBrigadirTT

Rilis lengkap dapat teman-teman baca di link berikut:

Kristen Gray dan Kepanikan Moral Masyarakat

Seperti dikutip dari laman Kompas.Com pada 20 Januari lalu, asal mula kegaduhan ini dimulai saat Kristen Gray menggunggah sebuah tread di media sosial twitter sekitar tanggal 17 Januari 2021. Melalui akun miliknya @kristentootie, ia mengunggah tentang Bali yang sangat memberikan kenyamanan bagi LGBT serta mengajak orang asing untuk mengunjungi Bali di masa pandemi sekarang ini. Selain unggahan itu, ia juga diduga melakukan bisnis konsultasi dan juga menjual e-book dengan judul Our Bali Life is Yours yang disinyalir memiliki nilai ekonomis.

Postingan Gray tersebut pun menuai respon dari warganet (netizen) di Indonesia. Tentu saja, isinya pro dan kontra. Polemik tersebut kemudian mengarah pada trending di media sosial twitter lainnya yaitu #LGBT. Tak lama berselang, otoritas negara, melalui Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali merespon dan melakukan pemeriksaan terhadap Gray dan pasangannya. Setelah diperiksa oleh Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali, ia dan pasangannya mendapatkan sanksi administratif berupa deportasi. Dalam siaran persnya, terkait dengan pendeportasian Gray, Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali menyatakan Gray telah melanggar 2 hal, yaitu:

Pertama, soal memudahkan orang asing masuk ke Indonesia (Bali) bertentangan dengan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 2 tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional dan Surat Edaran Dirjen Imigrasi Nomor:IMI-0103.GR.01.01 Tahun 2021 Tentang Pembatasan Sementara Orang Asing ke Wilayah Indonesia selama masa Pandemi Covid-19. Gray kemudian patut diduga melanggar Pasal 75 ayat 1serta Pasal 122 ayat (1) Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Untuk Pasal 122 ayat 1 adalah terkait dengan penyalahgunaan izin/visa milik Gray. Kedua, terkait dengan unggahan kalimat, LGBTQF (queer friendly) dimana provinsi Bali memberikan kenyamanan dan tidak mempersalahkan hal tersebut.

Apa yang dapat dicermati dalam Kasus ini?

Dalam alasan pertama Kanwil wilayah Bali, hal itu dapat dipahami sebagai alasan legal (legal reasoning) dan landas hukum (legal basis) untuk menindak pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh Gray. Dugaan pelanggarannya sudah barang tentu terkait memudahkan orang asing masuk ke Bali pada masa pandemi dan menyalahi visa kunjungan miliknya. Di mana, visa kunjungan miliknya itu tidak dibenarkan secara hukum untuk melakukan kegiatan yang sifatnya ekonomis di wilayah Indonesia.

Justru alasan kedua inilah yang kemudian menjadi penting untuk dicermati. Dari perspektif keilmuan, perbincangan mengenai LGBT baru-baru ini dapat dipahami sebagai kepanikan moral (moral panic). Stanley Cohen (2002) mendefinisikan kepanikan moral sebagai sebuah situasi ketika kelompok atau kondisi tertentu hadir sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang telah mapan di masyarakat (2002: 1). Kepanikan moral bisa berupa sebuah ancaman yang benar-benar baru, atau ancaman usang yang hadir dalam bentuk-bentuk yang telah berkembang, seperti ketakutan akan “Komunisme Gaya Baru”. Untuk mengerti bagaimana kepanikan moral terbentuk, kita perlu memahami konsep penyimpangan terlebih dahulu. Menurut Cohen, yang menyebabkan sebuah tindakan dikategorikan sebagai penyimpangan bukanlah kualitas atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sebuah tindakan sudah terlebih dahulu dikategorikan menjadi sebuah penyimpangan berdasarkan koordinat nilai-nilai masyarakat. Dengan kata lain, penyimpangan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri (2002: 4)1.

Dalam konteks Indonesia saat ini, pendapat Cohen tentu ada benarnya. Persoalan isu LGBT sudah merupakan perdebatan panjang yang biner terjadi di sini. Biner antara baik dan buruk, neraka dan surga hingga moral dan amoral. Menilik pada survei SMRC yang dilakukan pada Maret 2016, September dan Desember 2017 dengan jumlah responden 1.220 orang. Hasilnya adalah 86,7 persen orang Indonesia menolak LGBT dan menganggap LGBT sebagai sebuah ancaman. Riset mandiri yang dilakukan Tirto.id pada juni 2019 turut mengunggapkan, jika mayoritas masyarakat Indonesia masih mengganggap LGBT adalah hal menyimpang dan harus mendapatkan pengobatan atau pencerahan agama. Kemungkinan besar, data riset di atas merupakan cerminan nilai mapan yang sudah dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Sehingga, cuitan Gray melalui twitter dianggap menciderai dan mengancam nilai-nilai yang sudah -dikatakan- mapan di masyarakat. Pantas saja responnya kemudian masif. Publik seakan-akan berlomba untuk menghakimi Gray, sembari mencoba menegakan nilai-nilai yang moral yang ada agar tidak tercedarai. Sebuah respon yang bahkan lebih masif daripada persoalan legal seorang Gray itu sendiri.

Yang turut disayangkan justru respon negara (yang diwakili Kanwil Hukum dan HAM Bali) dalam kasus Gray ini. Alih-alih menegakan peraturan perudangan terkait Covid-19 dan keimigrasian, mereka justru juga (seakan) berperan menjadi “polisi moral”. Peran itu tergambar jelas dari dijadikannya alasan unggahan kalimat LGBTQF sebagai kesalahan yang dilakukan Gray. Mereka seakan menjadi penegak dan pembela moral publik yang mayoritas mengecam cuitan Gray tersebut. Mungkin Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali tidak menyadari bahwa peran “polisi moral” itu akan menambah stigma dan posisi komunitas LGBT sebagai ancaman dan pembuat keresahan di tengah masyarakat. Kemudian, sudah dapat ditebak, tentu komunitas LGBT berpotensi menjadi korban dalam implikasinya kelak. Padahal, sampai saat ini, menjadi seorang LGBT bukanlah sebuah tindak kejahatan. Pantas saja kemudian Gray berkomentar kepada awak media, “I am not guilty. I have not overstay my visa. I have not made money in Indonesian, Rupiah, in Indonesia. I put on the statement about LGBT, and I am being deported because LGBT”.

Tulisan opini ini merupakan respon dari sikap Pemerintah dan publik terhadap kasus Kristen Gray. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat.

Referensi:
1. https://www.remotivi.or.id/amatan/271/kepanikan-moral-di-balik-perbincangan-tentang-lgbt

Skip to content