Jakarta, 27 April 2021
Setiap tanggal 27 April di Indonesia kerap diperingati sebagai Hari Bhakti Pemasyarakatan, Peringatan ini merupakan pengingat bagaimana sistem pemasyarakatan itu lahir sejak dibentuk pada tahun 1964, namun nama Pemasyarakatan sendiri lahir setahun sebelumnya, dan diungkapkan pertama kali oleh Menteri Kehakiman Sahardjo, pada 5 Juli 1963, dimana ia menyatakan jika Pemasyarakatan merupakan tujuan dari pidana penjara. Selama proses nama Pemasyarakatan pun dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan merupakan suatu usaha untuk mencapai keadilan dengan tujuan menciptakannya reintegrasi sosial dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan—konsep Pemasyarakatan pun masih diterapkan hingga saat ini. Namun, sayangnya lembaga Pemasayarakatan yang kini dikelola penuh oleh Ditjenpas di bawah naungan Kemenkumham, harus mengalami banyak permasalahan lapas. Salah satunya yan menjadi sorotan adalah permasalahan overcrowding lapas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per-Maret 2021 saja, tingkat overcrowding narapidana dan tahanan masih cukup tinggi yakni sebesar 88%.[1] Kondisi tersebut sudah terjadi sekiranya selama 5 tahun kebelakang, di mana kesesakan institusi pemasyarakatan itu didominasi oleh narapidana narkotika dengan kenaikan cukup signifikan sebanyak 96.648 terpidana narkotika (2018-2020). Kondisi ini juga dialami secara global, menurut laporan IDPC, per Februari 2021, terdapat 504.000 narapidana dan tahanan yang terpapar COVID-19 dari 121 negara, dan 3.800 nya mengalami kematian dari 47 negara. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya virus COVID-19 ini terhadap narapidana dan tahanan, terlebih masih banyak negara yang tidak terbuka secara data & informasi terkait testing COVID-19 yang sudah dilakukan.[2]
Kondisi penjara yang penuh sesak juga menimbulkan berbagai permasalahan lain, sepeti pemenuhan hak atas kesehatan narapidana dan kriminalitas di dalam penjara. Merujuk pada Mandela Rules (1957), pemenuhan hak kesehatan narapidana menjadi tanggung jawab dari Negara, dan pemenuhan kesehatan ini sebagaimana amanat konstitusi bahwa narapidana berhak mendapat layanan kesehatan dan makanan yang layak (Rules 24).[3] Pandemi COVID-19 menjadi kabar buruk bagi institusi pemasyarakatan yang cenderung tertutup dengan kapasitas tempat yang terbatas. Kondisi pandemi COVID-19 yang belum stabil dan berlanjut di Indonesia membuat narapidana masuk kedalam kategori kelompok rentan.
Demi mengatasi kepadatan di dalam penjara dan mengurangi risiko dampak penyebaran virus COVID-19, Pada April tahun 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana.[4] Semenjak peraturan tersebut berlaku, Dalam laporan LBH Masyarakat (LBHM) yang berjudul Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana dimasa Pandemi COVID-19, mencatat jika jumlah narapidana & tahanan yang telah keluar dari Lapas atau Rutan yaitu sebanyak 40.388. Hal ini sedikit berbeda dengan klaim Pemerintah sendiri yang menyatakan jika 40.504 tahanan dan narapidana sudah mendapatkan asimilasi dan integrasi selama periode April-Agustus 2020[5]. Di samping itu, pengeluaran narapidana dari lembaga pemasyarakatan juga tidak bisa menjadi solusi-untuk-semua dalam upaya mengatasi pandemi COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan lembaga penahanan lainnya. Perhatian terhadap isu kesehatan dan perlindungan kelompok rentan juga harus menjadi bagian dari kebijakan, sayangnya hal tersebut tidak muncul dalam kebijakan berskala nasional penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan.
Oleh karenanya dengan kondisi pemasyarakatan yang masih carut marut, serta pandemic COVID-19 yang belum juga selesai, LBHM mendorong Pemerintah untuk:
1. Melanjutkan program asimilasi dan integrasi, dengan juga mengikutsertakan narapidana narkotika sebagai penyumbang terbesar angka overcrowding lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mengingat saat ini dunia internasional sedang bergerak melakukan program pembebasan narapidana. Mengutip data Harm Reduction International setidaknya lebih dari 100 negara sudah dan akan melakukan program pembebasan narapidana atau decarceration.[6]
2. Membuat mekanisme kesehatan publik bagi mereka yang telah mendapatkan program asimilasi, mulai dari memberikan tempat tinggal hingga support psikososial, dengan perhatian khusus yang mereka alami selama COVID-19.
3. Sesegera mungkin melakukan dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika yang masih selama ini menjadi penyumbang besar angka overcrowding penjara. Mengingat angka terpidana narkotika mencapai 52% [7]dari jumlah total narapidana dan tahanan yang ada saat ini.
4. Mendorong Pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan bagi terpidana dan penghuni lembaga pemasyarakatan lainnya (Staf, pegawai pemasyarakatan, dan manajemen lapas). Dalam hal ini menjadikan penghuni lembaga pemasyarakatan sebagai kelompok prioritas yang harus mendapatkan vaksin COVID-19 segera mungkin dan melakukan test swab PCR secara berkala pada penghuni pemasyarakatan.
Narahubung:
1) Hisyam Ikhtiar (Research and Program officer LBHM): 0857-8049-2233
2) Tengku Raka (Communication Specialist LBHM): 0896-3451-0046
[1] Smslap.Ditjenpas.go.id
[2] Prison and COVID-19: Lesson from an Ongoing Crisis, IDPC, Alexander Soderholm, Hlm. 3
[3] The United Nations Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules), UNODC.
[4]
https://covid19.hukumonline.com/wp-content/uploads/2020/04/peraturan_menteri_hukum_dan_hak_asasi_manusia_nomor_10_tahun_2020-2.pdf
[5] Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi COVID-19, LBHM, Hisyam Ikhtiar, Hlm. 13
[6] https://www.hri.global/covid-19-prison-diversion-measures
[7] Ibid., Alexander Soderholm, Hlm. 13