Tag: Covid-19

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal 2020 secara global, termasuk Indonesia tidak hanya berimplikasi pada persoalan kesehatan masyarakat, tetapi juga menyebabkan rentetan krisis pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini sudah ditempatkan dalam kondisi yang krisis dan juga keterbatasan terhadap akses hak-hak dasarnya. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah kelompok LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer).

Berbagai kasus stigma, diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBTIQ selama pandemi COVID-19 semakin memperdalam jurang keterbatasan pemenuhan hak-hak kelompok LGBTIQ di Indonesia. Hal ini lah yang mendorong Konsorsium CRM semakin memperkuat respon dan strategi respon krisis terhadap kasuskasus yang dialami oleh kelompok LGBTIQ. Salah satunya melalui penguatan penanganan krisis berbasis komunitas yang melibatkan 13 paralegal LGBTIQ atau yang disebut sebut sebagai focal point Konsorsium CRM yang tersebar di provinsi di Indonesia.

Selama 6 bulan, Konsorsium CRM melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap paralegal-paralegal untuk mampu mendokumentasikan dan menangani kasus-kasus yang dialami komunitas LGBTIQ. Laporan ini merupakan hasil dari kerja-kerja bersama dan tentunya paralegal Focal Point CRM.

Laporan ini bisa menjadi alat penyambung lidah komunitas LGBTIQ kepada pemerintah, masyarakat dan setiap orang yang membacanya, untuk menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh komunitas LGBTIQ selama pandemi COVID-19, upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas ini sendiri untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta tantangan dan pembelajaran yang dihasilkan dari proses pendampingan kasus-kasus ini. Sehingga dapat mendorong menguatkan dukungan dan komitmen dalam pemenuhan dan penghormatan Hak Asasi Manusia kelompok LGBTIQ di Indonesia.

Reka-rekan dapat membaca laporan lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Laporan Pendokumentasian: Pendampingan Kasus Focal Point Konsorsium Crisis Resnponse Mechanism

Tunda dan Gratiskan Vaksin Booster: Prioritaskan Kelompok Rentan dan Kesetaraan Vaksin Untuk Semua

Oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan

09 Januari 2022 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana pemberian vaksin booster atau dosis ketiga untuk masyarakat umum. Sebab, cakupan vaksinasi dosis 1 dan 2 belum optimal untuk kelompok masyarakat rentan, terutama warga lanjut usia. Kondisi ini bisa memperpanjang pandemi Covid-19. Pemerintah juga harus memastikan vaksin diberikan untuk semua, tanpa skema berbayar.

Hingga Kamis (6/1/2022), cakupan vaksinasi dosis kedua di Indonesia masih relatif rendah, yakni 55,58%. Vaksinasi lansia dosis penuh (kedua) juga baru mencapai 42,86%. Artinya, masih ada sekitar 6,9 juta lansia yang belum mendapatkan vaksin sama sekali. Jumlah ini belum termasuk kelompok rentan, seperti warga dengan penyakit penyerta, ibu hamil, masyarakat adat, difabel, dan lainnya. Pemerintah pusat belum menyediakan data cakupan vaksinasi kelompok masyarakat rentan.

Padahal, mereka merupakan kelompok yang memiliki risiko terinfeksi tinggi. Situasi ini memperlihatkan ketimpangan vaksinasi di Indonesia masih relatif tinggi. Kondisi ini berpotensi membuat masyarakat rentan terpapar Covid-19. Oleh karena itu, rencana pemberian vaksin booster bukan langkah bijak. “Rencana ini justru akan menempatkan mereka yang belum mendapatkan vaksin sama sekali semakin rentan terinfeksi dan meningkatkan risiko kematian,” ucap Firdaus Ferdiansyah, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan.

Rencana pemerintah menyalurkan vaksin booster juga memicu ketimpangan capaian vaksinasi di daerah. Vaksin booster, misalnya, hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang sudah mencapai vaksinasi dosis pertama sebanyak 70% dan 60% dosis kedua. Per 7 Januari 2022, hanya terdapat 244 kabupaten/kota yang mencapai syarat tersebut. Artinya, masih ada 290 kabupaten/kota yang cakupan vaksinasi dosis penuh kurang dari 60%.

“Kondisi ini menunjukkan ketimpangan dalam distribusi dan penerimaan vaksin kepada masyarakat masih terjadi. Padahal, transmisi lokal Omicron sudah berlangsung,” ungkap Firdaus yang juga relawan LaporCovid-19. Apabila booster diberikan kepada 244 kabupaten/kota saja, maka dapat menyebabkan ketidakadilan akses vaksin. Sebab mereka terproteksi lebih dahulu dibandingkan warga di 290 kabupaten/kota lainnya.

No one is safe until everyone is safe

Mengingat pandemi adalah krisis kesehatan global, maka perlindungan menyeluruh bagi seluruh warga sangat menentukan keselamatan bersama, demikian pula di Indonesia. Jika mereka yang telah divaksin mendapatkan kesempatan untuk booster sementara masih banyak warga belum divaksin sama sekali, penularan Covid-19 masih sangat mengancam. Pemerintah harus memastikan semua orang mendapatkan perlindungan melalui vaksinasi dosis 1 dan 2, sebelum booster diberikan. “Ingat, no one is safe until everyone is safe,” ucapnya.

Rencana pemerintah memberikan vaksin booster berbayar bagi mereka yang bukan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga akan menghambat capaian vaksinasi dan tujuan peningkatan kekebalan penduduk. Padahal, konstitusi, UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, dan UU Kekarantinaan Kesehatan, telah memandatkan pemerintah untuk memberikan akses terhadap layanan kesehatan, termasuk vaksinasi yang setara. 

“Skema vaksin berbayar hanya menguntungkan mereka yang memiliki kemampuan membeli vaksin sedangkan masyarakat miskin semakin sulit mendapatkan vaksin,” kata Agus Sarwono dari Transparency International Indonesia yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan. 

Oleh karena itu, dua puluh sembilan organisasi yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan telah mengirimkan surat kepada Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus. Surat itu untuk meminta WHO memberikan saran kepada Pemerintah Indonesia agar segera menunda rencana pemberian vaksin booster pada 12 Januari 2022 sebelum vaksinasi dosis primer diberikan kepada seluruh target sasaran vaksinasi. Koalisi juga mendesak agar vaksinasi diberikan gratis kepada semua warga. Sebab, vaksin adalah barang publik yang tidak boleh diperjualbelikan di masa krisis.

Vaksin yang ada saat ini didapat secara gratis dari kerja sama bilateral antar negara dan kerja sama multilateral, serta pembelian langsung yang menggunakan dana APBN. Dengan begitu, pemerintah seharusnya tidak boleh memperjualbelikan vaksin Covid-19 di Indonesia.

Bersamaan dengan surat kami kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan mendesak pemerintah untuk: 

  1. Menunda pemberian vaksin booster hingga 70-80% dari populasi mendapatkan dosis 1 dan 2, terutama lansia dan kelompok rentan lainnya di seluruh wilayah secara proporsional sesuai tingkat infeksi di masyarakat.
  2. Memastikan perbaikan tata laksana infrastruktur pemberian vaksin dosis 1 dan 2 sehingga cakupan vaksin dosis penuh dapat tercapai tepat dan cepat.
  3. Memastikan ketersediaan vaksin secara merata dan proporsional di setiap daerah agar vaksin dapat mudah diakses oleh semua.
  4. Membatalkan rencana vaksin berbayar dan memberikan vaksin booster kepada seluruh warga secara gratis.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Keadilan Kesehatan terdiri dari:

Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas(Pusako), Centre for Economic and Law Studies (CELIOS), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan(PSHK), Koalisi Bersihkan Indonesia, LBH Masyarakat, Covid Survivor Indonesia (CSI), SERBUK Indonesia, Hakasasi.id, Indonesia Corruption Watch(ICW), Indonesia Global Justice(IGJ), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI), Serikat Pengajar HAM Indonesia(SEPAHAM Indonesia), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM), islambergerak.com, Kurawal Foundation, Lokataru Foundation, Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Nalar.tv, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi(P2D), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia(YPII), LaporCovid-19, RUJAK Centre for Urban Studies, Salam Institute, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan(KontraS), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN), Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan Indonesia(FBUHK), LBH Jakarta, Trade Union Rights Centre(TURC), Transparency International Indonesia.

Somasi Terbuka – Kelangkaan Tabung dan Kenaikan Harga Oksigen

Salam Darurat Kesehatan Masyarakat!
Situasi pandemi Covid-19 yang masih belum terkendali dengan angka kasus yang masih cukup tinggi, membuat masyarakat khawatir. Terlebih di bulan lalu, kondisi Rumah Sakit mengalami overkapasitas, dan mengalami kekurangan alat kesehatan seperti tabung oksigen dan pasokan oksigen. Dengan kondisi seperti saat ini, sayangnya, Pemerintah masih belum cukup bergerak cepat untuk menangani permasalahan-permasalahan ini.

Kondisi krisis yang sempat terjadi seharusnya menjadi alarm bagi Pemerintah untuk bergerak cepat menangani kondisi krisis yang terjadi. Oleh karena lambatnya penanganan pemerintah masyarakat sipil yang terdiri dari:

YLBHI; Indonesia Corruption Watch (ICW); #BersihkanIndonesia; LBH Samarinda; LBH Manado; LBH Palembang; LBH Medan; LBH Pekanbaru; LBH Bali; LBH Palangka Raya; LBH Semarang; LBH Bandung; LBH Jakarta; LBH Surabaya; LBH Yogyakarta; LBH Makassar; LBH Padang; LBH Bandar Lampung; Sajogyo Institute; Greenpeace Indonesia; Enter Nusantara; Yayasan Perlindungan Insani Indonesia; Jala PRT; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); LaporCovid-19; LBH Masyarakat (LBHM); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); FSBPI; Perempuan Mahardhika; AJAR; RUMPUN Tjoet Njak Dien; IDEA (Ide dan Analitika Indonesia) Yogyakarta; KontraS; Lokataru Foundation; UPC; JERAMI Jaringan Rakyat Miskin Indonesia; JRMK Jaringan Rakyat Miskin Kota; IWE (Institut of Women Empowerment); Jaringan Perempuan Pesisir Sultra; Circle Indonesia; Pamflet Generasi; Forum Akar Rumput Indonesia; PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI; Kalyanamitra; PEKKA.

Bersama ini kami masyarakat sipil ingin menyampaikan somasi kepada penerima mandat Rakyat sebagai pengurus publik:

  1. Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo;
  2. Menteri Perdagangan RI, Bapak Muhammad Lutfi;
  3. Menteri Kesehatan RI, Bapak Budi Gunadi Sadikin.

Adapun alasan Somasi ini dilayangkan karena:

  1. Kelangkaan tabung Oksigen;
  2. Kelangkaan Oksigen;
  3. Naiknya harga tabung Oksigen dan perlengkapan pendukungnya.

Dokumen Somasi Terbuka dapat di lihat pada link berikut:
Somasi Terbuka Masyarakat Sipil Terkait Oksigen

Rilis Pers – Decarceration: Solusi Permasalahan Pemasyarakatan Yang Menahun

Jakarta, 27 April 2021

Setiap tanggal 27 April di Indonesia kerap diperingati sebagai Hari Bhakti Pemasyarakatan, Peringatan ini merupakan pengingat bagaimana sistem pemasyarakatan itu lahir sejak dibentuk pada tahun 1964, namun nama Pemasyarakatan sendiri lahir setahun sebelumnya, dan diungkapkan pertama kali oleh Menteri Kehakiman Sahardjo, pada 5 Juli 1963, dimana ia menyatakan jika Pemasyarakatan merupakan tujuan dari pidana penjara. Selama proses nama Pemasyarakatan pun dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pemasyarakatan merupakan suatu usaha untuk mencapai keadilan dengan tujuan menciptakannya reintegrasi sosial dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan—konsep Pemasyarakatan pun masih diterapkan hingga saat ini. Namun, sayangnya lembaga Pemasayarakatan yang kini dikelola penuh oleh Ditjenpas di bawah naungan Kemenkumham, harus mengalami banyak permasalahan lapas. Salah satunya yan menjadi sorotan adalah permasalahan overcrowding lapas. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per-Maret 2021 saja, tingkat overcrowding narapidana dan tahanan masih cukup tinggi yakni sebesar 88%.[1] Kondisi tersebut sudah terjadi sekiranya selama 5 tahun kebelakang, di mana kesesakan institusi pemasyarakatan itu didominasi oleh narapidana narkotika dengan kenaikan cukup signifikan sebanyak 96.648 terpidana narkotika (2018-2020). Kondisi ini juga dialami secara global, menurut laporan IDPC, per Februari 2021, terdapat 504.000 narapidana dan tahanan yang terpapar COVID-19 dari 121 negara, dan 3.800 nya mengalami kematian dari 47 negara. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya virus COVID-19 ini terhadap narapidana dan tahanan, terlebih masih banyak negara yang tidak terbuka secara data & informasi terkait testing COVID-19 yang sudah dilakukan.[2]

Kondisi penjara yang penuh sesak juga menimbulkan berbagai permasalahan lain, sepeti pemenuhan hak atas kesehatan narapidana dan kriminalitas di dalam penjara. Merujuk pada Mandela Rules (1957), pemenuhan hak kesehatan narapidana menjadi tanggung jawab dari Negara, dan pemenuhan kesehatan ini sebagaimana amanat konstitusi bahwa narapidana berhak mendapat layanan kesehatan dan makanan yang layak (Rules 24).[3] Pandemi COVID-19 menjadi kabar buruk bagi institusi pemasyarakatan yang cenderung tertutup dengan kapasitas tempat yang terbatas. Kondisi pandemi COVID-19 yang belum stabil dan berlanjut di Indonesia membuat narapidana masuk kedalam kategori kelompok rentan.

Demi mengatasi kepadatan di dalam penjara dan mengurangi risiko dampak penyebaran virus COVID-19, Pada April tahun 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana.[4] Semenjak peraturan tersebut berlaku, Dalam laporan LBH Masyarakat (LBHM) yang berjudul Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana dimasa Pandemi COVID-19, mencatat jika jumlah narapidana & tahanan yang telah keluar dari Lapas atau Rutan yaitu sebanyak 40.388. Hal ini sedikit berbeda dengan klaim Pemerintah sendiri yang menyatakan jika 40.504 tahanan dan narapidana sudah mendapatkan asimilasi dan integrasi selama periode April-Agustus 2020[5]. Di samping itu, pengeluaran narapidana dari lembaga pemasyarakatan juga tidak bisa menjadi solusi-untuk-semua dalam upaya mengatasi pandemi COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan lembaga penahanan lainnya. Perhatian terhadap isu kesehatan dan perlindungan kelompok rentan juga harus menjadi bagian dari kebijakan, sayangnya hal tersebut tidak muncul dalam kebijakan berskala nasional penanggulangan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan. 

Oleh karenanya dengan kondisi pemasyarakatan yang masih carut marut, serta pandemic COVID-19 yang belum juga selesai, LBHM mendorong Pemerintah untuk:

1. Melanjutkan program asimilasi dan integrasi, dengan juga mengikutsertakan narapidana narkotika sebagai penyumbang terbesar angka overcrowding lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Mengingat saat ini dunia internasional sedang bergerak melakukan program pembebasan narapidana.  Mengutip data Harm Reduction International setidaknya lebih dari 100 negara sudah dan akan melakukan program pembebasan narapidana atau decarceration.[6]

2. Membuat mekanisme kesehatan publik bagi mereka yang telah mendapatkan program asimilasi, mulai dari memberikan tempat tinggal hingga support psikososial, dengan perhatian khusus yang mereka alami selama COVID-19.

3. Sesegera mungkin melakukan dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika yang masih selama ini menjadi penyumbang besar angka overcrowding penjara. Mengingat angka terpidana narkotika mencapai 52% [7]dari jumlah total narapidana dan tahanan yang ada saat ini.

4. Mendorong Pemerintah untuk memberikan jaminan kesehatan bagi terpidana dan penghuni lembaga pemasyarakatan lainnya (Staf, pegawai pemasyarakatan, dan manajemen lapas).  Dalam hal ini menjadikan penghuni lembaga pemasyarakatan sebagai kelompok prioritas yang harus mendapatkan vaksin COVID-19 segera mungkin dan melakukan test swab PCR secara berkala pada penghuni pemasyarakatan.

Narahubung:
1) Hisyam Ikhtiar (Research and Program officer LBHM): 0857-8049-2233
2) Tengku Raka (Communication Specialist LBHM): 0896-3451-0046

Rilis Pers ini dapat diunduh pada link di bawah ini:
Decarceration: Solusi Permasalahan Pemasyarakatan Yang Menahun


[1] Smslap.Ditjenpas.go.id

[2] Prison and COVID-19: Lesson from an Ongoing Crisis, IDPC, Alexander Soderholm, Hlm. 3

[3] The United Nations Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules), UNODC.

[4] https://covid19.hukumonline.com/wp- content/uploads/2020/04/peraturan_menteri_hukum_dan_hak_asasi_manusia_nomor_10_tahun_2020-2.pdf

[5] Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi COVID-19, LBHM, Hisyam Ikhtiar, Hlm. 13

[6] https://www.hri.global/covid-19-prison-diversion-measures

[7] Ibid., Alexander Soderholm, Hlm. 13

Publikasi – Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi

Pandemi COVID-19, yang menghantam Indonesia genap setahun yang lalu, telah memberikan
dampak yang luar biasa bagi setiap orang, tanpa terkecuali.

Namun, meskipun setiap orang terdampak oleh COVID-19, tetapi tidak semuanya merasakan beban yang sama. Sebagian kelompok masyarakat Indonesia merasakan penderitaan yang jauh lebih berat di banding kelompok lainnya. Kelompok keragaman seksual dan gender salah satu kelompok yang merasakan dampak dari COVID-19, bahkan sebelum pandemi terjadi pun, kelompok ini sudah mengalami beragam marjinalisasi dalam segala bidang kehidupan. Pada masa awal pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapakan di beberapa wilayah di Bulan Maret 2020 sebagai upaya pemerintah untuk menghambat penyebaran COVID-19, Konsorsium CRM mengidentifikasi dan mendistribusikan bantuan kepada ribuan kelompok LGBTQ yang kehilangan mata pencarian dan membutuhkan dukungan bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan sewa tempat tinggal mereka.

Laporan studi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium CRM untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam dan multidimensional terkait dengan kondisi kelompok LGBTQ yang berada di wilayah-wilayah yang terdampak berat oleh pandemi COVID-19. Dalam laporan ini dapat teman-teman temukan secara mendalam tentang dampak pandemi COVID-19 yang dialami oleh komunitas LGBTQ. Salah satu temuan penting dalam laporan ini adalah bahwa lebih dari delapan puluh persen (80%) komunitas LGBTQ yang menjadi responden dari penelitian ini mengalami penurunan pendapatan sampai 25% hingga 50% selama pandemi berlangsung. Penurunan yang signifikan dari pendapatan ini menempatkan setidaktidaknya 63% dari komunitas LGBTQ jauh bawah garis kemiskinan Nasional yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Penelitian dan publikasi laporan studi ini merupakan bagian dari program kerja Konsorsium CRM untuk menguatkan resiliensi kelompok keragaman seksual dan gender di Indonesia di dalam menghadapi krisis, dengan dukungan dari Yayasan Kurawal.

Laporan Penelitian – Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang melanda hingga saat ini telah berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Dampaknya telah dirasakan langsung oleh masyarakat, begitupun dengan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Pasca kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Transformasi ini juga dibarengi oleh peraturan-peraturan baru, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mencegah dan menekan penyebaran yang masif COVID-19 semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 33 Tahun 2020.

Sekalipun banyak peraturan yang lahir, nyatanya kasus Covid-19 terus meningkat angkanya di Indonesia. Kenaikkan angka ini juga menimbulkkan kekhawatiran terhadap perlindungan hak kelompok rentan selama pandemi.

World Health Organization (WHO) sendiri telah mengkategorikan beberapa kelompok rentan yang berisiko mengalami kondisi kronis jika terpapar COVID-19, yakni para lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan penyakit
bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius.

Pengguna narkotika bisa dikatakan sebagai salah satu kelompok rentan, karena pengguna narkotika berpotensi mengalami kondisi yang buruk jika terpapar COVID-19 karena penggunaan narkotika jenis tertentu dapat menimbulkan penyakit penyerta. Di mana penyakit–penyakit tersebut dapat menjadi komorbid sehingga dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

Situasi kesehatan kian riskan ini pun diperburuk dengan stigma dan diskriminasi bagi pengguna narkotika. Stigma dan diskriminasi telah menempatkan penguna narkotika sebagai kriminal. Hal tersebut semakin diperburuk dengan vokalnya pemerintah Indonesia dalam \”War on Drugs\”.

Lewat laporan ini LBHM mencoba melacak bagaimana situasi pemenuhan pengguna narkotika di masa pandemi COVID-19 ditengah gempuran stigma dan diskriminasi serta pandemi berkepanjangan.

Simak laporan lengkapnya di link berikut:
Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Briefing Release – Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis

Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kepada publik jika kesehatan merupakan permasalahan global. Dampak Covid-19 pun telah menyasar dan mengancam kesehatan dan jiwa setiap orang. Salah satu kelompok yang paling terdampak dan rentan adalah mereka yang kini berada di dalam penjara. Orang yang berada di dalam penjara memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar virus COVID-19. Jamak diketahui, situasi pemenjaraan dibeberapa negara masih memprihatinkan terutama terkait buruknya kualitas sarana dan prasarana, fasilitas kesehatan, sanitasi dan tingkat overcrowding penghuni penjara.

Berangkat dari latar belatar tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia (termasuk Indonesia) berinisiatif membuat briefing release berjudul Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis. Briefing realese yang telah disusun ini berfokus kepada 3 poin utama, yaitu:

 1. Pembentukan prosedur kebijakan sebelum menempatkan seseorang ke dalam penjara, altetarif pemenjaraan dan program diversi untuk menghindari pemenjaraan.

2. Dampak COVID-19 terhadap kondisi penjara, termasuk pemenuhan pelayanan harm reduction.

3. Memperhatikan pemenuhan perawatan pasca terlaksananya program pembebasan narapidana dan integrasi, khususnya terhadap kelompok pengguna narkotika

Harapannya, briefing release ini dapat menjadi acuan dan rekomendasi kepada Pemerintah dan pemangku kebijakan terkait untuk segera melakukan langkah mitigasi. Langkah cepat mitigasi tersebut diharapkan dapat segera memutus rantai penyebaran Covid-19 serta menyelamatkan jiwa para penghuni penjara. Disisi lain, pemenuhan  Harm Reduction bagi banyak pengguna narkotika tetap menjadi prioritas di masa pandemi ini.

Untuk membaca Briefieng Release ini selengkapnya, silahkan klik tautan berikut:
Prison and COViD-19: Lesson From an Ongoing Crisis (English)

Rilis Pers – Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) & Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:


Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

Laporan Penelitian – Analisis Kebijakan: Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19

Sebuah apresiasi patut diberikan kepada pemerintah pasca dikeluarkannya kebijakan percepatan Asimilasi dan Integrasi narapidana sebagai upaya untuk mencegah penularan COVID-19. Perlu diketahui jika overcrowding penjara di Indonesia sudah mencapai tingkat yang paling parah. Pada bulan Desember tahun 2019, tercatat bahwa Lapas dan Rutan di Indonesia mengalami overcrowding 100%. Data dari Ditjenpas juga menunjukkan jika ovecrowding hampir mengisi 85% fasilitas penjara (28 Penjara dari 33 Penjara). Pembebasan narapidana pun menjadi sebuah kebijakan yang penting untuk dilakukan

Dalam implementasinya, program asimilasi ini memiliki beberapa permasalahan. Salah satunya adalah keterbukaan data terkait program asimilasi ini, tentang berapa banyak sesungguhnya narapidana yang sudah dibebaskan. Dalam laporan ini, tim LBHM menemukan disparitas data pelepasan narapidana antara pernyataan pemerintah dan data smslap. Walaupun disparitas itu semakin mengecil, ketiadaan kanal resmi yang dapat diakses publik terkait dengan efektivitas program asimilasi di masa pandemi ini juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terkait kalim-klaim angka pembebasan narapidana.

Laporan ini juga menemukan bahwa kebijakan asimilasi pun tidak disertai dengan pengetatan protokol kesehatan yang sedang digaungkan oleh pemerintah dalam menanggulangi pandemik Covid-19. Masih terjadi penyebaran virus Sars-Cov-2 di dalam penjara, seperti yang terjadi di Lapas Garu dan Rutan Pondok Bambu.

Laporan lengkapnya dapat teman-teman baca dengan mengklik di sini.

English version:

The public needs to appreciate the government action of speeding up the process of assimilation and reintegration of prisoners in order to prevent COVID-19 infection. Prior to the pandemic, the rate of overcrowdedness in prisons was in a critical state. On December 2019, the rate of overcrowdedness in correctional facilities and detention centres in Indonesia reached 100%. Ditjenpas’ data also showed that 85% of correctional facilities (28 from 33) experienced overcrowding. The release of prisoners then became an important policy.

During the implementation, this assimilation program faced several challenges. One of which is the transparency of data regarding how many people have been assimilated. In this report, LBHM team found a disparity of numbers between official statements and smslap data. Although the disparity decreased by months, the unavailability of official source of information that can be accessed by public regarding the effectivity of assimilation program during the pandemic can lead to public distrusting the claim of prisoner release.

This report also found that the assimilation policy was not complemented with a rigorous application of health protocol which has been voiced by the government as an effective way to mitigate the COVID-19 pandemic. There were still Sars-Cov-2 virus outbreaks in prisons, such as what happened in Garu Correctional Facility and Pondok Bambu Detention Centre.

The full report can be downloaded at this link.

Buku Panduan – Bantuan Hukum Selama Pandemi Covid-19

Persoalan hukum yang terjadi di masyarakat tidak berhenti sekalipun mengalami situasi pandemi. Permohonan bantuan hukum justru mengalamai kenaikan di masa pandemik ini. Dari situasi tersebut,
pengalaman memberikan bantuan hukum di saat pandemi merupakan hal yang berharga untuk dicatat dan dikabarkan kepada publik sebagai bahan pembelajaran, khususnya terhadap mereka pemberi bantuan hukum, yang memiliki resiko dan beban ganda, antara menjaga keselamatan dari paparan Covid-19 dan memberikan kualitas layanan hukum yang profesional.

Maka dari itu LBH Masyarakat (LBHM) bersama lembaga bantuan hukum lainnya seperti LBH Jakarta, LBH Pers, LBH APIK Jakarta, dan Forum Bantuan Hukum Untuk Kesetaraan (FBHUK) menuliskan sebuah buku panduan bantuan hukum di masa pandemik covid-19. Besar harapan kami buku panduan ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi referensi bagi lembaga bantuan hukum lainnya dalam menjalankan dan memberikan layanan bantuan hukum secara maksimal walaupun sedang berada di masa pandemik.

Buku Panduan ini dapat teman-teman unduh di link ini

Skip to content