Perdagangan gelap narkotika dari dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) di Indonesia semakin marak dan terus berulang, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasinya, termasuk penerapan hukuman mati dan eksekusi. Ketika persoalan terus berulang, sementara cara-cara yang ditempuh tidak efektif, LBH Masyarakat mendesak pemerintah untuk memikirkan ulang kebijakan narkotikanya dan mencari alternatif solusi.
Sebagaimana tajuk utama Harian Kompas, 3 Februari 2017, “Bisnis Narkoba Dikendalikan di 39 LP”, berita ini pada intinya menunjukkan betapa masifnya perdagangan gelap narkotika yang melibatkan narapidana di dalam LP. Namun di sisi lain, berita ini belum mengeksplor lebih dalam aspek-aspek yang membuat hal tersebut terjadi.
Masuknya telepon seluler ke dalam LP menjadi salah satu faktor yang perlu analisis lebih lanjut. Bagaimana dengan mudahnya telepon seluler dapat masuk ke dalam LP? Apakah karena disebabkan lemahnya pengawasan? Apakah menyuap sipir demi memiliki telepon seluler di dalam LP merupakan hal yang lumrah? Kesejahteraan sipir, kemudian, juga menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi hal-hal semacam ini.
Dari sudut pandang narapidana, juga perlu dilihat fakta bahwa hidup di penjara sungguh mahal. Hal ini terjadi dikarenakan budaya pungli (pungutan liar) yang sudah kronis. Setiap layanan (kamar, alat mandi, makanan, dan lain-lain) di dalam penjara juga memiliki harganya masing-masing. Hal ini membuat narapidana di satu sisi juga perlu memiliki sumber penghasilannya sendiri. Sumber penghasilan yang dibutuhkan ini mendorong narapidana untuk kembali melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum.
Mengenai faktor pengawasan, rekan-rekan sipir di LP tentu mengalami kesulitan untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh warga binaan. Hal ini dikarenakan sebagian besar LP di Indonesia saat ini terpaksa menampung narapidana dengan jumlah yang melebihi kapasitasnya. Fenomena overcrowded ini disulut oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sendiri yang dengan kejam juga mengirimkan orang-orang yang sekedar pemakai narkotika ke dalam penjara.
Terhadap masalah-masalah ini, Pemerintah, di dalam berita itu, merencanakan setidaknya 2 (dua) langkah untuk mengatasinya. Yang pertama adalah pengadaan CCTV dan pemindai badan. Lebih dari soal pengadaan alat, yang terutama ialah man behind the gun. Jika CCTV dan pemindai badan tersebut disupervisi oleh orang yang juga korup dan terlibat dalam permainan gelap ini, maka semua pengadaan tersebut akan sia-sia.
Pada eksekusi mati April 2016 kita pelajari bersama hal tersebut. Fredi Budiman, melalui testimoni Haris Azhar, menyampaikan bahwa ada beberapa oknum Pemerintah yang menemui ia di Nusakambangan. Hal tersebut dapat dilihat melalui CCTV yang mengawasi kamarnya. Namun demikian, hasil daripada apa yang direkam di CCTV tersebut tidak pernah terungkap ke hadapan publik. Transparansi menjadi hal yang penting jika memang Pemerintah serius mengatasi problem ini. Sayangnya, kami tidak melihat hal itu, baik soal transparansi dan keseriusan, sampai hari ini.
Hal kedua yang direncanakan Pemerintah ialah mengenai rotasi narapidana. LBH Masyarakat mengecam rencana ini. Ada beberapa alasan kami menolak cara ini. Pertama, pemindahan ini menjadikan narapidana berada jauh dari keluarga yang mana merupakan pengkhianatan terhadap hak narapidana untuk dikunjungi oleh teman dan keluarga. Kedua, narapidana juga akan jauh dari kuasa hukumnya yang mana akan sangat merugikan narapidana apabila ingin melakukan upaya hukum atau langkah hukum lain yang ia butuhkan. Ketiga, hal ini tidak lebih sebagai shortcut yang diambil Pemerintah dalam soal pengawasan yang sayangnya tidak akan menolong keadaan. Idealnya melempar narapidana dari satu LP ke LP lain akan membuat si narapidana kesulitan beradaptasi dan akhirnya, dalam konstruksi Pemerintah, tidak mampu untuk membuat jaringan baru. Namun jika problem korupsi itu sendiri gagal diatasi, maka si narapidana tetap bisa mengatur ke mana ia akan dirotasi dan malahan sudah menyiapkan jaringan di kota yang baru.
Kami juga ingin menyikapi mengenai 4-CMC yang di dalam berita tersebut disebut sebagai narkotika jenis baru. Apabila Pemerintah mau memeriksa laporannya sendiri, dapat disaksikan bahwa stimulan menjadi kategori zat yang paling banyak dikonsumsi dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, perlu disadari bahwa memasukan zat tertentu ke dalam daftar narkotika bukanlah sebuah jawaban. Hal tersebut hanya akan menjadi permainan tanpa akhir antara penegak hukum dan pasar gelap. Melihat permintaan yang tinggi akan narkotika dengan dampak tertentu, tentu pasar gelap akan merespon dengan menciptakan zat baru dengan dampak sejenis yang belum masuk di dalam daftar. Zat baru tersebut merupakan risiko karena kebaruannya membuat kita tidak memiliki data apapun tentangnya sehingga rawan akan dampak yang tidak kita mengerti. Berita ini menuliskan bahwa 4-CMC bisa mengakibatkan kematian namun tanpa menerangkan lebih lanjut tentang situasi seperti apa yang dapat menimbulkan kematian tersebut. Suatu zat selalu bisa mengakibatkan kematian jika konsumsi terhadap zat tersebut di atas yang jumlah yang sepatutnya. Hal ini juga berlaku untuk zat-zat umum yang biasa kita konsumsi, seperti air [1].
Respon pasar ini akan terus datang dan Pemerintah akan selalu ketinggalan. Oleh karena itu, sangat penting bagi Pemerintah untuk mencoba pendekatan baru dalam mengatasi persoalan narkotika. Penjara jelas bukan jawabannya. Untuk mengatasi dampak buruk fenomena zat psikoaktif baru seperti di atas, Pemerintah harus mampu mengedukasi khalayak ramai, termasuk juga pemakai narkotika, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan zat tersebut. Sekarang, bagaimana pemerintah mau merangkul pemakai narkotika, entah untuk membongkar jaringan perdagangan gelap maupun untuk penyuluhan kesehatan, jika di saat yang sama Pemerintah juga mengancam mereka dengan penjara?
Oleh karena itu, untuk menyikapi hal-hal ini kami menyarankan kepada Pemerintah untuk:
- Mendekriminalisasi pemakaian dan kepemilikan narkotika dalam jumlah terbatas. Langkah ini akan dengan cepat, mengatasi problem overcrowded di dalam LP. Dengan jumlah narapidana yang sedikit di dalam LP akan memudahkan rekan-rekan sipir di LP melakukan pengawasan. Dekriminalisasi juga membuat rekan-rekan pemakai narkotika lebih nyaman berinteraksi dengan Pemerintah, termasuk di dalamnya penegak hukum dan petugas kesehatan, sehingga dapat membongkar jaringan lebih besar dan melakukan intervensi kesehatan lebih baik.
- Merapikan sistem yang ada sekarang daripada mencoba hal baru yang menghabiskan anggaran. Daripada melakukan pengadaan baru dan melakukan rotasi yang hanya bersifat tambal-sulam, Pemerintah seharusnya menantang dirinya untuk bisa mensterilkan LP dari telepon seluler yang masuk secara ilegal, memperbaiki situasi sel isolasi, dan menghapus budaya pungli.
- Meningkatkan kesejahteraan rekan-rekan sipir di LP. Hal ini dilakukan dengan maksud agar rekan-rekan sipir tidak melihat narapidana sebagai sumber pendapatan.
Narahubung: Yohan Misero (085697545166)
[1] Man dies of water overdose after drinking 17 pints in eight hours to soothe sore gums http://www.dailymail.co.uk/news/article-1032795/Man-dies-water-overdose-drinking-17-pints-hours-soothe-sore-gums.html