Tag: Koalisi

Pernyataan Bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) Terkait Eksekusi Mati 2 Terpidana Mati di Singapura


Jakarta, 16 Februari 2022 – Tepat hari ini Pemerintah Singapura akan melaksanakan eksekusi mati dengan hukuman gantung terhadap dua terpidana mati yang bernama Roslan bin Bakar dan Pausi bin Jefridin. Keduanya merupakan terpidana mati yang divonis mati karena kepemilikan narkotika. Kami mengecam keras rencana eksekusi mati terhadap kedua terpidana narapidana tersebut.

Menurut data terakhir, kedua terpidana tersebut ditengarai merupakan orang dengan disabilitas intelektual. Pihak pengadilan telah mengakui jika keduanya memiliki permasalahan dengan kemampuan berpikirnya, ditunjukkan dari IQ rendah yang dimiliki oleh para terdakwa. Kedua kasus ini memiliki kemiripan dengan kasus Nagethran (WN Malaysia) yang pada akhir tahun lalu diprotes publik karena memiliki permasalahan kesehatan jiwa dan akan dijadwalkan untuk dieksekusi.

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus di isu hukuman mati, kami mendorong Pemerintah Singapura untuk kembali mempertimbangkan eksekusi ini, mengingat latar belakang kedua terpidana mati merupakan orang dengan disabilitas intelektual, yang mana berdasarkan hukum internasional tidak seharusnya dieksekusi mati sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi:

“Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar kesamaan dengan manusia lain.”

Hal ini juga didukung dengan Resolusi PBB (UN General Assembly resolution 75/183) pada Desember 2020 yang mengatakan bahwa negara-negara tidak seharusnya menjatuhkan hukuman mati terhadap seseorang yang memiliki permasalahan kesehatan jiwa.

Kami sekali lagi mendorong Pemerintah Singapura untuk tidak melakukan eksekusi mati ini dan tidak untuk melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengeksekusi seorang disabilitas psikososial (Skizofrenia) pada tahun 2016. Setidaknya Pemerintah Singapura menyediakan akses ke psikiater untuk menilai kondisi kesehatan jiwanya dan memberikan perawatan yang optimal bagi kedua terpidana. 


English Version:

Joint Statement of the Coalition to Abolish the Death Penalty (Koalisi HATI) Regarding The Execution of 2 Death Row Inmates in Singapore

Jakarta, February 16, 2022 – Today, the Singaporean government will carry out the execution by hanging for two death row convicts, Roslan bin Bakar and Pausi bin Jefridin. Both are death row inmates who were sentenced to death for possession of narcotics. We strongly condemn the planned execution of the two convicts.

According to the latest information, the two convicts are suspected to be people with intellectual disabilities. The court has admitted that both of them have problems with their thinking skills, as indicated by the low IQs of the defendants. These two cases have similarities with the case of Nagethran (Malaysian) which at the end of last year was publicly protested for having mental health problems and was scheduled to be executed.

As a civil society organization that focuses on the issue of the death penalty, we encourage the Singaporean Government to re-consider this execution, given the backgrounds of the two death row convicts are people with intellectual disabilities, which under international law should not be executed as stated in Article 10 of the International Convention on Human Rights. – Rights of Persons with Disabilities which reads:

“States Parties reaffirm that every human being has an inherent right to life and shall take all necessary steps to ensure the effective fulfillment of persons with disabilities on an equal basis with other human beings.”

This is also supported by the UN General Assembly resolution 75/183 in December 2020 which said that countries should not impose the death penalty on someone who has mental health problems.

We once again urge the Government of Singapore not to carry out this execution and not to commit the same mistake that the Government of Indonesia made of executing a psychosocial disability (Schizophrenia) in 2016. At least the Singapore Government provides access to a psychiatrist to assess his mental health condition and provide optimal care for the two convicts.

Koalisi HATI members:

  1. Human Rights Working Group (HRWG)
  2. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
  3. Imparsial (The Indonesian Human Rights Monitor)
  4. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
  5. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
  6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  7. LBH Jakarta
  8. LBH Masyarakat (LBHM)
  9. LBH Pers
  10. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
  11. Migrant Care
  12. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
  13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)
  14. PILNET (Public Interest Lawyer Network)
  15. SETARA Institute
  16. The Association for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST)
  17. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  18. Yayasan Satu Keadilan

Rilis Pers – Kasus Covid-19 Terus Terjadi di Lapas: Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) & Petugas Pemasyarakatan Harus Masuk sebagai Kelompok Prioritas Vaksin

Berdasarkan pemberitaan pada 7 Februari 2021, 52 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terpapar COVID-19. Kondisi ini terbilang memprihatinkan karena kondisi Lapas Sukamiskin tidak mengalami overcrowding, Lapas Sukamiskin diisi 384 WBP dan tahanan dari total kapasitas 560. Data ini menunjukkan bahkan pada Lapas yang physical distancing sewajarnya dapat dilakukan tetapi penularan COVID-19 tetap terjadi. Kondisi ini seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk tidak lengah mencegah penyebaran COVID-19 di rutan dan lapas. Kita bisa bayangkan jika di rutan/lapas yang tidak mengalami overcrowding saja bisa terjadi infeksi COVID-19, bagaimana dengan kondisi di rutan/lapas di Indonesia yang justru sebagian besar mengalami overcrowding.

Sebagai catatan, terlepas dari pernah dilakukannya asimilasi dan integrasi WBP secara masif pada April-Mei 2020 lalu, berdasarkan data Pemasyarakatan dalam Sistem Database Pemasyarakatan, lapas dan rutan masih mengalami overcrowding. Per Januari 2021, beban rutan dan lapas di seluruh Indonesia mencapai 187% dengan tingkat overcrowding di angka 87%. Sebelumnya angka ini berhasil ditekan menjadi 69% pada Mei 2020.

Maka perlu digarisbawahi, petugas rutan dan lapas serta WBP mutlak harus menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Pembiaran akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, utamanya dalam kondisi overcrowding dan penularan di rutan dan lapas yang sudah sangat berbahaya.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:


Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, Aksi Keadilan, IJRS, LBH Masyarakat, LeIP, PPH Unika Atma Jaya, Dicerna, Rumah Cemara

Rilis Pers – Segera Tangani Lonjakan Kasus Covid-19 Di Panti-Panti Sosial Disabilitas Mental

Saat ini, ratusan penghuni panti sosial dan rumah sakit jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia telah banyak yang terpapar Covid-19. Berdasarkan berita yang ditulis oleh Kompas, sebanyak 80 pasien yang merupakan penyandang disabilitas psikososial dari Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi, Makassar terpapar virus Corona. Sementara, dua panti sosial di Cipayung, Jakarta Timur milik Pemprov DKI Jakarta justru menjadi klaster penyebaran virus setelah 302 pasien dinyatakan positif terkena Covid-19. Selain kasus yang telah diberitakan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi serupa juga terjadi di banyak panti sosial disabilitas mental lainnya di Indonesia.

Situasi panti sosial sudah seharusnya menjadi perhatian serius dalam penanganan dan pencegahan kasus Covid-19 mengingat kapasitas, sanitasi, dan gizi di dalam panti relatif tidak layak. Petugas yang keluar masuk tanpa melakukan protokol kesehatan yang ketat, bangunan panti yang cenderung tertutup, sanitasi yang buruk dan gizi yang tidak memadai, hingga pemasungan atau perantaian yang masih terjadi, sangat berpotensi meningkatkan risiko penyebaran virus di dalam panti sosial.

koordinasi yang baik antara Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah/Kota mengenai pengelolaan dan pengawasan panti juga menjadi persoalan lain yang menambah kompleksitas masalah ini.

Rilis lengkap dapat di baca di tautan berikut

Rilis Pers – Maklumat Kapolri Melanggar Konstitusi dan Kaidah Pembatasan Hak Asasi

Setelah beberapa waktu lalu Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama 8 Menteri/Kepala Lembaga/Badan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Kini Kepala Kepolisian RI (Kapolri) mengeluarkan Maklumat Kapolri No.1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

Walaupun maklumat ini merupakan perangkat teknis, namun tedapat salah satu poin yang kontroversial yakni poin 2d tentang perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Hal ini bertentangan dengan konstitusi seperti yang tercantum di Pasal 28F dan juga 28 J ayat (2).

Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya, hal ini diatur dalam General Comment (Komentar Umum) No. 34/2011 dalam Pasal 19 KIHSP. Hal ini juga diperkuat dengan adanya Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka onlineResolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di tautan berikut tautan ini

Rilis Pers – Melawan Kekerasan Berbasis Agama Dengan Tetap Memperhatikan Prinsip Negara Hukum: Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil akan SKB Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI

Pada Hari Ini, 30 Desember 2020 Pemerintah Republik Indonesia Mengumumkan ” Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol Dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam” dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Berbagai organisasi Masyarakat Sipil selama ini turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Berbagai organisasi tersebut juga meminta Aparat Penegak Hukum serta negara melakukan tindakan-tindakan penegakkan hukum terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum. Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum. Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian namun di sisi lain, Negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law.

Namun, Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (selanjutnya disingkat SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Pernyataan lengkap Koalisi Masyarakat Sipil terhadap terbitnya SKB terkait pembubaran FPI dapat di baca di tautan ini

Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pembubaran Ormas FPI dapat di unduh di sini

Rilis Pers – Amicus Curiae untuk Jaminan Kesehatan Nasional yang Lebih Inklusif

Pada tanggal 10 Agustus 2020, tiga organisasi masyarakat sipil yaitu Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) terhadap Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres JKN) didampingi oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Perpres No. 82/2018 tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas psikososial, yakni orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka. Orang dengan disabilitas psikososial yang didiagnosis memiliki skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kepribadian, dan gangguan kecemasan rentan mengalami gangguan episodik yang menyebabkan mereka untuk melukai diri sendiri (self-harm) atau melakukan upaya bunuh diri.

Dalam rangka memperingati Universal Health Coverage Day yang jatuh pada tanggal 12 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Into the Light Indonesia (ITLI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya (PPH Atma Jaya) mendaftarkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) untuk mendukung gugatan koalisi masyarakat sipil terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Rilis lengkapnya dapat teman-teman baca di sini

Rilis Pers Koalisi Untuk Hapus Hukuman Mati (KOHATI) – Hapuskan Hukuman Mati di Indonesia

Setiap tahunnya, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Anti Hukuman Mati Sedunia. Jika melihat pada konteks global, tren putusan vonis mati sebenarnya mengalami penurunan dan tren abolisi terhadap hukuman mati semakin menguat.

Di saat tren di tingkat global terdapat tren yang positif dalam upaya penghapusan hukuman mati yakni terjadinya penurunan angka penjatuhan maupun eksekusi mati. Di Indonesia justru yang terjadi sebaliknya, tren global ini tidak diikuti oelh pemerintah Indonesia. Justru yang terjadi adalah angka penjatuhan hukuman mati di Indonesia meningkat sejak 4 tahun kebelakang saat ini terdapat 173 kasus yang mendapatkan vonis hukuman mati.

Walaupun Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB 2020-2022 bahkan juga menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang merupakan posisi yang sangat dihormati dan strategis di level internasional. Namun pada realitanya, Indonesia masih juga belum memiliki political will untuk mendukung rekomendasi moratorium maupun abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB.

Siaran pers lengkapnya dapat teman-teman unduh di sini

Rilis Pers – Kondisi Buruk Lapas Terekspos Kembali: Mutlak, Reformasi Kebijakan Pidana Harus Perhatikan Lapas

Lagi-lagi kondisi buruk dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terungkap. Kali ini dibeberkan oleh Surya Anta, yang pernah menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat melalui cuitan dalam twitter miliknya. Surya Anta membeberkan kondisi buruk pada Rutan Salemba mulai dari kondisi pemenuhan hak dasar WBP yang tidak memadai, yaitu hak atas makanan hingga hak atas kesehatan, juga terjadinya praktik perdagangan gelap narkotika hingga komodifikasi untuk pemenuhan fasilitas layak di dalam Lapas.

Sudah bukan rahasia umum lagi jika situasi penjara di Indonesia itu sangat tidak manusiawi. Pernyataan yang disampaikan oleh Surya Anta membuktikan jika penjara kita perlu dilakukan perombakan besar, salah satunya merombaknya dari hilir, dengan mengganti pendekatan punitif yang selama ii selalu bermuara ke dalam penjara, khusunya kelompok pengguna yang kerap kali menjadi korban dari kebijkan punitif ini.

Overcrowd yang terjadi di dalam penajara bukanlah halusinasi belaka, ternyata memang betul terjadi, bagaimana Surya Anta menggambarkan keadaan di dalam lapas. Bisa dibayangkan dengan kondisi penjara yang minim fasilitas dengan sesaknya penghuni akan seperti apa, tentunya akan menyebabkan masalah lain seperti masalah kesehatan, jika tidak cepat ditangani maka negara telah melakukan pelanggaran hak asasi terhadap narapidana.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) memberikan beberapa masukan dan data tentang situasi pemenjaraan di Indonesia, rilis lengkapnya dapat di unduh di sini

Skip to content