Tag: Hak Atas Kesehatan

Rilis Pers – Amicus Curiae untuk Jaminan Kesehatan Nasional yang Lebih Inklusif

Pada tanggal 10 Agustus 2020, tiga organisasi masyarakat sipil yaitu Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) terhadap Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres JKN) didampingi oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Perpres No. 82/2018 tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas psikososial, yakni orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka. Orang dengan disabilitas psikososial yang didiagnosis memiliki skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kepribadian, dan gangguan kecemasan rentan mengalami gangguan episodik yang menyebabkan mereka untuk melukai diri sendiri (self-harm) atau melakukan upaya bunuh diri.

Dalam rangka memperingati Universal Health Coverage Day yang jatuh pada tanggal 12 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Into the Light Indonesia (ITLI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya (PPH Atma Jaya) mendaftarkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) untuk mendukung gugatan koalisi masyarakat sipil terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Rilis lengkapnya dapat teman-teman baca di sini

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.

Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.

Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini

Yang Dibutuhkan Itu #SayangODHA, Bukan Stigma

Jimmy, seorang positif HIV harus di-PHK dari tempat kerjanya sesaat setelah ia mengungkapkan status HIVnya kepada rekan kerjanya.[1] Putri -bukan nama sebenarnya- juga harus mengalami nasib serupa, ia dipecat karena status HIVnya.[2] Selain syarat kerja bebas HIV, diskriminasi berupa PHK atau pemecatan sepihak menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang cukup sering dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Salah seorang pengusaha di Jakarta bahkan dengan gamblang mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan memecat karyawannya yang terbukti HIV positif.[3] Perusahaan yang melakukan pemecatan beralasan bahwa pegawai yang positif HIV memiliki kondisi tubuh yang lemah sehingga tidak akan produktif.[4]

Meski HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, orang dengan HIV/AIDS belum tentu sakit-sakitan dan lemah. ODHA sangat mungkin menjalani kehidupan yang produktif dan berkontribusi bagi masyarakat dengan cara melakukan terapi Anti-Retroviral (ARV), di mana terapi ini dapat menekan perkembangan HIV, sehingga kekebalan tubuh dapat berfungsi lebih optimal.[5] Tidak hanya itu, ARV terbukti memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh replikasi HIV yang tidak terkontrol.[6] Namun, mengakses layanan kesehatan ARV memerlukan komitmen yang tinggi dari ODHA. Dukungan sosial menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV.[7] Dukungan sosial dapat berupa emosi, seperti ekpresi rasa empati, kasih, dan kepercayaan.[8] Sikap dan tindakan seperti menjauhkan, mengisolasi secara sosial di lingkungan kerja, hingga memecat ODHA jelas bukan sikap yang diharapkan dan dapat mendukung kesehatan ODHA.

Pemecatan karena status HIV juga merupakan pelanggaran hak asasi dan hukum, bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9] Perlakuan diskriminatif berupa pemecatan juga tidak sesuai dengan Komentar Umum Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, No 18 tentang Hak Atas Pekerjaan.[10] Di dalam Komentar Umum ini terdapat empat elemen yang saling bergantung dalam pemenuhan hak atas kesehatan, di antaranya elemen ketersediaan, keterjangkauan, serta elemen keberterimaan dan kualitas. Pemecatan ODHA tidak sesuai dengan elemen keterjangkauan yang di dalamnya mencakup asas non-diskriminasi. Sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 2 ayat (2) dan (3) – yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 – yang melarang segala bentuk dikriminasi dalam mengakses dan mempertahankan pekerjaan.[11] Selain itu, pemecatan juga melanggar elemen keberterimaan yang menjamin pekerja (termasuk mereka yang ODHA) mendapatkan rasa aman. Untuk konteks isu HIV, rasa aman tersebut dapat berupa lingkungan kerja yang ramah dan bersih dari stigma dan diskriminasi.

Perusahaan dan pengusaha justru harus dan dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.[12] Pencegahan dan penanggulangan yang wajib dilakukan pengusaha/perusahaan meliputi menyebarluaskan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS, mengadakan pelatihan, memberikan perlindungan terhadap pegawai yang positif HIV dari tindak dan perlakuan diskriminatif, serta menerapkan prosedur Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan Kerja (K3) di isu HIV.[13] Sama seperti pegawai lainnya, hak-hak kesehatan ODHA juga harus dijamin oleh perusahaan. Perusahaan harus menjamin layanan kesehatan ODHA seperti jaminan asuransi, perlindungan sosial, atau paket asuransi lainnya yang terjangkau.[14]

Pada akhirnya yang dibutuhkan dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif ialah kasih sayang, bukan stigma.

“I have decided to stick with love. Hate is too great a burden to bear.” Martin Luther King Jr

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan

[1] Detik.com, “Dipecat Karena Idap HIV, Jimmy Harap tak Ada Lagi Diskriminasi”, Desember 2011, diakses pada 16 Juli 2018, melalui https://news.detik.com/jawabarat/1780236/dipecat-karena-idap-hiv-jimmy-harap-tak-ada-lagi-diskriminasi

[2] Ujung Pramudiarja, Detik.com, “Perusahaan yang Intimidasi Orang HIV/AIDS cuma Didenda 100 Ribu”. November 2010, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://hot.detik.com/celeb-personal/read/2010/11/24/080200/1500912/763/perusahaan-yang-intimidasi-orang-hiv-aids-cuma-didenda-100-ribu

[3] Raya Desmawanto, “Pegawai Diskotik yang Kena HIV Bakal Dipecat”, Agustus 2017, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/08/04/pegawai-diskotik-yang-kena-hiv-bakal-dipecat

[4] Fuji Aotari, “Stigma HIV: Impresi yang Belum Terobati”, LBH Masyarakat, Maret 2018, Hal. 17, diakses melalui https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2018/04/Seri-Monitor-dan-Dokumentasi-Stigma-HIV-Impresi-yang-Belum-Terobati.pdf

[5] Internasional Labor Organization (ILO), “Flipchart Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS”, 2011, Hal. 34.

[6] Calvin J Cohen, “Successful HIV Treatment: Lesson Learned”, Academic of Managed Care Pharmacy, September 2006, Hal. S6, diakses melalui http://www.amcp.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=14771

[7] Ingrid T Katz, “Impact of HIV-related Stigma on Treatment Adherence: Systematic Review and Meta-synthesis”, National Center for Biotechnology Information, November 2013, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3833107/

[8] Peter K Olds, “Explaining Antiretroviral Therapy Adherence Success Among HIV-Infected Children in Rural Uganda: A Qualitative Study”, National Center for Biotechnology Information, April 2015, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4393764/#R21

[9] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

[10] Dominggus Christian, “Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional”, LBH Masyarakat, April 2016, Hal 36, diakses pada https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/140416_Compile-HIV-Legal-Audit.pdf

[11] Ibid.

[12] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (1)

[13] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (2)

[14] Kaidah Internasional Labour Organization tentang HIV dan Dunia Kerja, No. 10

Rilis Pers LBH Masyarakat & PKNI – Menangani Permasalahan Narkotika: Pemerintah Jangan Jadi Pemadam Kebakaran

LBH Masyarakat dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menyesalkan penetapan tersangka TS dan proses kriminalisasi pada rekan-rekan pengguna zat-zat psikotropika. Penangkapan beberapa artis belakangan ini menambah deret panjang pendekatan punitif yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menyelesaikan permasalahan narkotika, psikotropika dan zat aditif (napza). Alih-alih memberantas peredaran gelap napza, penegak hukum justru memilih untuk fokus pada target operasi (TO) yang terdiri dari nama-nama daftar figur publik yang menggunakan napza.

“Penetapan tersangka TS memperpanjang daftar hitam upaya kriminalisasi pada pengguna napza. Rekan-rekan pengguna napza seharusnya diintervensi dengan pendekatan kesehatan, bukannya hukum pidana. Hal ini menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi persoalan peredaran gelap napza, yang di satu sisi mendorong pengguna napza untuk merehabilitasi diri namun ketika dihadapkan dengan fenomena itu malah mengedepankan upaya-upaya punitif,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat.

“Di sisi lain, kami juga mengapresiasi perubahan sikap penegak hukum yang sebelumnya tidak membuka pemeriksaan kesehatan bagi TS hingga akhirnya ia dapat diasesmen di RSKO, Cibubur” puji Yohan.

“Memang benar bahwa Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengkriminalkan kepemilikan psikotropika yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum, namun Pasal 41 peraturan yang sama membuka ruang putusan rehabilitasi yang, menurut hemat kami, seharusnya dapat dijadikan pijakan bagi penegak hukum untuk melakukan diskresi untuk tidak memproses perkara-perkara semacam ini,” tambah Yohan.

“Diskresi semacam itu dibutuhkan untuk membuktikan komitmen pemerintah terhadap pendekatan kesehatannya terhadap pemakai napza. Penjara bukan solusi yang tepat bagi pemakai napza, tidak ada bukti atau riset yang membuktikan bahwa upaya punitif pada penggunaan zat akan mengubah perilaku,” sambungnya.

“Pendekatan punitif yang terus diterapkan oleh penegak hukum pada beberapa figur publik akhir-akhir ini juga akan menghambat program kesehatan pemerintah pada pengguna napza, karena tentu publik akan berpikir bahwa jika seseorang yang figurnya sebesar itu saja diproses hukum bagaimana nasib mereka yang bukan siapa-siapa?” ujar Yohan.

Yohan kemudian menjelaskan, “Kami masih berharap bahwa penegak hukum, termasuk Jaksa nantinya, memiliki keberanian untuk melakukan diskresi untuk tidak melanjutkan proses terhadap kasus ini maupun kasus-kasus sejenis. Namun jika hal itu tidak terjadi, kami ingin agar Majelis Hakim yang memutus perkara juga melandaskan putusannya pada Pasal 41 UU Psikotropika agar pengguna psikotropika mendapatkan haknya untuk memperoleh rehabilitasi – sebuah intervensi yang jauh dibutuhkan olehnya daripada pemenjaraan.”

Kebanyakan dari figur publik ini, seperti TS, misalnya, tidak mengetahui bahwa Dumolid yang dia konsumsi adalah psikotropika, dia hanya tahu bahwa Dumolid adalah obat penenang. Menanggapi hal ini Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi mengatakan “Penangkapan sejumlah artis, seperti TS, apabila dianggap sebuah keberhasilan, maka hal ini merupakan kesalahan besar. Seharusnya kasus ini ditarik ke akar masalahnya. Pertanyaan besar dari fenomena ini ialah: mengapa sampai psikotropika jenis Dumolid ini yang notabene hanya boleh beredar di apotek dan Rumah Sakit bisa beredar bebas di pasaran?”

“Dumolid, yang zat utamanya ialah nitrazepam, adalah sebuah obat yang tergolong psikotropika golongan IV. Ia memiliki dampak penenang dan sering digunakan untuk mengatasi kegelisahan yang hebat, sulit tidur, dan lain sebagainya. Peredaran gelap zat semacam ini seharusnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam mengatasi persoalan kesehatan mental. Ternyata, publik masih memilih untuk memperoleh obat semacam ini secara ilegal, bukannya datang ke psikiater untuk memperoleh obat tersebut secara sah. Hal ini menunjukan masih tingginya stigma dan diskriminasi pada mereka yang memiliki masalah kesehatan mental dan pemerintah semestinya meningkatkan kampanye untuk mengentaskan stigma tersebut,” kata Yohan.

“Mengenai peredaran, perdagangan, dan penyerahan psikotropika sebenanarnya telah diatur dalan UU Psikotropika, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, di mana tidak sembarang pihak boleh melakukan hal-hal tersebut. Sehingga apabila ada kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan, seperti peredaran psikotropika secara gelap, maka Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makananlah yang harus bertanggung jawab.” tambah Alfiana.

Sebagai penutup, Alfiana berujar, “Untuk itu kami menuntut pemerintah untuk tidak hanya menjadi pemadam kebakaran. Pemerintah harus bertindak cerdas dalam menyelesaikan masalah. Pemerintah seharusnya sibuk mengatasi akar masalah bukannya menampilkan keberhasilan semu dalam mengeksploitasi fenomena-fenomena kecil seperti ini. Ke depan, harus ada komitmen bersama dari legislatif dan eksekutif untuk menangani permasalahan napza ini – terutama perubahan peraturan agar tidak ada proses kriminalisasi hanya karena seseorang mengonsumsi sebuah zat kimia yang ia butuhkan.”

 

Jakarta, 9 Agustus 2017

Skip to content