Category: HIV

HIV LBHM

Laporan Monitoring dan Dokumentasi Media Orang dengan HIV dan Populasi Kunci 2021-2022 [ID/EN]

Kebijakan penanggulangan HIV Indonesia dalam kalkulasi di atas kertas memang mengagumkan. Namun, kebijakan normatif itu ompong dalam implementasi. Laporan yang dihadirkan di hadapan Anda saat ini menyajikan temuan itu dalam narasi dan data yang aktual. Meskipun permasalahan dari waktu ke waktu dalam penanggulangan HIV selalu berulang, yaitu langgengnya stigma dan diskriminasi, tetapi dalam laporan ini diuraikan secara komprehensif dari level hulu hingga hilir dari satu aktor ke aktor lain, baik yang berada di skala nasional atau lokal dalam konteks kebijakan dan praktik lapangan penanggulangan HIV. Oleh karena itu, dengan menyelami laporan ini, kita akan memahami kemelut persoalan HIV dari berbagai aspek.

Publikasi Advokasi – Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Suburnya stigma dan diskriminasi yang menyasar Orang yang Hidup dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci memperpanjang epidemi HIV di Indonesia. Hambatan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) ini selalu muncul dengan variasi bentuk dan aktornya, baik yang dilakukan negara (commission) maupun yang dibiarkan oleh negara (omission). Namun, persoalan sosial, hukum, dan politik yang mewarnai persoalan epidemi HIV ini pun turut mendorong inisiatif-insiatif baik dari beragam organisasi masyarakat sipil yang ada di level nasional maupun daerah.

Bergerak dari hal tersebut LBH Masyarakat (LBHM) mencoba menyusun sebuah riset yang dapat mendorong kebijakan progresif dalam permasalahan HIV yang disusun dalam laporan \”ToC: Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia\”.

Dalam prosesnya LBHM melakukan beberapa kali temu diskusi atau Forum Grup Diskusi (FGD) dengan beberapa komunitas yang mempunyai konsern dan fokus isu HIV di berbagai wilayan Indonesia. FGD ini bertujuan untuk Melakukan identifikasi situasi terkini advokasi HIV dan hukum bagi kelompokmarginal di Indonesia, Memetakan kebutuhan advokasi tiap-tiap kelompok populasi kunci HIV, Memetakan situasi dan kondisi di lapangan. Hal ini diperlukan untuk menyuguhkan laporan dengan data yang komperhensif dan faktual.

Teman-teman dapat membaca laporan lengkapnya di sini:
Theory of Change (ToC): Strategi Advokasi HIV dan Hak Asasi Manusia

Laporan Penelitian – Intervensi Berbasis Keluarga Dalam Kebijakan HIV: Sebuah Tinjauan Hak Asasi Manusia

Dalam upaya penanggulangan HIV, keluarga memiliki peran sejak tahap
pencegahan sampai pengobatan dan perawatan. Keluarga menjadi elemen yang tidak terpisahkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan, termasuk dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini tercermin dari penerapan prinsip yang berorientasi pada pertahanan
dan kesejahteraan keluarga, sebagaimana diadopsi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS (Permenkes 21/2013).

Sayangnya keluarga juga dapat menjadi pendorong penyebab penularan HIV hal ini dikarenakan adanya permasalahan internal seperti kurangnya dukungan keluarga, perceraian, kurang kasih sayang dll. yang dimana dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan perilaku berisiko.

Keluarga dengan ketahanan yang baik dapat menjauhkan individu dari perilaku yang berisiko tinggi menularkan HIV, dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh ODHA sehingga mereka tetap dapat menjadi individu yang berkualitas dan produktif demi kemajuan bangsa.

Internvensi pemerintah dalam memnentukan \’keluarga\’ lewat konsep ketahanan keluarga ternyata memunculkan banyak permasalahan yang dampat berdampak pada kelompok rentan seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Intervensi yang minim bukti ilmiah justru sangat berbahaya karena dapat menimbulkan stigma dan diskriminasi, seperti munculnya rancangan undang-undang Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang kontroversial menempatkan keluarga sebagai benteng atas ‘bahaya LGBT’ yang dinilai menyebarkan infeksi HIV.

Hasil laporan ini dapat teman-teman baca dan nikmati di sini

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.

Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.

Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini

Monitoring dan Dokumentasi – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait informasi kesehatan seputar HIV/AIDS akan menyebabkan sebuah kesalahpahaman dalam memandang penyakit HIV maupun orang/kelompok yang mengidap HIV/AIDS. Kesalahpahaman informasi ini akan memunculkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). Tidak hanya stigma, perilaku diskriminatif pun tercipta dari kegagalan publik dalam memahami informasi terkait HIV/AIDS.

Disinformasi HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus mengakar di publik. Tidak adanya sistem informasi yang baik terkait HIV

baik terkait informasi kesehatan tentang HIV/AIDS, justru

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Ketidakadilan HIV, Krisis yang Belum Usai

Maraknya kesalahpahaman mengenai Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkembang di masyarakat melahirkan stigma terhadap HIV dan Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Stigma yang diberikan masyarakat ini berdampak buruk pada ODHA, mengingat pelabelan cap buruk umumnya disertai dengan tindakan diskriminatif. Salah satu stigma yang disematkan masyarakat terhadap HIV, yakni dianggap menjadi faktor penghambat pembangunan dan penyebab kesejahteraan menurun.

Pelekatan stigma dan perlakuan diskriminasi yang dilakukan masyarakat terhadap ODHA tersebut mengakibatkan ODHA tidak dapat menikmati hak asasi manusianya secara penuh. Pelanggaran hak atas privasi berupa pemeriksaan HIV tanpa persetujuan pasien menempati posisi teratas dalam pelanggaran hak-hak ODHA. Sulitnya mengakses layanan kesehatan juga menjadi bukti yang kuat ada cedera dalam pemenuhan hak-hak ODHA.

Salah satu contoh diskriminasi pada tahun 2018 terjadi di Provinsi Papua. Para calon atlet yang akan mengikuti kompetisi Pekan Olahraga Nasional 2020 wajib mengikuti serangkaian tes kesehatan yang salah satu indikatornya terbebas dari virus HIV. Hasilnya beberapa calon atlet batal mengikuti kompetisi karena dinyatakan terinfeksi virus HIV. Bentuk diskriminasi lain yang masih sering terjadi adalah penolakan masyarakat untuk memulasara jenazah ODHA. Kesalahpahaman terhadap cara penularan HIV ini membuat masyarakat enggan untuk membantu pemrosesan perawatan jenazah ODHA.

Dilihat dari fakta-fakta ini, pemanusiaan ODHA masih harus menempuh perjalanan panjang. Posisi ODHA sebagai bagian dari kelompok rentan membuatnya sulit untuk menuntut hak-haknya. Terlebih lagi dalam situasi ini pemerintah juga menjadi pelaku diskriminasi ODHA melalui produk hukum. Contohnya seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang mewajibkan calon pengantin melakukan tes HIV melalui Perda Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.

Kamu dapat mengunduh laporan ini dengan mengunjungi tautan berikut.

Kajian Hukum dan Kebijakan HIV di Indonesia

“HIV adalah persoalan hak asasi manusia.” Sepertinya, belum banyak pihak yang memahami betul pernyataan tersebut. Umumnya, banyak pihak memahami HIV sebagai persoalan kesehatan saja. Hal ini wajar, mengingat di mata orang awam HIV dilihat sebagai virus yang menyebabkan penyakit AIDS dan oleh karenanya pembahasan persoalan HIV dan AIDS cenderung dibingkai di media massa sebagai liputan isu kesehatan. Namun sesungguhnya, HIV bukanlah semata soal virus yang menyebabkan kekebalan tubuh manusia menjadi berkurang.

Persoalan HIV/AIDS, seperti halnya persoalan penyakit lainnya, juga erat kaitannya dengan isu hak asasi manusia. Orang yang hidup dengan HIV sering kali mendapat stigma dari masyarakat, di mana mereka kerap dicap sebagai pendosa. Stigma inilah yang kemudian juga memunculkan praktik-praktik diskriminasi terhadap orang dengan HIV, mulai dari pengusiran dari keluarga karena dianggap membawa aib, hingga pengucilan dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi ini sesungguhnya berakar dari ketidaktahuan ataupun ke-tidak-mau-tahu-an terhadap apa itu HIV dan bagaimana penyebarannya. Dalam konteks inilah, mengatasi stigma dan diskriminasi yang menyelimuti isu HIV menjadi penting. Karena, stigma dan diskriminasi memicu pelanggaran hak asasi manusia orang dengan HIV, yang akhirnya akan menjauhkan mereka dari layanan yang mereka perlukan, termasuk melahirkan kerentanan terhadap mereka yang berpotensi mengidap HIV. Oleh karena itu, persoalan HIV bukan hanya mengenai pencarian formula mujarab untuk mengatasi virus HIV/AIDS, tetapi juga bagaimana mengembangkan dan menjalani program dan layanan kesehatan HIV yang humanis, peka jender, dan non-diskriminatif.

Diskriminasi, dalam diskursus hak asasi manusia, dapat terjadi karena ketiadaan perlindungan hukum ataupun justru karena adanya hukum dan kebijakan yang diskriminatif. Berangkat dari pemahaman inilah, LBH Masyarakat melakukan kajian terhadap hukum dan kebijakan Indonesia yang berkenaan dengan isu-isu HIV. Sebagai organisasi hukum/hak asasi manusia, tentu bukan pada kapasitas keahlian LBH Masyarakat untuk bekerja di ranah pengobatan dan perawatan HIV. Kontribusi kami untuk menanggulangi persoalan HIV adalah dengan menelusuri hukum dan kebijakan Indonesia yang berkaitan dengan HIV guna melihat apakah ada hukum dan kebijakan yang mendukung program HIV dan oleh karenanya harus ditingkatkan, maupun hendak menemukan apakah ada hukum dan kebijakan yang justru menghalangi program HIV dan oleh karena itu perlu dihapus.

Buku yang sekarang Anda baca ini adalah buah dari kerja keras LBH Masyarakat selama satu tahun terakhir mengkaji hukum dan kebijakan Indonesia yang berhubungan dengan persoalan HIV di area pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kependudukan, dan pemidanaan. Kami berharap temuan dan rekomendasi yang kami hasilkan di laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terutama pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan HIV yang berbasis pada hak asasi manusia.

Laporan studi ini tidak akan sampai ada di tangan Anda apabila bukan karena ketekunan dua orang peneliti LBH Masyarakat, Arinta Dea dan Naila Rizqi Zakiah, yang giat mempelajari sejumlah hukum dan kebijakan Indonesia maupun mewawancarai sejumlah pihak terkait. Apresiasi juga LBH Masyarakat sampaikan kepada Ajeng Larasati, Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat, sebagai pembaca ahli yang memberikan masukan kritis terhadap penyelesaian laporan ini.

Tentu saja, apresiasi juga LBH Masyarakat haturkan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang mendukung studi ini dari awal hingga akhir. Terima kasih juga LBH Masyarakat sampaikan kepada jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang dan Banjarmasin; dan instansi pemerintah lainnya yakni Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten Bogor, Indramayu, Denpasar, Lombok Barat, Palembang, dan Banjarmasin; Dinas Sosial Banjarmasin, Palembang, Indramayu; Dinas Kesehatan Bogor, Banjarmasin, Denpasar, Lombok Barat, Palembang; Lembaga Pemasyarakatan Bpgor, Banjarmasin, Lombok Barat; Satpol PP Bogor, Denpasar, Lombok Barat, Indramayu; dan Badan Narkotika Nasional Kota Palembang; yang seluruhnya berpartisipasi aktif di dalam diskusi kelompok terarah ketika tim peneliti mengunjungi kota-kota tersebut.

LBH Masyarakat juga mengapresiasi keterlibatan dan masukan dari komunitas yang memperkaya temuan literatur tim peneliti, yaitu dari: PKBI Indramayu (Indramayu), KDS Samaya (Indramayu), KDS Indramayu (Indramayu), LKKNU Kalimantan Selatan (Banjarmasin), PKBI Kalsel (Banjarmasin), KDS Borneo Plus (Banjarmasin), ASA Borneo (Banjarmasin), IWB Banjary (Banjarmasin), PEKA Bogor (Bogor), Srikandi Pakuan (Bogor), G-Life (Bogor), Lekas (Bogor), Sahira (Bogor), GWL INA (Denpasar), YKP (Denpasar), Yayasan Inset (Lombok Barat), Aksi NTB (Lombok Barat), YIM (Palembang), Sriwijaya Plus (Palembang), dan PKBI Sumatera Selatan.

Terakhir, LBH Masyarakat turut ucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang telah membantu proses studi ini hingga selesai. LBH Masyarakat memohon maaf apabila ada kekurangan baik substansi maupun teknis penulisan laporan ini. Dengan senang hati kami menerima kritik dan masukan untuk perbaikan laporan ini ke depannya.

Akhir kata, laporan ini kami persembahkan kepada orang-orang dengan HIV dan anggota komunitas yang perjuangannya melawan virus HIV dan virus stigma dan diskriminasi adalah sumber inspirasi bagi kami di LBH Masyarakat.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Stigma HIV, Impresi yang Belum Terobati

Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.

Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.

Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.

Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

 

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Laporan Pelanggaran HAM – Ancaman Bagi Kesehatan Populasi Kunci HIV dan TB

Virus HIV dan TB rentan menjangkit kelompok-kelompok yang termarjinalkan di masyarakat, seperti pengguna narkotika, waria, laki-laki gay, pekerja seks, tahanan, dan orang-orang yang kurang mampu secara ekonomi. Karenanya, tidak jarang mereka mendapatkan stigma berganda yang kerap kali menghalangi upaya mereka untuk hidup sehat dan bermanfaat.

Penelitian ini melakukan dokumentasi terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami oleh para populasi kunci HIV dan TB di 14 distrik di Indonesia selama periode waktu 2016-2017. Penelitian ini menemukan 387 kasus pelanggaran HAM dan perlakuan buruk yang semuanya memberikan kerugian materil bagi mereka dan menambah risiko mereka semakin sulit mengakses layanan kesehatan.

Populasi kunci paling sering mengalami pelanggaran HAM di lingkungan kesehatan. Pelanggaran ini terjadi karena negara tidak bisa memenuhi aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas dari layanan kesehatan. Bentuk-bentuk pelanggaran yang mereka terima contohnya seperti tidak tersedianya tenaga kesehatan, tidak tersedianya obat, penolakan ketika mendapatkan pelayanan tertentu, dan ketidakramahan petugas kesehatan ketika mereka mengakses layanan. Selain itu terdapat juga tindakan pemaksaan perlakuan medis yang melanggar aspek kebebasan pasien.

Karena ketakutan mendapatkan stigma dan diskriminasi, para populasi kunci seringkali menyembunyikan status mereka sebagai ODHA, pengidap TB, pekerja seks, pengguna narkotka, ataupun homoseksual. Sayangnya, privasi ini masih sering dibocorkan oleh aktor-aktor negara yang seharusnya menyimpan rahasia mereka, seperti tenaga kesehatan atau penegak hukum. Tidak sedikit korban pembocoran status yang mengalami diskriminasi lanjutan di tempat kerja atau lingkungan ketetanggaan.

Beberapa anggota populasi kunci seperti pengguna narkotika dan pekerja seks seringkali harus berhadapan dengan penegak hukum. Pada saat berhadapan inilah, mereka kerap kali mendapatkan penyiksaan. Para populasi kunci seperti LSL dan pekerja seks yang sering menjadi korban tindak pidana pun seringkali mendapatkan pembatasan ketika mengakses peradilan pidana.

Pihak penyedia jasa pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan yang dikelola oleh negara turut melakukan pelanggaran HAM terhadap populasi kunci. Mereka dianggap sakit-sakitan, berdosa, atau menjadi ancaman bagi orang lain sehingga ditolak dan didiskriminasi ketika hendak belajar atau bekerja.

Populasi kunci juga menghadapi kendala dalam mengakses hak untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal. Beberapa pengidap HIV dan TB menghadapi pengusiran yang difasilitasi oleh kepala wilayah tempatnya bermukim.

Selain menghadapi ancaman dari negara, anggota populasi kunci juga tetap mendapatkan kecaman dari masyarakat sipil. Mereka menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan di lingkungan ketetanggaan dan lingkungan privat. Negara seharusnya bisa hadir di sana untuk menjaga agar tindakan-tindakan semacam ini tidak terjadi.

Dokumentasi yang ada di hadapan Anda ini adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan betapa pelanggaran HAM sanggup untuk menghalangi upaya pemulihan kesehatan populasi kunci. Pelanggaran HAM harus secara cepat dan menyeluruh ditanggulangi oleh negara sehingga korban mendapatkan keadilan dan pelanggaran berikutnya bisa dicegah.

\"\"

Anda dapat mengunduh laporan ini dengan klik link berikut.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Diskriminasi HIV, Stigma yang Mewabah

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia tercatat paling tinggi di antara kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah kumulatif dari tahun 2005 hingga 2015 sebesar 191.073 kasus HIV dan 77.121 kasus AIDS. Selama sepuluh tahun terkahir, berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah mulai dari program harm reduction di tahun 2006, pencegahan penularan melalui transmisi seksual (PMTS), pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA), hingga Strategic Use of ARV (SUFA) pada tahun 2013. Namun, program-program tersebut masih belum bisa mengatasi permasalahan HIV/AIDS sepenuhnya di Indonesia.

Salah satu penyebab kurang efektifnya program penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan populasi yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS (umumnya dikenal dengan sebutan ‘populasi kunci’). Direktur Eksekutif UNAIDS mengemukakan bahwa stigma merupakan tantangan terbesar yang menghambat kegiatan penanggulangan di tingkat masyarakat, nasional, dan global. Anggapan mengenai perilaku berisiko sebagai sesuatu yang melanggar norma dan nilai lokal sering kali menjadi dasar kekeliruan pandangan dalam menyikapi HIV/AIDS. Di Indonesia, populasi kunci yang beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS adalah pengguna narkotika jarum suntik, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, serta pelaku seks berisiko. Sebagian besar masyarakat masih memiliki mispersepsi terhadap populasi kunci sebagai orang dengan perilaku amoral atau asusila. Pemarginalan ODHA dan populasi kunci seakan terlegitimasi sebagai sanksi sosial.

Sebagai lembaga yang memiliki fokus dalam hal pemenuhan hak asasi manusia bagi masyarakat, termasuk ODHA dan populasi kunci, LBH Masyarakat memandang perlu untuk melakukan pemantauan stigma dan diskriminasi yang dilakukan terhadap ODHA dan populasi kunci. Cara yang diambil oleh kami adalah melalui pemantauan dan dokumentasi media daring (online) terkait berita-berita yang mengandung unsur stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA dan populasi kunci di sepanjang tahun 2016. Kami berharap pemantauan yang kami lakukan ini dapat membantu memetakan situasi terkini mengenai permasalahan stigma dan diskriminasi HIV/AIDS di Indonesia.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan ini.

Skip to content