Tag: Diskriminasi

Framing Jahat Pesta Seks: Peradilan Berorientasi Kebencian dalam Kasus 75 Orang di Puncak

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi mengecam framing negatif atas peristiwa penangkapan dan penertiban 75 orang dalam acara “Big Star Got Talent” yang berlangsung di sebuah vila di Megamendung, Puncak, Jawa Barat. Framing negatif dan penuh syak wasangka terhadap orang-orang dengan orientasi seksual tertentu ini menyebabkan kriminalisasi yang dipaksakan, penuh tipu daya, dan asal-asalan.

Pada hari Minggu, 22 Juni 2025, sekitar jam 01.00, anggota Kepolisian Sektor Megamendung bersama dengan anggota organisasi masyarakat yang tidak dikenal datang ke sebuah villa di Kawasan Megamendung. Mereka mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kegiatan yang melibatkan sejumlah pria gay. Acara yang sudah berlangsung dari Sabtu sore ini pun dihentikan dan semua orang yang ada di acara tersebut langsung dibawa ke Polsek Megamendung, sebelum kemudian dipindahkan ke Polres Bogor.

Dalam proses penangkapan tersebut, ada sejumlah kecacatan formil yang dilakukan oleh kepolisian. Penangkapan dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yakni anggota ormas yang tidak dikenal sekalipun mereka tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam kegiatan penertiban atau penangkapan. Polisi juga mengambil foto orang-orang yang ditangkap pada saat kejadian tersebut yang kemudian disebarluaskan ke media sehingga menyebabkan framing negatif atas apa yang terjadi terus berulang. Polisi menahan 75 orang ini dari Minggu dini hari hingga hari Senin sekitar jam 1.30 tanpa dasar apapun.

Berdasarkan fakta-fakta kejadian, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi bergerak cepat dalam melakukan pendampingan terhadap orang-orang ini sejak hari Minggu, 22 Juni. Hasil pendampingan dan pemeriksaan kami menemukan beberapa hal berikut yang perlu diluruskan.

 Pertama, tidak benar ada pesta seks. Beragam media memberikan framing negatif yang mengasosiasikan kehadiran anggota komunitas gay sebagai bukti bahwa telah terjadi pesta seks. Beberapa menyebutkan bahwa kegiatan pentas dan kontes adalah kedok untuk pesta seks.[1] Ada juga pemberitaan yang langsung melabel apa yang dilakukan oleh para peserta sebagai ‘menyimpang’.[2]

 Padahal acara “Big Star Got Talent” tersebut sangat jauh dari pesta seks. Kegiatan yang berlangsung di Puncak adalah ramah-tamah, pertunjukan fashion show, lomba tari dan menyanyi, dan juga hiburan-hiburan yang lain. Singkatnya, ini aktivitas-aktivitas yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang heteroseksual ketika berkumpul. Dalam kegiatan tersebut, tidak ada satu pun dari 75 orang yang melakukan hubungan seks.

Bukan hanya klien kami yang menyatakan demikian, hasil penelusuran polisi sejauh ini juga tidak menemukan telah terjadi pesta seks. Gambar yang didokumentasikan pada saat polisi melakukan penertiban, misalnya, tidak menunjukkan ketelanjangan. Polisi menemukan 4 bungkus kondom yang belum dipakai. Penemuan alat kontrasepsi ini tidak bisa dijadikan dasar adanya tindak pidana, karena alat kontrasepsi adalah alat penunjang kesehatan untuk mencegah penyakit menular seksual. Apalagi, alat kontrasepsi yang ditemukan masih dalam kondisi belum terpakai.

Kedua, aturan dari panitia justru mencegah supaya tidak terjadi tindakan kriminalitas di acara tersebut. Di dalam aturan yang dibuat oleh panitia acara Big Star, tertulis aturan seperti dilarang menggunakan dan membawa narkotika, dilarang membuat keributan, tidak boleh melakukan kekerasan seksual, dan menghormati satu sama lain.

Aturan-aturan ini dibuat dengan kesadaran penuh oleh panitia acara karena acara tersebut dimaksudkan untuk membangun ruang yang aman dan nyaman bagi semua peserta. Peraturan yang disosialisasikan sebelum berlangsungnya acara menjelaskan bahwa kegiatan kumpul anggota komunitas ini bukan dengan niat buruk atau mempromosikan pornografi atau kekerasan. Sebaliknya, mereka berkumpul secara damai sehingga aturan yang dibuat pun mencoba mengakomodir hal tersebut.

Ketiga, berita-berita negatif dari media membuat kasus ini tidak lagi diadili dengan aturan hukum yang sesuai dan malah membuat pengadilan oleh media (trial by the press). Dengan informasi yang terbatas dan framing negatif pesta seks, sudah ada beragam desakan untuk menghukum partisipan kegiatan ini dari pihak-pihak yang tidak mengetahui secara tuntas apa yang terjadi pada tanggal 21-22 Juni tersebut. Opini ini dibangun oleh anggota PBNU[3], anggota Komisi III DPR RI[4], MUI Provinsi Jabar[5], Ketua DPRD Kabupaten Bogor[6], Wakil Gubernur Jawa Barat[7], dan lain-lain lagi.

Karena desakan oleh media dan pembuat opini ini, kepolisian seolah terpaksa untuk melanjutkan kasus yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pidana. Akibat dari perbuatan ini, polisi seolah-olah coba mencocokan pasal yang mungkin bisa berlaku di kejadian. Dalam surat panggilan atas beberapa klien kami, polisi menegaskan bahwa pasal yang diselidiki adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Pasal 10 UU Pornografi, Pasal 296 KUHP. Tiga pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk peristiwa ini.

Pasal 7 UU Pornografi menjerat siapapun yang mendanai dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan pornografi. Namun, karena materi acara Big Star tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan, persenggamaan, alat kelamin, ataupun unsur pornografi lainnya, sangat jelas bahwa unsur-unsur Pasal 7 ini tidak tercapai. Pasal 10 Pornografi melarang orang untuk mempertunjukkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Lagi-lagi, fakta menunjukkan bahwa acara yang dilangsungkan tidak berhubungan dengan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau pornografi, sehingga pasal ini pun bisa dipastikan gugur. Sementara itu, Pasal 296 KUHP tentang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul juga semestinya tidak berlaku karena tidak ada perbuatan cabul yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni di dalam acara Big Star tersebut.

Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menegaskan bahwa acara Big Star yang diorganisir oleh komunitas gay di Puncak tanggal 22 Juni 2025 adalah bentuk dari kebebasan berkumpul mereka. Kebebasan berkumpul ini dijamin di Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kegiatan yang dilakukan juga sepenuhnya berada di koridor kesenian, bukan pornografi dan pesta seks, sehingga ia juga memenuhi Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Atas dasar kebebasan ini, kami mendesak Kepolisian Resor Bogor untuk segera menghentikan proses hukum atas kasus ini. Sebaliknya, Kepolisian harus cepat-cepat mengevaluasi proses penegakan hukum yang sudah mereka lakukan yang menunjukkan banyak indikasi pelanggaran kode etik dan hukum acara pidana. Hal-hal ini mencangkup, tapi tidak terbatas pada, pelanggaran hak atas privasi atas orang-orang yang bukan pelaku kejahatan, tes HIV paksa yang tidak sesuai dengan prinsip hak atas kesehatan, ‘penyitaan’ barang-barang pribadi sekalipun kasus  ini belum masuk ke tahap penyidikan. Mengingat hari ini juga adalah Hari HUT Bhayangkara ke-79, kepolisian harus mengecek kembali seberapa jauh mereka sudah bisa menjadi pengayom masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan.

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi juga hendak mendorong Dewan Pers untuk mengawasi kerja pers dalam pemberitaan kasus ini, sehingga tidak lagi memberikan framing negatif dan tak berimbang atas peristiwa yang terjadi. Pembunuhan karakter atas anggota komunitas gay dengan berita penuh prasangka dan kebencian, tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk membela diri, adalah bentuk ketidakprofesionalitasan awak media. Sebagai pilar keempat demokrasi, media seharusnya memberikan ruang yang aman bagi kelompok rentan, bukan malah menggaungkan penegakan hukum yang awut-awutan.

Jakarta, 1 Juli 2025 

Narahubung:

  1. Yosua Octavian (LBHM) – 0898 437 0066
  2. Antonius Badar Karwayu – 0856 9799 8944

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-7978897/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-75-orang-diamankan

[2] https://prohaba.tribunnews.com/2025/06/25/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-berkedok-family-gathering-75-orang-diamankan?page=2

[3] https://wartapontianak.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1179452198/terkait-pesta-seks-sesama-jenis-di-megamendung-bogor-ini-respons-pbnu

[4] https://rri.co.id/hukum/1609240/dpr-usut-tuntas-pesta-sesama-jenis-di-puncak

[5] https://www.jabarnews.com/daerah/mui-desak-gubernur-dedi-tegas-lgbt-puncak-bogor/

[6] https://bogorupdate.com/soal-pesta-seks-sesama-jenis-ketua-dprd-sastra-winara-desak-dinkes-gencarkan-sosialisasi/

[7] https://www.rmoljabar.id/wagub-jabar-apresiasi-penggerebekan-pesta-gay-di-puncak-tegaskan-penolakan-terhadap-lgbt

Pelarangan Menjadi Waria di Gorontalo: Surat Edaran yang Membuka Keran Diskriminasi

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengecam sikap pemerintah dan parlemen Gorontalo dalam membuat Surat Edaran yang melarang keterlibatan waria (transpuan) dalam acara hiburan, pesta, karaoke, dan turnamen pertandingan. Surat Edaran ini kontradiktif dengan kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan ruang yang aman bagi semua penduduk untuk bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik, terlepas dari identitasnya. 

Pada hari Selasa, 22 April 2025, Pemerintah Kabupaten Gorontalo melakukan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Gorontalo. Hasil dari forum ini kemudian disahkan ke dalam Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi yang ditandatangani oleh Pj. Sekretaris Daerah atas nama Bupati Gorontalo pada tanggal 25 April 2025. 

Surat edaran ini menghimbau camat, kepala desa, kepala kelurahan di Gorontalo untuk selektif memberikan izin keramaian pada acara hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, dan hajatan pesta. Poin ketiga dalam surat edaran ini mendesak aparat pemerintah setempat memantau dan mencegah acara keramaian yang melibatkan waria (transpuan).

Para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen lokal ikut menyuarakan dukungan atas konten surat edaran ini. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo, Irwan Hunawa, menyatakan bahwa hampir seluruh daerah di Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo, sudah sepakat menolak kehadiran dan aktivitas komunitas tersebut. Pelarangan ini, menurutnya, karena ‘kegiatan waria’ merusak moral bangsa. Wakil Ketua DPRD Kota Gorontalo, Rivai Bukusu, juga mengatakan bahwa mereka menolak kegiatan-kegiatan yang melibatkan transpuan atau komunitas LGBT lainnya, karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat.

Atas situasi ini, LBHM memandang ada sesat pikir dan akar stigmatif dari penerbitan surat edaran ini dan juga pernyataan-pernyataan yang turut mendukungnya. Ada setidaknya empat poin mengapa surat edaran ini bermasalah:

Pertama, surat edaran ini melegitimasi marginalisasi dan diskriminasi transpuan di ruang-ruang publik. Surat edaran ini tidak menjelaskan pelibatan waria seperti apa yang dilarang atau dianggap berbahaya. Akibatnya, bukan hanya sebagai penampil (performer), transpuan yang menghadiri acara tersebut sebagai peserta atau penonton pun bisa dianggap terlibat dalam kegiatan tersebut dan akhirnya acara tersebut harus dibatasi. Ini akan membuat kelompok masyarakat menolak kehadiran transpuan secara total dalam kegiatan-kegiatan mereka karena takut acara mereka akan dibatalkan.

Diskriminasi semacam ini bertentangan dengan hak kebebasan berkumpul (freedom to assembly) sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lebih jauh lagi, Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga sudah menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.” Hak ini diberikan tanpa ada distingsi atas identitas gender seseorang, tidak peduli apakah dia laki-laki, perempuan, transpuan, atau identitas gender lain. Keikutsertaan transpuan dalam acara-acara publik dan sipil seperti pertandingan olahraga dan acara kesenian adalah cara mereka melaksanakan kemerdekaan berkumpul.

Kedua, tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui surat edaran tersebut tidak berlandaskan hukum. Indonesia adalah negara hukum dan konsekuensinya adalah setiap perbuatan yang hendak atau sedang dilakukan dan keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintah harus memiliki landasan hukum serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Memiliki identitas sebagai transpuan bukan sebuah tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di samping itu, pelarangan transpuan untuk berpartisipasi atau menikmati hak untuk berkumpul, berserikat, dan berekspresi melalui Surat Edaran ini menunjukkan kebijakan yang dibuat bersifat subjektif tanpa ada landasan hukum mengapa kehadiran transpuan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dilarang. Pola-pola legislasi serampangan tanpa ada dasar hukum yang jelas ini berisiko memprovokasi kebencian terhadap kelompok transpuan dan bahkan dapat mengarah pada eigenrichting (main hakim sendiri). Apalagi kelompok transpuan adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan sebab masyarakat lebih mudah mengidentifikasi berdasarkan ekspresi gendernya.      

Ketiga, pelarangan transpuan untuk hadir di kegiatan-kegiatan hiburan melanggar tanggung jawab pemerintah untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi warganya. Menurut sebuah survei, sekitar 8.7% anggota komunitas LGBTIQ+ berprofesi di sektor hiburan, seperti pengamen jalanan ataupun artis (penyanyi, penyanyi lip sinc, penari, dan lain-lain). Mereka yang bekerja sebagai pekerja informal ini menghadapi berbagai risiko ekonomi dan seringkali tidak mendapatkan jaminan perlindungan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan.

Salah satu urusan wajib dari Pemerintah Daerah adalah memberikan lapangan kerja yang aksesibel bagi semua sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah dan DPRD Gorontalo seharusnya bisa melindungi hak pekerja sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang dimiliki Indonesia, tidak terkecuali pekerja seni informal, bukan malah melarang transpuan untuk bekerja sebagai pekerja seni dan pertunjukkan. 

Ada alasan mengapa banyak transpuan bekerja di sektor informal, karena mereka kerap kali sudah tersingkir dan terdiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan formal. Ketimbang memberikan solusi atas diskriminasi hak atas pekerjaan yang selama ini sudah dialami oleh transpuan, surat edaran pemerintah Kabupaten Gorontalo ini semakin menyudutkan kelompok transpuan.

Keempat, alasan penolakan transpuan di kegiatan-kegiatan hiburan mengulang kembali alasan usang tentang transpuan melanggar norma kesusilaan. Bahkan ada simplifikasi argumen bahwa transpuan yang melakukan pekerjaan seni sudah pasti orang yang tidak beragama dan tidak bermoral. Dalam keterangannya Adhan Dambea, Walikota Gorontalo, menyatakan, “Saya mengajak kepada seluruh masyarakat Kota Gorontalo, untuk jangan mengundang penyanyi seperti waria. Di Kota Gorontalo masih banyak penyanyi-penyanyi yang bermoral dan punya agama.”

Padahal beberapa budaya lokal Indonesia juga mengakui keberadaan gender lain, seperti budaya Bugis yang mengenal lima jenis kelamin yang berbeda. Ada pula interpretasi-interpretasi ajaran keagamaan yang memberikan pandangan yang lebih toleran bagi individu trans. Otoritas kesehatan internasional seperti WHO dan nasional seperti Kementerian Kesehatan pun berulang kali menyatakan bahwa menjadi transpuan bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. 

“Tindakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Surat Edaran ini tidak mencerminkan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo. Padahal poin pertama dari Asta Cita adalah memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Maka praktik diskriminasi seperti ini tidak seharusnya dibiarkan menjamur atau bahkan dilegitimasi karena justru menghambat terwujudnya Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045”, ucap Novia Puspitasari, Koordinator Riset dan Program LBHM.

Dari poin-poin di atas, LBHM mendesak pemerintah dan DPRD Kabupaten Gorontalo untuk mencabut Surat Edaran Nomor 800/BKBP/76/IV/2025 Tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang Melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi. Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo untuk menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menjaga dan melindungi hak kelompok rentan, tak terkecuali transpuan.  

Selain itu, LBHM juga meminta kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk memastikan kebijakan pemerintah daerah sejalan dengan aturan yang lebih atas untuk mengevaluasi surat edaran ini. LBHM juga berpendapat bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai pihak yang melakukan pengawasan atas praktik dan kebijakan yang berdampak negatif pada pemenuhan HAM untuk melakukan investigasi pemberangusan hak yang terjadi di Gorontalo pada kelompok transpuan. 

Jakarta, 30 April 2025

 

Narahubung:
Novia – 081297566190

 

Referensi
  1. Dian, “Ketua DPRD Kota Gorontalo Tegaskan Menolak Seluruh Kegiatan yang Melibatkan Waria,” read.id, 28 April 2025, diakses di https://read.id/ketua-dprd-kota-gorontalo-tegaskan-menolak-seluruh-kegiatan-yang-melibatkan-waria/ 
  2.  Deden Arya, “Rivai Bukusu Tegas! Tolak Kegiatan Waria di Gorontalo,” gorontalo.totabuan.news, 28 April 2025, diakses di https://gorontalo.totabuan.news/dprd-kota-gorontalo/rivai-bukusu-tegas-tolak-kegiatan-waria-di-gorontalo/ 
  3.  Arief Rahadian, Gabriella Devi Benedicta, Fatimah Az Zahro, Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Tengah Pusaran Pandemi: Antara Kerentanan dan Resiliensi, Studi Dampak COVID-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia, (Jakarta: Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM), 2021).
  4.  Lukman Husain, “Aksi Waria Berujung Pencekalan, ‘Padahal Bulan Depan Musim Pesta’,” Gorontalo Post, 29 April 2025, diakses di https://gorontalopost.co.id/2025/04/29/aksi-waria-berujung-pencekalan-padahal-bulan-depan-musim-pesta/  
  5.  Daniel Stables, “Mengenal lima gender dalam Suku Bugis di Sulawesi yang kerap alami stigma dan diskriminasi, ‘Di masa depan, bissu akan terancam punah’,” bbc.com, 25 April 2021, diakses di https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56854166 
  6.  “Heboh Isu LGBT, WHO dan Kemenkes RI Turut Berkomentar,” tvonenews.com, 13 Mei 2022, diakses di https://www.tvonenews.com/berita/nasional/40482-heboh-isu-lgbt-who-dan-kemenkes-ri-turut-berkomentar?page=1 

Rilis Pers – Hukum Qanun & Lengahnya Negara Memberikan Perlindungan Terhadap Kelompok Minoritas Seksual dan Gender

Lagi tindakan diskriminasi terjadi kepada kelompok minoritas seksual dan gender (LGBTIQ+). Kali ini menimpa pasangan MU dan AL, mereka dihukum cambuk karena melakukan hubungan seksual, MU dan AL dianggap melanggar Pasal 63 ayat 1 Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat yang mengharuskan mereka dihukum 80 kali cambuk (dikurangi masa tahanan 3 bulan, menjadi 77 kali)—eksekusi mereka terjadi pada 28 Januari 2021 lalu.

Hukum cambuk ini bukanlah pertama kalinya menimpa kelompok LGBT, pada tahun 2017 pernah terjadi hukuman cambuk terhadap kelompok LGBT (MT dan MH) yang dituduh melakukan hubungan seksual, mereka di hukum sebanyak 85 kali cambukan. Pada 2018 juga hal serupa kembali terjadi, pasangan LGBT (N dan R) yang menerima hukum Qanun sebanyak 86 kali cambukan.

LBH Masyarakat (LBHM) pada tahun 2016 saja, sebanyak 396 orang sudah dieksekusi (cambuk) dan bersiap berhadapan dengan hukuman cambuk (66 orang masih berupa ancaman cambuk). Dalam temuan ini juga ditemukan jika terdapa kelompok LGBT yang dirazia dan diancam mendapatkan hukuman cambuk.

Selain bertentangan dengan hukum positif, pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan terhadap kelompok LGBT ini tentunya merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi yang dilindungi oleh konstitusi.

Simak rilis pers lengkapnya di link berikut:

Contact Person: 0812-3631-0500 (LBHM)

Rilis Pers – PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) SEMARANG GAGAL MEMBERIKAN KEADILAN KEPADA ORANG DENGAN MINORITAS SEKSUAL

Hari ini, Kamis 7 Januari 2021, PTUN Semarang menggelar agenda putusan atas gugatan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) yang diajukan oleh Brigadir TT melawan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Kapolda Jateng).

Putusan dengan nomor: 63/G/2020/PTUN SMG ini di dalam amarnya memutuskan:
– Dalam eksepsi: menerima eksepsi Tergugat tentang gugatan Penggugat daluwarasa;
– Dalam pokok sengketa: menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima.

LBH Masyarakat (LBHM) telah mendampingi Brigadr TT semenjak tahun 2019 lalu, ketika itu gugatan pertama dilayangkan namun ditolak oleh PTUN Semarang, dengan alasan belum mengupayakan mekanisme internal sehingga gugatan dianggap prematur. LBHM pun melayangkan gugatan keduanya pada tahun 2020 tepatnya di bulan Agustus. Besar harapan kami pada gugatan di PTUN Semarang untuk memeriksa ulang keputusan PTDH Kapolda Jateng.

Beragam bukti dan ahli dihadirkan dalam persidangan untuk membuktikan bahwa orientasi seksual tidak ada hubungannya dengan etos kerja dan anggapan lain yang kerap disematkan kepada orang dengan orientasi seksual minoritas. Namun, sayanganya keadilan sepertinya luput ditampakkan oleh pengadilan dalam perkara Brigadir TT #StopDiskriminasiBrigadirTT

Teman-teman dapat membaca pernyataan sikap LBHM di tautan berikut

Monitoring dan Dokumentasi – Pilu Pemilu Kelompok LGBTI Dalam Politik Omong Kosong

Tahun 2019 di Indonesia akan dikenang sebagai momentum politik, sebuah periode ketika masyarakat menghadapi pemilihan presiden dan anggota legislatif. Salah satu isu yang mudah dipolitisasi adalah keberadaan kelompok minoritas seksual dan gender. Laporan Human Rights Watch pada tahun 2016 menunjukkan bagaimana ujaran kebencian, pengusiran, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif, memberikan keuntungan politik dan finansial bagi sebagian elit. Memosisikan kelompok LGBTI sebagai sesuatu yang perlu diperangi dinilai mampu untuk mendongkrak elektabilitas.

Potensi stigma dan diskriminasi semakin terbuka lebar dengan adanya sokongan media yang menjadi salah satu saluran untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu pejabat publik turut serta dalam membuat banyak produk-produk legislasi/kebijakan yang tidak inklusi bahkan mengarah kepada diskriminasi terhadap kelompok LGBTI.

LBHM menemukan data jika pada dua tahun terakhir menunjukkan angka stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian tetap tinggi dan diolah untuk kepentingan-kepentingan politik. Simak laporan lengkapnya di sini

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.

Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.

Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini

Rilis Pers LBH Masyarakat – Beasiswa LPDP untuk Indonesia Timur Diskriminatif terhadap ODHA

LBH Masyarakat mengecam keras pemberlakuan syarat bebas HIV/AIDS bagi pendaftar beasiswa Indonesia Timur yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Republik Indonesia. Persyaratan ini adalah bentuk langsung diskriminasi dan pelanggaran hak atas pendidikan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam buku panduan (booklet) yang dikeluarkan oleh LPDP Republik Indonesia, tertulis bahwa salah satu persyaratan Beasiswa Indonesia Timur adalah ‘menyertakan surat keterangan sehat (bebas HIV/AIDS, TBC, dan narkoba) dari unit pelayanan kesehatan’.[1] Bebas HIV/AIDS yang dijadikan syarat untuk mendapatkan beasiswa tersebut tidak sesuai dengan prinsip non-diskriminasi terhadap pemenuhan hak atas pendidikan bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

Jaminan pemenuhan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi dapat ditemukan pada Pasal 28 C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 12 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lebih khusus, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan secara demokratis, tidak diskriminatif, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, baik beasiswa di dalam maupun ke luar negeri, adalah bagian dari proses penyelenggaraan pendidikan yang harus memenuhi prinsip penyelenggaraan tersebut. Dengan demikian, penyelenggaraan beasiswa dalam program apapun tidak boleh membatasi/mengurangi kesempatan setiap orang untuk mengakses beasiswa, termasuk bagi ODHA.

Selain melanggar Konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional, persyaratan bebas HIV ini juga mengingkari prinsip-prinsip dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; serta Konvensi UNESCO mengenai Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan yang menyebutkan bahwa segala bentuk diskriminasi yang bertujuan untuk meniadakan atau merusak kesetaraan dalam pendidikan harus dihapuskan dalam tipe dan level pendidikan apapun. Pemenuhan hak atas pendidikan yang non-diskriminatif tidak bisa dilakukan setengah-tengah tetapi harus secara penuh dan seketika. Pemerintah Indonesia, dalam konteks ini, Kementerian Keuangan sebagai penyelenggara beasiswa LPDP seharusnya mencegah dan menghapus ketentuan diskriminatif dalam penyelenggaran program beasiswa sebagaimana diwajibkan dalam Kovenan di atas.

Selain diskriminatif terhadap ODHA, program beasiswa khusus Indonesia Timur ini juga diskriminatif terhadap warga negara Indonesia di bagian timur karena syarat bebas HIV ini hanya berlaku bagi Pendaftar Beasiswa Indonesia Timur dan tidak berlaku bagi Pendaftar program Beasiswa Pendidikan Indonesia lainnya.

Pemerintah Indonesia tidak memiliki justifikasi apapun untuk membatasi setiap orang, termasuk orang dengan HIV, mengakses pendidikan ataupun kesempatan beasiswa. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah untuk:

  1. Mencabut dan membatalkan persyaratan umum dalam Booklet Beasiswa Indonesia Timur pada poin 8 yang mensyaratkan Surat Keterangan yang menyatakan Pendaftar bebas dari HIV/AIDS, TBC, dan Narkoba;
  1. Menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan bagi ODHA di setiap tipe dan level pendidikan apapun, termasuk akses terhadap beasiswa baik dalam maupun luar negeri;
  1. Menegaskan penyebutan prinsip non-diskriminasi bagi ODHA dalam setiap peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah;
  1. Menghentikan praktik-praktik diskriminatif baik melalui peraturan dan kebijakan maupun perlakuan di setiap penyelenggaraan pemerintahan terhadap semua orang, termasuk ODHA;

Jakarta, 6 Februari 2017

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat

Naila Rizqi Zakiah – Pengacara Publik LBH Masyarakat

[1] Buku panduan atau booklet dapat diunduh melalui tautan berikut ini: http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/beasiswa/beasiswa-indonesia-timur/

id_IDIndonesian