Tag: Stigma

Monitoring dan Dokumentasi – Pilu Pemilu Kelompok LGBTI Dalam Politik Omong Kosong

Tahun 2019 di Indonesia akan dikenang sebagai momentum politik, sebuah periode ketika masyarakat menghadapi pemilihan presiden dan anggota legislatif. Salah satu isu yang mudah dipolitisasi adalah keberadaan kelompok minoritas seksual dan gender. Laporan Human Rights Watch pada tahun 2016 menunjukkan bagaimana ujaran kebencian, pengusiran, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif, memberikan keuntungan politik dan finansial bagi sebagian elit. Memosisikan kelompok LGBTI sebagai sesuatu yang perlu diperangi dinilai mampu untuk mendongkrak elektabilitas.

Potensi stigma dan diskriminasi semakin terbuka lebar dengan adanya sokongan media yang menjadi salah satu saluran untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok minoritas seksual dan gender. Selain itu pejabat publik turut serta dalam membuat banyak produk-produk legislasi/kebijakan yang tidak inklusi bahkan mengarah kepada diskriminasi terhadap kelompok LGBTI.

LBHM menemukan data jika pada dua tahun terakhir menunjukkan angka stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian tetap tinggi dan diolah untuk kepentingan-kepentingan politik. Simak laporan lengkapnya di sini

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Disinformasi yang Menjadi Diskriminasi: Permasalahan HIV di Indonesia

Ketidakpahaman publik secara baik terkait HIV/AIDS disebabkan karena disinformasi terkait HIV/AIDS itu sendiri. Pemahaman yang salah yang di \’telan\’ publik akan menimbulkan stigmatisasi kepada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) dan kelompok rentan lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, disinformasi ini juga berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi yang menciptakan siklus ketidakadilan berkepanjangan bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.

Disinformasi terkait HIV menjadi salah satu akar permasalahan mengapa stigma dan diskriminasi terus terjadi. Pengulangan stigma dan diskriminasi pada ODHA dan kelompok rentan lainnya dari tahun ke tahun menunjukan adanya ketidakefektifan strategi dari Pemerintah dalam memberantas stigma dan diskriminasi. Padahal Pemerintah sendiri mempunyai program dan kebijakan yang bisa mencapai tujuan 90-90-90, salah satunya dengan memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat melalui sistem informasi dan melibatkan aktor lintas sektor. Namun, temuan yang ditemukan LBHM melalui monitoring media justru menunjukkan adanya permasalahan sistem informasi kesehatan, hal ini terbukti dengan masih banyaknya pelaku stigma dan diskriminasi berasal dari lembaga pemerintahan.

Laporan lengkap ini dapat teman-teman baca dan unduh di link ini

Rilis Pers – Menghapus Stigma Pada Pemakai Narkotika: Perjalanan Masih Panjang

Rilis pers ini telah disebarkan pada konferensi pers mengenai \”Koreksi dan Klarifikasi atas Pemberitaan Media terhadap Peristiwa Penolakan Penumpang Batik Air\” yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) pada 7 Juni 2017. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Andhika dan Edo Agustian dari PKNI, Yohan Misero dari LBH Masyarakat, serta Asmin Fransiska dari Unika Atmajaya. Acara ini sendiri dimoderatori oleh Totok Yulianto dari PBHI.

 

LBH Masyarakat menyesalkan peristiwa diturunkannya dua rekan kami dari Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) dari Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7010 pada Selasa, 30 Mei 2017 lalu. LBH Masyarakat percaya bahwa persoalan seperti ini dapat diselesaikan dengan jauh lebih elok apabila seluruh pihak beritikad baik.

Problem ini jadi melebar karena 2 hal. Yang pertama adalah persoalan pemberitaan. Tidak bijak rasanya menyebutkan nama orang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri dari persoalan adiksinya di media. Selain karena hal tersebut mengganggu proses pemulihannya karena terdistraksi oleh hal-hal yang tidak substansial, persoalan penyebutan identitas tersebut juga adalah pelanggaran terang-terangan kepada kerahasiaan medis. Hal ini bisa saja dipermasalahkan lebih jauh. Oleh karena itu, kami menghimbau pada rekan-rekan media untuk bersama-sama mengevaluasi diri agar hal demikian tidak terjadi lagi di kemudian hari. Selain itu di Indonesia, memakai narkotika masih dipandang sebagai sebuah tindakan kriminal. Maka penyebutan nama seseorang yang sedang berjuang untuk memulihkan diri, secara tidak langsung juga telah menciderai hak orang tersebut untuk memiliki pekerjaan karena masih banyak pemberi kerja, yang secara tidak tepat, mendiskriminasi rekan-rekan pemakai narkotika.

Hal kedua yang menyebabkan problem ini melebar adalah cara maskapai dan Kementerian Perhubungan menyelesaikan permasalahan ini. Langkah maskapai untuk menurunkan kawan-kawan PKNI dari pesawat tidaklah bijak karena sebenarnya hal-hal ini dapat dikomunikasikan dengan lebih baik sehingga penerbangan dapat berjalan semestinya tanpa menimbulkan insiden yang tidak perlu. Kemudian yang paling disesalkan ialah respon dari Kementerian Perhubungan. Selepas peristiwa ini rekan-rekan PKNI mengirimkan surat kepada Kementerian Perhubungan, yang setelah lama menunggu akhirnya direspon. Surat itu sayangnya hanya menegaskan dan membenarkan langkah yang diambil maskapai tanpa ada niat untuk duduk bersama membicarakan apa yang terjadi. Surat itu, yang lebih menggelikan, juga hanya menggunakan berita daring sebagai sumber utama fakta yang dipertimbangkan. Seharusnya Kemenhub dapat memitigasi peristiwa ini dengan fair, bukannya memandang enteng seperti ini.

Berkaca pada peristiwa ini ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Namun yang terpenting adalah pemahaman bahwa menghapus stigma pada pemakai narkotika merupakan perjalanan yang masih panjang. Stigma yang memang berasal dari kebijakan punitif dan kampanye yang berat sebelah dari negara. Pemakai narkotika masih dipandang berbahaya sedemikian rupa hingga harus diturunkan dari pesawat begitu saja. Pemakai narkotika, sayangnya, terus dipandang sebagai sampah masyarakat yang namanya dapat diumbar ke mana-mana tanpa perlu memperhatikan etika medis dan jurnalistik. Tak perlu jauh berharap pada perubahan kebijakan dari pemerintah, ketika masyarakat masih terus diajak untuk menyudutkan pemakai narkotika. Bagaimana kita dapat berharap ada perubahan prilaku ketika kita terus memusuhi dan bukan merangkul rekan-rekan pemakai narkotika? Bukankah seseorang yang sedang berusaha untuk memulihkan diri ini baiknya dibantu bukannya disingkirkan?

Berikutnya, cara Kemenhub memitigasi masalah masih menunjukan betapa pemakai narkotika ditempatkan sebagai warga kelas II. Rekan-rekan PKNI tidak diberikan media untuk dapat menerangkan peristiwa tersebut dari kacamata mereka. Kemenhub memandang bahwa dua berita dari media daring lebih berarti daripada pernyataan langsung dari rekan-rekan PKNI ini. Seharusnya Kemenhub mendudukan rekan-rekan PKNI ini dan maskapai yang terkait di satu meja agar jelas duduk perkaranya sehingga dapat mencapai satu solusi yang dapat diterima semua pihak.

Namun ketika rasa takut, dan bukannya pengetahuan, yang masih jadi raja, entah sampai kapan kejadian-kejadian seperti ini akan berulang.

 

 

Jakarta, 7 Juni 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Skip to content