Tag: Pelanggaran HAM

Rilis Pers – Maklumat Kapolri Melanggar Konstitusi dan Kaidah Pembatasan Hak Asasi

Setelah beberapa waktu lalu Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama 8 Menteri/Kepala Lembaga/Badan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Kini Kepala Kepolisian RI (Kapolri) mengeluarkan Maklumat Kapolri No.1/Mak/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

Walaupun maklumat ini merupakan perangkat teknis, namun tedapat salah satu poin yang kontroversial yakni poin 2d tentang perihal larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial. Hal ini bertentangan dengan konstitusi seperti yang tercantum di Pasal 28F dan juga 28 J ayat (2).

Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya, hal ini diatur dalam General Comment (Komentar Umum) No. 34/2011 dalam Pasal 19 KIHSP. Hal ini juga diperkuat dengan adanya Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 yang menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga melekat saat mereka onlineResolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di tautan berikut tautan ini

Rilis Pers – Mahkamah Agung, TNI dan POLRI Wajib Menghentikan Segala Diskriminasi Terhadap LGBT

Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan pemberitaan terkait
pemberhentian beberapa anggota TNI dan Polri yang merupakan bagian darikelompok LGBTQ+. Tindakan ini merupakan satu dari sekian banyak tindakan diskriminasi yang kerap kali diterima oleh teman-teman komunitas. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa TNI dan Polri tugas dan fungsi utamanya adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan. Tugas pimpinan TNI dan polri bertujuan memastikan bahwa anggotanya dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, justru malah mengurusi orientasi seksual anggotanya yang merupakan privasi dari anggotanya.

Tindakan LGBT atau individu/ kelompok LGBT harus dimaknai sebagai bagian dari  keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Hal tersebut dilindungi selaras Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian dipertegas dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta. Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua Negara. Dalam pengantar aksinya hal 6 (enam) dinarasikan: “Kita semua memiliki kesamaan hak asasi manusia. Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, kita semua memiliki hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa boleh disertai dengan diskriminasi”.

Secara garis besar serangkaian tindakan Mahkamah Agung, TNI dan POLRI
tersebut telah bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Tindakan pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual merupakan tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.

Simak rilis lengkapnya di sini

Evaluasi Situasi HAM Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3: 28 Negara Merekomendasikan Moratorium Hukuman Mati.

Indonesia, seperti negara anggota PBB yang lain, menjalani evaluasi HAM secara berkala di Dewan HAM PBB. PBB sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk memeriksa komitmen negara pada hak asasi manusia. Salah satunya ialah  melalui Universal Periodic Review (UPR). Melalui UPR ini, Indonesia diuji ketaatan dan pemenuhannya terhadap hak asasi manusia oleh komunitas internasional. UPR kali ini berlangsung pada 3 Mei 2017 di Jenewa. Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melalui 2 UPR yakni pada tahun 2008 dan 2012.

Kordinator Program LBH Masyarakat, Ajeng Larasati, hadir mewakili elemen masyarakat sipil untuk memberikan laporan pada proses UPR ini.

Catatan LBH Masyarakat terkait Situasi Hukuman Mati Indonesia di Universal Periodic Review (UPR) yang ke-3, Mei 2017

LBH Masyarakat berpendapat bahwa pelaksanaan UPR yang ketiga terhadap Indonesia, yang berlangsung pada 3 Mei 2017, berjalan dengan baik dan konstruktif. Baik Indonesia, maupun negara yang melakukan penilaian terhadap Indonesia, saling menghargai proses yang berlangsung dan mengedepankan pentingnya kooperasi yang positif. LBH Masyarakat mencatat bahwa sejumlah isu hak asasi manusia telah diangkat dan dibahas dengan mencukupi sepanjang sesi, seperti misalnya isu mengenai hak perempuan dan anak. Namun demikian, masih terdapat beberapa isu hak asasi manusia penting yang tidak secara substansial ditanggapi, atau bahkan cenderung diabaikan, seperti misalnya perlindungan terhadap hak-hak LGBT.

LBH Masyarakat mengapresiasi tingkat perhatian yang tinggi yang diberikan terhadap isu hukuman mati. Berdasarkan catatan kami, ada setidaknya 28 dari 107 (25%) negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan hukuman mati.

Secara umum, rekomendasi tersebut berisi anjuran bagi Indonesia untuk segera memberlakukan kembali moratorium hukuman mati bagi semua tindak pidana. Tetapi beberapa rekomendasi dibuat secara lebih spesifik. Australia, misalnya, merekomendasikan Indonesia untuk ‘meningkatkan pedoman pengamanan dalam penggunaan hukuman mati’, yang termasuk di antaranya dengan memastikan ‘akses terhadap bantuan hukum yang berkualitas sejak dini’ bagi orang yang menghadapi hukuman mati, ‘penghapusan hukuman mati bagi orang dengan gangguan kejiwaan’, dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sesuai dengan standar hak asasi manusia international. Selain itu, Belgia merekomendasikan Indonesia untuk ‘membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau seluruh kasus hukuman mati dengan tujuan menghapus hukuman mati dan/atau setidaknya memastikan tersedianya pemenuhan hak atas peradilan yang adil dan jujur yang sesuai dengan standar internasional.’

Jumlah rekomendasi terkait hukuman mati yang diberikan pada putaran ketiga ini meningkat sembilan kali dari UPR putaran sebelumnya di 2008, di mana Indonesia hanya mendapatkan rekomendasi dari tiga negara.

Fakta bahwa ada setidaknya seperempat negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan moratorium hukuman mati atau eksekusi hukuman mati mengindikasikan tingkat keseriusan dari isu ini. Namun demikian, kami menyayangkan buruknya respon Indonesia terhadap hal tersebut.

Indonesia, sebagaimana telah kami prediksi, masih saja menggunakan data yang cacat terkait dengan kematian yang disebabkan oleh narkotika dan retorika moral untk menjustifikasi aksi barbar hukuman mati. Indonesia berulang kali menggunakan statistik 40 orang meninggal setiap harinya akibat narkotika – sebuah argumen yang mendapatkan kiritik keras dari akademisi Indonesia dan internasional. Penggunaan data yang cacat ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap kebijakan yang berbasis bukti ataupun mengakui pentingnya kebijakan narkotika yang berbasis hak asasi manusia dalam mengatasi persoalan penggunaan narkotika. Sebaliknya, Indonesia justru mempromosikan penggunaan wajib rehabilitasi yang melanggar hak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, Indonesia berargumen bahwa eksekusi telah dilakukan dengan menghargai dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang jujur dan adil. Indonesia dengan bangga menyatakan bahwa eksekusi dilakukan setelah melalui prosedur hukum yang ketat. Tetapi, persis karena sistem peradilan Indonesia yang sarat dengan korupsi menjadi bagian yang melekat dari persoalan hukuman mati, oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki sistem hukum yang baik. Dalam tiga eksekusi terakhir di bawah rejim Joko Widodo, terdapat persoalan serius mengenai absennya mekanisme pedoman pengamanan. Delapan belas orang yang dieksekusi dalam tiga eksekusi terakhir mengalami pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur dan adil, termasuk Zainal Abidin, yang kasusnya direkayasa; Rodrigo Gularte, yang memiliki skizofrenia paranoid dan bipolar; dan, Humphrey Ejike, orang yang tidak bersalah yang ketika dieksekusi sedang dalam proses pengajuan grasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, LBH Masyarakat mendorong pemerintah Indonesia untuk menerima ke-dua puluh delapan rekomendasi terkait dengan hukuman mati yang diberikan dalam putaran ketiga UPR terhadap Indonesia.

Indonesia harus memberlakukan moratorium secara formal dengan tujuan menghapuskan hukuman mati. Sementara moratorium diberlakukan, Indonesia harus membentuk badan independen untuk meninjau ulang seluruh kasus hukuman mati, mengubah hukuman mati bagi seluruh terpidana mati, dan segera merevisi KUHP sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

Ajeng Larasati – Koordinator Program, Riset, dan Kebijakan LBH Masyarakat

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Skip to content