Tag: POLRI

Kematian Brigadir J: Proporsionalitas ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR

Ancaman hukuman mati di kasus tewasnya almarhum Brigadir J menyeret aktor baru yaitu Brigadir RR sebagai ajudan atau sopir istri FS. Brigadir RR ditetapkan sebagai tersangka oleh Timsus pada Minggu, 7 Agustus 2022 dengan tuduhan pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 Jo. Pasal 55 Jo. Pasal 56 KUHP) dengan ancaman pidana mati.

Pidana mati masih diakui dalam hukum pidana di Indonesia tetapi penerapannya kontradiktif dengan norma hak asasi manusia, yaitu hak hidup. Meskipun kasus ini menyebabkan terenggutnya nyawa Brigadir J, pemberian ancaman hukuman mati bukan sebagai saluran balas dendam. Terlebih Brigadir RR justru rentan menjadi pihak yang diperdaya oleh aktor utama yang memiliki kewenangan dan kekuasaan memberi perintah.

Penggunaan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR seolah menjadi solusi jitu untuk kasus ini. Padahal, kepastian akan peran Brigadir RR dalam kematian Brigadir J masih menjadi polemik di tengah ketidakjelasan keberadaan pelaku lain yang mungkin menjadi dalang dalam perkara ini. Belum jelas apakah ada pelaku lain dan bagaimana relasi pelaku tersebut dengan Brigadir RR. Di tengah ketidakjelasan ini, bukan tidak mungkin Brigadir RR memiliki peranan minor yang tingkat kesalahannya jauh di bawah pelaku utama.

Kemungkinan adanya relasi kuasa atas nama perintah atasan dapat memaksa Brigadir RR yang berstatus sebagai ajudan atau sopir istri FS bertindak bukan atas dasar kehendak dan nuraninya sendiri. Pada tahap ini, pelaku-pelaku minor seharusnya mendapat perlindungan agar dapat membantu mengungkap pelaku utama, daripada mengancam mereka dengan pidana mati secara tidak proporsional.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM mendesak:
1. Kapolri untuk menghentikan penerapan pasal dengan ancaman pidana mati terhadap Brigadir RR dalam kasus kematian Brigadir J;
2. Timsus segera mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain dan menjelaskan relasinya dengan Brigadir RR;
3. Memberikan perlindungan kepada saksi dan keluarga korban kasus pembunuhan Brigadir J untuk membantu mengungkap kejelasan perkara;
4. Menghormati standar hak asasi manusia dalam proses penyidikan kematian Brigadir J dan melakukan penyidikan secara transparan serta berbasis scientific crime investigation:
5. Melakukan investigasi secara proporsional dengan tidak hanya menyasar pelaku-pelaku pembantu dengan peran minor.

Jakarta, 8 Agustus 2022
LBHM

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Rilis Pers – Mahkamah Agung, TNI dan POLRI Wajib Menghentikan Segala Diskriminasi Terhadap LGBT

Beberapa waktu lalu publik diramaikan dengan pemberitaan terkait
pemberhentian beberapa anggota TNI dan Polri yang merupakan bagian darikelompok LGBTQ+. Tindakan ini merupakan satu dari sekian banyak tindakan diskriminasi yang kerap kali diterima oleh teman-teman komunitas. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa TNI dan Polri tugas dan fungsi utamanya adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan. Tugas pimpinan TNI dan polri bertujuan memastikan bahwa anggotanya dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, justru malah mengurusi orientasi seksual anggotanya yang merupakan privasi dari anggotanya.

Tindakan LGBT atau individu/ kelompok LGBT harus dimaknai sebagai bagian dari  keragaman orientasi seksual dan identitas gender. Hal tersebut dilindungi selaras Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian dipertegas dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta. Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua Negara. Dalam pengantar aksinya hal 6 (enam) dinarasikan: “Kita semua memiliki kesamaan hak asasi manusia. Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, kita semua memiliki hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa boleh disertai dengan diskriminasi”.

Secara garis besar serangkaian tindakan Mahkamah Agung, TNI dan POLRI
tersebut telah bertentangan dengan konstitusi yakni Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Tindakan pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual merupakan tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.

Simak rilis lengkapnya di sini

Skip to content