Tag: Tahanan

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

Rilis Pers – Ombudsman Perlu Periksa Tingginya Angka Kematian dalam Penjara

LBH Masyarakat menyayangkan masih maraknya kasus kematian di dalam penjara yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selama 2016-2017. Kematian-kematian ini, baik karena kelalaian ataupun kesengajaan, adalah bentuk kegagalan institusi pemerintah dalam melindungai Hak Asasi Manusia (HAM) tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Pada 2016, LBH Masyarakat mencatat sekurang-kurangnya terjadi 120 kematian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan (Rutan), dan Ruang Tahanan Polri. Meskipun jumlah kasus yang kami catat menurun di 2017 menjadi 83 kasus, permasalahan kematian dalam penjara masih memiliki akar-akar permasalahan yang sama.

Penyakit menjadi penyebab kematian terbanyak di penjara yang diwakilkan oleh 47,5% kasus di 2016 dan 60.25% kasus di 2017. Melihat banyaknya kasus penyakit berat yang membutuhkan penanganan serius, tahanan dan WBP membutuhkan layanan yang berkualitas baik di dalam maupun luar penjara. Sayangnya, tidak pernah ada mekanisme pengawasan yang efektif dan memadai untuk memastikan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan di dalam maupun di luar institusi penghukuman. Investigasi Tempo di 2017 justru membongkar bagaimana narapidana kasus korupsi bisa memanfaatkan layanan rujukan kesehatan keluar untuk tujuan plesir.

LBH Masyarakat melihat bahwa rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan tahanan. Kondisi penjara Indonesia yang overcrowded akut menjadi salah satu akar masalah banyaknya penghuni penjara yang menderita gangguan pernapasan dan gangguan pencernaan sebelum mereka meninggal.

Bunuh diri menjadi penyebab kedua terbesar kematian dalam penjara di mana terdapat setidaknya 43 kasus bunuh diri selama dua tahun. Permasalahan bunuh diri merupakan permasalahan yang kompleks yang harus dilihat dalam banyak aspek, salah satunya adalah kesehatan jiwa. Lapas, Rutan, dan Polri seharusnya memastikan layanan kesehatan yang komprehensif, bukan hanya kesehatan fisik melainkan juga jiwa.

Pengalaman LBH Masyarakat dalam mendampingi WBP yang memiliki gangguan jiwa menunjukkan ketidaktersediaan layanan psikoterapi yang memadai di lapas. Akses untuk mendapatkan perawatan di luar penjara pun sulit untuk dikabulkan. Hal ini menandakan adanya pengabaian permasalahan kesehatan jiwa oleh Ditjenpas dan Polri yang berpotensi menyebabkan permasalahan bunuh diri.

Dari 203 kasus yang terkumpul sepanjang 2016-2017, LBH Masyarakat juga menemukan tiga belas kasus kematian akibat kekerasan. Lima dari tiga belas kasus melibatkan pejabat negara ketika tindakan kekerasan dilakukan. Sistem penahanan dan pemasyarakatan seharusnya menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.

Baik Ditjenpas dan Polri telah memiliki peraturan-peraturan untuk menjaga HAM tahanan dan WBP. Polri harus menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara Ditjenpas menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan di rutan dan lapas di bawah payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan-peraturan ini beserta peraturan lainnya seharusnya mencukupi untuk menjadi landasan hukum perlindungan hak tahanan dan WBP selama berada di dalam penjara.

Terhadap uraian di atas, LBH Masyarakat memandang perlu segera tersedia mekanisme inspeksi imparsial yang berkala dan mendadak terhadap institusi penahanan yang cenderung tertutup dan tanpa pengawasan eksternal. Mekanisme ini berpotensi meminimalisir praktik-praktik pelanggaran HAM di dalam penjara sekaligus memberikan rekomendasi pembenahan institusional. Di samping itu, perlu juga disediakan mekanisme pengaduan yang efektif sebagai sarana koreksi apabila terjadi pelanggaran HAM yang dialami oleh tahanan dan WBP.

LBH Masyarakat melihat bahwa Ombudsman Republik Indonesia, sebagai lembaga negara yang independen, bisa mengisi kekosongan mekanisme koreksi yang ada. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mendorong Ombudsman untuk melakukan investigasi independen terhadap kematian-kematian yang terjadi di Lapas, Rutan, dan Ruang Tahanan Polri sepanjang tahun 2016-2017. Investigasi ini bisa menjadi langkah awal perbaikan yang lebih sistematis guna mengurangi fenomena kematian di dalam penjara yang jarang terekspos. Bagaimanapun penjara seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan penghabisan.

 

Jakarta, 6 Mei 2018

Albert Wirya – Peneliti LBH Masyarakat

 

Skip to content