Category: Narkotika

Narkotika LBHM

Buku Laporan Penelitian Perspektif Keagamaan Narkotika

Masyarakat Indonesia menempatkan agama sebagai aspek penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, aspek keyakinan merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong institusi agama agar memberikan lebih banyak perhatian terhadap fenomena masalah penggunaan narkotika. Penelitian ini merupakan awal pergerakan kolaborasi unsur agama melalui institusi maupun tokoh agama dan masyarakat dalam menanggapi kegelisahan masalah narkotika di Indonesia.

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Sejak tahun 1991, Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (The Working Group on Arbitrary Detention) yang dibentuk oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah melakukan penyelidikan khusus kasus-kasus perampasan kebebasan yang dilakukan secara sewenang-wenang atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau instrumen hukum internasional yang diakui oleh suatu negara. Salah satunya adalah permasalahan penahanan dalam kasus Narkotika.

Dalam studi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang untuk Indonesia, ditemukan jika orang yang menggunakan narkotika memiliki resiko yang tinggi untuk ditahan secara sewenang-wenang. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna narkotika yang banyak menghuni penjara di Indonesia.

Setidaknya dalam temuannya disebutkan jika 1 dari 5 orang yang yang ada di penjara di seluruh dunia saat ini dipidana karena tindak pidana narkotika.

Masih banyak lagi temuan dari Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang terkait proses penahanan yang sewenang-wenang dalam kasus Narkotika.

Laporan lengkapnya dapat rekan-rekan unduh dengan mengklik tautan di bawah ini:

Fact Sheet: Penahanan Sewenang-wenang Berkaitan dengan Kebijakan Narkotika

Rumah Tahanan Polisi Ladang Penyiksaan: Hentikan Penahanan di Kantor-Kantor Kepolisian, Revisi KUHAP dan UU Narkotika Sekarang!

Oleh LBH Masyrakat (LBHM), ICJR & Rumah Cemara

17 Januari 2022 – Lagi dan lagi, tahanan kepolisian meninggal. Beberapa media melaporkan korban kejadian ini terjadi pada FNS seorang tahanan narkotika Polres Metro Jakarta Selatan. Kematian FNS terjadi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta pada Kamis, 13 Januari 2022.

Menurut rekannya yang pernah menjenguk di rumah sakit, bahwa ia pernah mendengar FNS mengeluhkan sakit disekujur tubuhnya. Bahkan rekan FNS melihat luka di kaki kulitnya pecah yang menimbulkan bercak darah di bagian paha. FNS mengaku kepada rekannya bahwa dirinya kerap dipukuli. Terkait kematian tahanan tersebut, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto membenarkan adanya tahanan Polres Metro Jakarta Selatan yang meninggal dunia, namun pihak Polres menyatakan sebab kematian karena sakit demam dan tidak nafsu makan.

Meskipun Kapolres Metro Jakarta Selatan mengklaim bahwa kematian tahanan tersebut disebabkan sakit, Pernyataan ini patut diperiksa kebenarannya. Karena FNS meninggal pada saat menjalani masa penahanan, terlebih lagi ada klaim darinya bahwa ia pernah dipukuli dan ada tanda-tanda luka.

Indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali, terlebih dalam perkara narkotika. Sebelumnya, pada Agustus tahun 2020 lalu, publik dihebohkan atas dugaan penyiksaan yang dialami Hendri Alfred Bakar. Kematian Hendri saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam diduga akibat penyiksaan. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.  

Praktik penyiksaan dalam proses hukum ini sesungguhnya telah lama dilaporkan komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia. Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh LBH Masyarakat pada 2011 menyebutkan bahwa dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi tersebut dipertegas kembali pada tahun 2021 yang menemukan bahwa dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta terdapat 22 orang mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian. Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras.

Tiga Permasalahan Mendasar

Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini.

Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia. Saat ini ada catat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan. Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan mehanan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan.

Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.

Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, dimana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan. Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan real time.

Atas hal ini, ICJR, LBH Masyarakat dan Rumah Cemara mendesak:

  1. Lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) segera melakukan respon cepat dengan melakukan pemantauan dan asesmen pada tempat-tempat penahanan dan melakukan investigasi mandiri pada kasus ini agar memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan pada Polri agar hal serupa tidak terjadi lagi; Polri juga perlu  menyelidiki kasus ini secara menyeluruh dan memberi hukuman pada anggota yang terbukti melanggar prosedur dan melakukan penyiksaan;
  2. dalam tataran normatif, Pemerintah dan DPR segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) untuk memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan yang menjadi ruang terjadinya penyiksaan, dan;
  3. Dalam tataran normatif yang lebih besar, Pemerintah dan DPR segera melakukan langkah konkret melakukan revisi KUHAP dan UU Narkotika. Penahanan di kantor kepolisian harus dilarang dalam KUHAP ke depan, dekriminalisasi pengguna narkotika harus disusun dalam revisi UU Narkotika.

Laporan Penelitian – Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 yang melanda hingga saat ini telah berdampak pada seluruh sektor kehidupan. Dampaknya telah dirasakan langsung oleh masyarakat, begitupun dengan mereka yang termasuk dalam kelompok rentan. Pasca kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Indonesia, Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) adalah jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Transformasi ini juga dibarengi oleh peraturan-peraturan baru, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mencegah dan menekan penyebaran yang masif COVID-19 semisal Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 dan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 33 Tahun 2020.

Sekalipun banyak peraturan yang lahir, nyatanya kasus Covid-19 terus meningkat angkanya di Indonesia. Kenaikkan angka ini juga menimbulkkan kekhawatiran terhadap perlindungan hak kelompok rentan selama pandemi.

World Health Organization (WHO) sendiri telah mengkategorikan beberapa kelompok rentan yang berisiko mengalami kondisi kronis jika terpapar COVID-19, yakni para lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan penyakit
bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius.

Pengguna narkotika bisa dikatakan sebagai salah satu kelompok rentan, karena pengguna narkotika berpotensi mengalami kondisi yang buruk jika terpapar COVID-19 karena penggunaan narkotika jenis tertentu dapat menimbulkan penyakit penyerta. Di mana penyakit–penyakit tersebut dapat menjadi komorbid sehingga dapat berakibat fatal dan menyebabkan kematian.

Situasi kesehatan kian riskan ini pun diperburuk dengan stigma dan diskriminasi bagi pengguna narkotika. Stigma dan diskriminasi telah menempatkan penguna narkotika sebagai kriminal. Hal tersebut semakin diperburuk dengan vokalnya pemerintah Indonesia dalam \”War on Drugs\”.

Lewat laporan ini LBHM mencoba melacak bagaimana situasi pemenuhan pengguna narkotika di masa pandemi COVID-19 ditengah gempuran stigma dan diskriminasi serta pandemi berkepanjangan.

Simak laporan lengkapnya di link berikut:
Pemenuhan Hak Pengguna Narkotika di Masa Pandemi Covid-19

Rilis Pers – JERAT NARKOTIKA DI BADAN POLRI: BUKTI HUKUMAN MATI TIDAK LAGI RELEVAN, SEKALIGUS MENYUBURKAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

Tertangkapnya Kapolsek Astanaanyar, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika, bukanlah tindak pidana narkotika pertama yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pada Oktober 2020 lalu, publik juga dikejutkan dengan seorang polisi berpangkat perwira inisial IZ yang terlibat peredaran narkotika jenis sabu seberat 16 kg di Provinsi Riau. 

Sayangnya reaksi yang ditunjukkan aparat sangatlah \’bahaya\’ yakni dengan mengamini hukuman mati bagi mereka (anggota polri) yang terlibat dalam kasus narkotika–Irjen Argo Yuwono menyebut, Anggota Polri yang terlibat tindak pidana narkotika, tanpa memandang sebagai pemakai atau pengedar harus dihukum mati, karena dianggap paham hukum dan konsekuensinya–Realita yang ada justru membuktikan jika hukuman mati tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan tindak pidana lagi (narkotika).

Tentu hal ini membuat institusi Polri tercerung, dan dengan adanya kejadian ini sudah seharusnya Polri mulai melakukan evaluasi dalam perihal penangkapan atas tindak pidana narkotika.

Selengkapnya di link berikut:

Laporan Penelitian- Penggunaan Narkotika Pada Perempuan

Ringkasan eksekutif United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC) tahun 2017 menyebutkan bahwa jumlah perempuan pengguna narkotika terus meningkat. Pada tahun 2015, jumlah perempuan pengguna narkotika setengah dari jumlah pengguna laki-laki. Jumlah ini terbilang sedikit dengan jumlah pengguna narkotika laki-laki.

Sedikitnya layanan perawatan adiksi yang ramah atau sensitif terhadap perempuan menjadi suatu masalah, karena nantinya akan berpengaruh pada kurangnya pemenuhan kebutuhan perempuan. Perempuan memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan laki-laki dan juga motif yang khusus dan unik dalam menggunakan narkotika seperti mengontrol berat badan, mengatasi rasa sakit haid, dan mengatasi depresi atau stres yang disebabkan karena perceraian, kehilangan hak asuh anak, atau meninggalnya pasangan atau anak.

Laporan ini secara spesifik mengurai fakta-fakta terkait penggunaan narkotika di kalangan warga binaan perempuan tindak pidana narkotika. Laporan ini juga merupakan kelanjutan dari hasil temuan penelitian LBHM sebelumnya yang berjudul “Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika”.

Laporan lengkap dapat teman-teman baca di sini ya!

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Kerentanan Kurir Narkotika Perempuan dan Hukum Yang Tak Peka

Maskulinitas dalam kebijakan Narkotika Indonesia sangatlah tertampang jelas. Narkotika masih dianggap sebagai barang laki-laki sehingga keterlibatan perempuan di dalamnya dan keterlibatan perempuan di dalamnya terasa sebagai anomali, presepsi ini pun dituangkan dalam kebijakan narkotika (UU Narkotika, Nomor 35 Tahun 2009) dan menyebabkan adanya bias gender.

\"\"

Dalam banyak kasus narkotika, perempuan kerap kali terlibat seperti dalam kasus perdagangan narkotika. Keterlibatan perempuan ini banyak terjadi di level bawah atau sebagai kurir narkotika. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak laki-laki, namun temuan yang ada menemukan jika jumlah perempuan yang mendapatkan hukuman pemenjaraan karena terlibat dalam kasus narkotika naik signifikan. Hasil pemantauan dari Penal Reform Internasional dan Thailand Institute of Justice menunjukkan bahwa populasi perempuan di penjara karena tindak pidana narkotika meningkat 50% dalam kurun waktu 2000-2020. Keterlibatan perempuan menjadi kurir narkotika juga tidak bisa dipisahkan dengan adanya relasi kuasa serta faktor-faktor kerentanan perempuan, seperti ekonomi dan kekerasan yang mereka terima.

Masalah lain yang dihadapi perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika adalah mendapatkan keadilan. Kerangka hukum yang masih bersifat punitif justru mempersulit perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika untuk mendapatkan keadilan. Mereka juga kurang mendapatkan informasi tentang hak-haknya ketika berhadapan dengan hukum.

Laporan lengkapnya dapat teman-teman baca di link ini

Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Indonesia menunjukkan komitmen besar untuk mencapai Sustainable Development Goals sebelum 2030. Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015 ini melingkupi berbagai area, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, lingkungan, keadilan dan perdamaian. Dengan moto ‘tidak meninggalkan seorang pun’, pemerintah Indonesia mencoba untuk mengarusutamakan tujuan-tujuan SDGs ke dalam kebijakan dan program yang dijalankan oleh kementerian-kementerian terkait.

Namun, upaya untuk mencapai SDGs berjalan paralel dengan kebijakan keras Indonesia terhadap narkotika yang tampak jelas dalam jargon ‘perang terhadap narkotika’. Didukung oleh akademisi, banyak organisasi komunitas pengguna narkotika dan kelompok hak asasi manusia yang menunjukkan bagaimana pendekatan punitif yang Indonesia terapkan sebetulnya menimbulkan lebih banyak ketidakadilan mengingat bagaimana kebijakan-kebijakan itu mengabaikan aspek kesehatan dan menimbulkan diskriminasi. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul sengaja ataupun tidak sengaja dari kebijakan narkotika Indonesia bersifat kontraproduktif terhadap tujuan SDGs yang Indonesia berusaha sangat keras untuk mencapainya.

Reprieve dan LBHM, dengan bantuan dari Kedutaan Swiss di Indonesia, mencoba untuk menelisik lebih dalam ke persinggungan antara kebijakan narkotika dan SDGs. Pada hari ini, 26 Juni, yang bertepatan dengan Hari Anti Narkotika Internasional, kami meluncurkan sebuah laporan berjudul “Reorientasi Kebijakan Narkotika di Indonesia: Jalan Setapak Menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”. Laporan ini bertujuan untuk membuka lebih banyak dialog tentang kebijakan narkotika yang berdasar bukan dari ketakutan buta melainkan dari bukti-bukti penelitian.

Untuk mengakses dokumen ini, silakan klik link ini.

CSO Report: Review of Indonesia Drug Policy – Submmision to The Human Rights Comittee, 129th session.

LBHM, ICJR dan HRI bersama-sama menyusun laporan tentang situasi penegakan hukum dan HAM dalam kasus narkotika di Indonesia. LBHM bersama organisasi lainnya mendapatkan kesempatan untuk melaporkan temuannya ke dalam Rapat Komite HAM yang ke 129.

Dalam laporan ini menyertakan beberapa laporan tentang situasi Hukum dan HAM di Indonesia khususnya dalam isu narkotika seperti:

  1. Hukuman Mati dalam kasus narkotika,
  2. Extrajudicial killing dalam kasus narkotika,
  3. penyiksaan dan perlakuan buruk dalam kasus narkotika,
  4. Hukuman yang tidak proporsional dan situasi pemenjaraan dalam kasus narkotika,
  5. Penahanan dan perawatan wajib,
  6. Perlakuan buruk di pusat rehabilitasi dan kurangnya pemantauan.

Untuk melihat laporan lengkapnya, teman-teman silahkan mengaskes dokumennya di sini

Skip to content