Tag: DPR RI

Perlunya Perubahan Besar Dalam Undang-Undang Narkotika

Jakarta, 2 April 2022 – Pada 6 Desember 2021 lalu, disepakati Daftar Prolegnas Prioritas 2022, dengan salah satu daftar revisi UU tersebut adalah revisi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika). Per 14 Januari 2022, Pemerintah mengirimkan RUU Narkotika kepada DPR untuk dibahas.

Tindak lanjut hal tersebut, Kamis, 31 Maret 2022, Komisi DPR RI mengelar Rapat Kerja dengan Menteri Hukum dan HAM tentang isi RUU tersebut.

JRKN mencermati RUU yang diberikan oleh Pemerintah kepada DPR dan pembahasan antara pemerintah dan DPR dalam Rapat Kerja tersebut. Terdapat sejumlah catatan:

Pertama, pendekatan dalam reformasi kebijakan Narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Dengan pendekatan ini, intervensi bagi pengguna Narkotika hanya dan hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan (science), dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif). Pemerintah telah tepat melihat masalah utama kebijakan karena memberi dampak pada overcrowding rutan dan lapas. Namun, pemerintah lantas memberikan solusi dengan rehabilitasi proses hukum, yang mana merupakan rehabilitasi berbasis hukuman. JRKN ingatkan bahwa konsep ini hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna Narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat dan bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

Kedua, penggunaan Narkotika harusnya didekriminaliasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi. Negara-negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib. Namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat. World Drug Report 2021 menjelaskan bahwa hanya 13% pengguna Narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna Narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan Pemerintah. Skema dekriminaliasi yang JRKN perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna Narkotika menjadi subjek penilaian panel asesmen, yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan, sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan.

Ketiga, ketentuan pidana harusnya diubah dan ancaman pidana penjara minimum khusus dan pidana mati harus dihapuskan. Pemerintah menyatakan tidak akan mengirimkan pengguna Narkotika ke penjara, namun justru luput memperbaiki kontradiksi pasal-pasal UU Narkotika antara Pasal 111 tentang Penguasaan Narkotika Golongan I jenis tanaman, Pasal 112, Pasal 117 dan Pasal 122 tentang Penguasaan Narkotika, Pasal 114, Pasal 119, Pasal 124 tentang membeli Narkotika, dengan Pasal 127 tentang penyalahgunaan Narkotika. Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian Narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini.

Keempat, aturan tentang penggolongan Narkotika. Pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan Narkotika golongan I untuk kesehatan, yang seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah/mengeluarkan/memasukkan suatu zat ke dalam Narkotika golongan tertentu. Sehingga ketentuan mengenai perlunya Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini.

Kelima, pengaturan Zat Psikotropika Baru (ZPB), dalam Pasal 148A RUU Narkotika usulan pemerintah, diperkenalkan pasal yang dapat mengkriminaliasi perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Zat Psikoaktif Baru, dengan ancaman pidana 2-10 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas legalitas, karena orang dapat dipidana atas kepemilikan suatu zat yang belum ditentukan sebagai Narkotika, artinya orang dikriminalisasi atas ketentuan yang belum diatur, hal ini bertentang dengan asas legalitas yang paling dasar dalam hukum pidana, sesuai dengan asas dalam Pasal 1 KUHP. Sungguh memprihatikan.

Pengaturan tentang Zat Psikoaktif Baru dalam UU Narkotika harusnya hanya menjangkau sampai aspek ZPB ini ditentukan sebagai Narkotika, tidak untuk pelarangan kepemilikan dan penguasaan. Hal ini dapat diatur jika pemerintah membentuk peraturan pemerintah soal tata cara penggolongan Narkotika.

Memang masalah utama kebijakan Narkotika membawa dampak overcrowding, namun solusinya bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman. Yang perlu dikedepankan adalah perbaikan tata kelola Narkotika yang tepat dengan berdasarkan penghormatan HAM, kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).

Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN):
ICJR, Rumah Cemara, Dicerna, IJRS, LBH Masyarakat, PKNI, PBHI, CDS, LGN, YSN, LeIP, WHRIN, Aksi Keadilan, PEKA, LBH Makassar, PPH Unika Atma Jaya, Yakeba.

Rilis Pers – Audiensi Koalisi Pemantau Peradilan ke Komisi Yudisial

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memutuskan 7 nama yang terpilih menjadi Hakim Agung pada 21 September 2021 lalu. Adapun 7 nama yang terpilih  mengisi berbagai formasi, diantaranya yaitu 5 nama pada Kamar Pidana, 1 nama pada Kamar Perdata, dan 1 nama pada Kamar Militer.

Dari hasil pemantauan yang telah dilakukan oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) selama proses seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan proses uji kelayakan dan kepatutan di DPRI RI, terdapat beberapa catatan dan evaluasi mengenai kepatutan calon terkait dengan integritas, komitmen dalam pemberantasan korupsi, visi misi, serta komitmen dalam mendukung reformasi peradilan yaitu:

A. Transparansi dan Akuntabilitas Pelaksanaan Seleksi Calon Hakim Agung

  1. Beberapa CHA yang lolos ke tahap wawancara diduga memiliki rekam jejak bermasalah, mulai dari jumlah harta kekayaan yang tidak wajar hingga dugaan pelanggaran integritas dan profesionalitas.
  2. Pintu untuk memberikan masukan dari masyarakat tidak dibuka secara luas oleh Komisi Yudisial. Sebagai contoh, Kantor Penghubung Komisi Yudisial tidak cukup aktif dalam menjaring masukan.
  3. Panelis dan Komisioner Komisi Yudisial memberikan kesan intimidatif saat melemparkan pertanyaan, tetapi justru tidak terdapat pendalaman yang berarti secara substansi.

Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Pansel memiliki nuansa yang tidak bermanfaat bagi seleksi CHA dan hanya menunjukkan kegarangan Pansel terhadap CHA. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak punya korelasi dengan pengetahuan dan keahlian seorang CHA. Dalam jangka panjang, tipikal wawancara seperti ini akan mengakibatkan calon-calon terbaik enggan mendaftar menjadi CHA.

  1. Proses pendalaman profil berupa klarifikasi rekam jejak CHA dalam wawancara CHA sempat dilakukan secara tertutup dengan menonaktifkan suara (mute) pada saat live Youtube berlangsung, namun pada hari kedua mekanisme ini diubah dan dapat disaksikan secara daring oleh publik. Hal ini menunjukkan bahwa tahap wawancara tidak sepenuhnya dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini tidak sejalan dengan UU Komisi Yudisial dan Peraturan Komisi Yudisial No. 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung yang mengatur bahwa “seleksi calon hakim agung dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel.” Dalam Peraturan KY ini, diatur dalam Pasal 21 ayat (6) bahwa wawancara dilakukan secara tertutup dalam hal terdapat informasi baru terkait kesusilaan.
  2. Setelah proses wawancara yang kurang transparan, akuntabel dan partisipatif, proses pengumuman CHA yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dipublikasikan oleh Komisi Yudisial.

B. Kebutuhan Mahkamah Agung atas Hakim Agung dan Kaitannya dengan Pelaksanaan Sistem Kamar di Mahkamah Agung

1. Keadaaan Perkara dan Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung
Persyaratan utama sistem kamar adalah tersedianya hakim agung yang memiliki spesialisasi atau keahlian yang sesuai dengan kebutuhan penanganan perkara pada Kamar. Saat ini beban perkara di Mahkamah Agung masih tergolong tinggi.

Jumlah perkara yang ditangani Mahkamah Agung tidak sedikit jumlahnya. Salah satu cara untuk meminimalisir banyaknya perkara berada di Mahkamah Agung adalah mempercepat proses penanganan perkara melalui jumlah hakim agung yang mendukung pada setiap kamar. Jumlah beban perkara seharusnya berbanding lurus dengan jumlah hakim agung pada kamar. Namun, saat ini jumlah perkara belum seimbang dengan jumlah hakim agung dan spesialisasinya pada kamar-kamar.

2. Mekanisme Penentuan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung

  • Parameter Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung
    Undang-undang hanya mengatur pengisian jabatan untuk hakim agung yang akan pensiun tetapi tidak mengatur untuk pengisian dengan alasan hakim agung meninggal dunia atau kebutuhan Mahkamah Agung terkait penerapan sistem kamar. Secara ideal, KPP memandang parameter kebutuhan pengisian jabatan hakim agung harus melihat 3 (tiga) faktor, yaitu:
  1. Hakim agung yang akan memasuki usia pensiun dalam waktu dekat;
  2. Hakim agung yang meninggal dunia;
  3. Komposisi jumlah hakim agung dan jumlah beban perkara dalam setiap kamar.

Ketiga faktor tersebut akan menjadi valid sebagai ukuran pengisian jabatan hakim agung ketika diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait seleksi calon hakim agung serta menjadi pedoman Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan DPR yang terlibat dalam proses seleksi.

  • Pihak yang Berwenang Menentukan Kebutuhan Pengisian Jabatan Hakim Agung dan Menyatakan Diadakannya Seleksi Calon Hakim Agung
    Secara ideal, Mahkamah Agung seharusnya adalah pihak yang menentukan kebutuhan pengisian jabatan hakim agung. Hal ini didasari alasan Mahkamah Agung adalah rumah hakim agung dan seharusnya mengetahui kebutuhannya dalam menjaga kesatuan hukum.

    Meskipun Mahkamah Agung adalah pihak yang seharusnya berwenang menentukan kebutuhan, peran Komisi Yudisial tidak bisa dikesampingkan. Komisi Yudisial seharusnya ikut dalam menganalisis kebutuhan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial seharusnya berkoordinasi mengenai kebutuhan pengisian jabatan hakim agung dengan tetap mengacu pada parameter yang ada. Sebagai pintu awal seleksi, Komisi Yudisial pada dasarnya dapat memberikan masukan kepada Mahkamah Agung terkait kebutuhan pengisian jabatan hakim agung.

C. Rekomendasi

  1. Komisi Yudisial menyelenggarakan proses seleksi Calon Hakim Agung secara terbuka dan dapat diakses oleh publik secara tatap muka (offline) dan daring (online).
  2. Memilih Calon Hakim Agung yang memiliki profil:
    • CHA yang memiliki visi dan misi yang jelas sebagai Hakim Agung;
    • CHA yang tidak memiliki catatan integritas yang buruk;
    • CHA yang memiliki harta kekayaan yang wajar;
    • CHA yang memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih;
    • CHA yang berkomitmen untuk berperan aktif dalam reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung;
  1. CHA yang memahami peran hakim dan pengadilan dalam pemenuhan HAM sesuai kedudukan pengadilan dalam konsep negara hukum; serta
  2. CHA yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin dan kelompok minoritas, serta perlindungan lingkungan hidup.
  3. Komisi Yudisial sebaiknya terus mengupdate database calon hakim agung yang bisa dijaring ketika proses seleksi calon hakim agung akan dimulai.
  4. Dibutuhkan forum rutin antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk membahas seleksi calon hakim agung. Mulai dari membahas kebutuhan hakim agung, kondisi MA, sampai dimulainya pelaksanaan seleksi.

Koalisi Pemantau Peradilan:
TII, LeIP, IJRS, PBHI, LBH Masyarakat (LBHM), ICEL, ICW, YLBHI, PUSKAPA, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta, PILNET Indonesia.

Skip to content