Tag: BNN

Rilis Pers – Tanggapan atas Kerja Sama LPSK dan BNN

Sebagai lembaga yang memiliki fokus melindungi saksi dan korban sudah menjadi hal yang wajar jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menjalin kerja sama untuk memberikan rasa aman bagi saksi maupun korban dalam tindak pidana narkotika. Kerja sama yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) sudah berlangsung lebih kurang sejak tahun 2016 dan berakhir pada September 2021. Pada 2 November 2021, LPSK dan BNN resmi memperjangan kerja sama di kantor BNN.

Selain itu, perpanjangan kerja sama ini juga adanya faktor desakan dari Komisi III DPR RI agar LPSK memiliki peran yang lebih besar dalam melakukan perlindungan saksi tindak pidana narkotika. Namun, jika ditinjau lebih lanjut, langkah ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan selama proses penyelesaian perkara pidana di tingkat peradilan dan cenderung belum tepat sasaran.

Dalam praktiknya, sering kali kita melihat saksi yang dihadirkan di persidangan dalam tindak pidana narkotika adalah pihak kepolisian maupun BNN yang melakukan penangkapan atau berstatus sebagai penyidik terhadap Terdakwa. Yang mana peran mereka sudah dilindungi dalam pasal 212 pada KUHP dan pasal 7 pada Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Polri.

Berdasarkan pemantauan berita daring yang dilakukan oleh LBH Masyarakat (LBHM), pada tahun 2017, terdapat 183 kasus tembak di tempat terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika dengan jumlah korban total 215 orang. Sedangkan pada tahun 2018 terdapat penurunan jumlah kasus tembak di tempat yaitu sebanyak 159 kasus, dengan jumlah korban total 199 orang. Ditambah, praktik-praktik penyiksaan dalam lingkup pemeriksaan dan kekerasan dalam lingkup penahanan, serta pemerasan masih terus terjadi, khususnya di kasus narkotika. Hal ini lah yang seharusnya menjadi sorotan utama sebagai bentuk implementasi kerja sama yang baik antara BNN dengan LPSK.

Dalam kasus narkotika, tindakan penembakan justru menjadi instrumen dalam melakukan penegakan hukum, yang mana harus dipahami bahwa tindakan tersebut adalah sebagai wujud pengingkaran terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia. Kerja sama yang terjadi antara LPSK dan BNN masih dirasa belum tepat sasaran dan justru akan menjadi tameng bagi aparat penegak hukum terkait dalam melegitimasi tindakannya yang mengingkari jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Saat ini, yang dibutuhkan dalam rangka melindungi saksi dan korban dalam kasus narkotika adalah membuat regulasi yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang terdampak dari tindakan penegakan hukum yang melanggar hak asasi manusia. Jika LPSK menginginkan tujuan mulianya benar-benar tercapai, harus ada regulasi khusus untuk memberikan perlindungan hukum yang memungkin bagi LPSK membuka pintu pengaduan tersebut seluas-luasnya bagi masyarakat terdampak.

Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM mendesak agar:

  1. LPSK dan BNN mengutamakan perlindungan hukum dan keamanan bagi terduga pelaku dalam kasus narkotika;
  2. LPSK dan BNN menyepakati bahwa pengguna narkotika dan perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika merupakan korban yang patut dilindungi dan dijamin;
  3. LPSK bersedia memberikan pertimbangan kepada perempuan korban relasi kuasa dalam kasus narkotika sebagai saksi pelaku (justice collaborator).

Narahubung:
1. Kiki Marini Situmorang: 0896 3970 1191
2. Awaludin Muzaki: 0812 9028 0416

Join Letter – Civil society requests for the 42nd ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matters (ASOD) and 7th ASEAN Ministerial Meeting on Drug Matters (AMMD)

Menjelang pertemuan penting dengan ASEAN pada 14 September 2021, LBHM bersama dengan 24 organisasi masyarakat sipil lainnya di Asia Tenggara bergabung untuk mengangkat isu terkait buruknya penerapan kebijakan narkotika di wilayah Asia Tenggara yang sudah bertahun-tahun terjadi. Selain itu LBHM dan 24 CSO lainnya juga mengirimkan surat terbuka kepada Kepala BNN terkait penanganan narkotika di Indonesia. Ada beberapa isu yang menjadi konsern dari kelompok masyarakat sipil:

  1. Dampak buruk dari Overkriminalisasi, Pemaksaan Rehabilitasi, hingga Hukuman Mati;
  2. Mempromosikan alternatif penghukuman dan peradilan yang adil (fair trial) terhadap kasus narkotika (minor);
  3. Mendorong ASEAN untuk menyesuaikan rekomendasi kebijakan dari badan UN terkait posisi narkotika dan pemenjaraan, termasuk pengurangan dampak buruk;
  4. Mendorong adanya pelibatan aktif dari kelompok masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan terkait narkotika.

Dokumen tersebut dapat di akses di link berikut:

Rilis Pers – Sengketa Informasi Penolakan Ganja untuk Kepentingan Kesehatan ke Publik

Juni lalu Pemerintah dan BNN sepakat untuk menolak rekomendasi WHO terkait legalisasi Ganja untuk kepentingan medis. Dalih penolakannya adalah jenis ganja yg ada di Indonesia dengan yang ada di luar Indonesia berbeda (dengan Eropa, Amerika dll). Selain itu Pemerintah mengejutkan publik dengan mengeluarkan \’hasil penelitian\’ terkait ganja di Indonesia dimana dikatakan ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi (18 %) dan CBD yang rendah (1%). Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat Psikoaktif—Canabis/ Ganja dapat digunakan untuk pengobatan seperti epilepsi adalah yang berasal dar hasil budidaya rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi (high CBD) dan kandungan THC rendah (low THC), bukan seperti Ganja dari Indonesia.

Sayangnya klaim ini tidak berdasar karena Indonesia sama sekali belum pernah melakukan riset terkait ganja medis. Oleh karena itu pada bulan Juli Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan melayangkan permohonan informasi publik yang ditujukan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan. Namun hingga saat ini belum mendapat jawaban/respon oleh pemerintah sama sekali.

Karena \’gayung tak bersambut\’, pada tanggal 28 September 2020, sengketa ini harus berlanjut ke tahap sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP). Karena tidak ada satu pun dari 3 instansi pemerintah yang ditujukan BNN, Polri, dan Kementrian Kesehatan yang menjawab permohonan informasi publik yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di link ini

Rilis Pers – Kebijakan Narkotika Indonesia Perlu Arah, Bukan Darah!

LBH Masyarakat mengecam keras sejumlah pernyataan Komjen Budi Waseso, Kepala BNN, pada rilis pers akhir tahun BNN kemarin, Rabu, 27 Desember 2017. Pernyataan-pernyataan keras yang dilontarkan pada rilis pers tersebut tampak seperti sebuah upaya pencitraan heroik yang berlebihan yang sesungguhnya tidak menolong upaya pengentasan kejahatan narkotika dalam tataran riil. 

Dalam rilis pers BNN kemarin, Budi Waseso berkata bahwa ada 79 orang yang telah ditembak mati dan 58.365 orang yang ditangkap. Budi Waseso juga berkata bahwa ia berharap puluhan ribu orang ini melawan saat penangkapan atau penggebrekan sehingga BNN punya justifikasi untuk menembak mati mereka. Baginya hal tersebut menunjukkan keseriusan BNN dalam upaya pemberantasan narkotika.

LBH Masyarakat memandang apabila memang BNN serius untuk melakukan pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika, seharusnya BNN menghimpun informasi lebih banyak untuk mengungkap betapa luas peredaran gelap narkotika dilakukan. Hal ini tidak akan tercapai ketika orang yang dapat menyampaikan informasi ini dihilangkan nyawanya. Maka sejatinya menembak mati seorang terduga peredaran gelap narkotika adalah kemunduran terang-terangan dalam upaya pemberantasan, jika tidak ingin kita katakan gegabah atau gagah-gagahan belaka. Mengingat tembak mati akan memutus rantai informasi peredaran gelap narkotika, maka pertanyaannya adalah mengapa BNN justru ingin menutup informasi tersebut dari publik?

Budi Waseso juga berkata bahwa ia lebih menyukai intervensi tembak mati daripada eksekusi hukuman mati karena lepas dari pro-kontra dan tidak berlarut-larut. Pernyataan ini seakan disampaikan dengan maksud untuk mempercepat proses penindakan. Hal ini sesungguhnya tidak tepat sama sekali. Kebijakan tembak mati yang Presiden Rodrigo Duterte lakukan di Filipina mendapat kecaman keras baik dari dalam dan luar negeri yang kemudian mengganggu kredibilitas pemerintahannya. Lebih dari itu, BNN adalah lembaga penegak hukum maka sudah seharusnya BNN menegakkan hukum dengan memperhatikan rambu-rambu yang sudah disediakan hukum dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk dalam melakukan tembakan. Prosedur hukum ada untuk melindungi masyarakat sipil dari kesewenang-wenangan penegak hukum oleh karenanya hal ini wajib diperhatikan oleh BNN.

Lebih lanjut dia menyarankan agar eksekusi terpidana mati dilakukan secara diam-diam dan baru disampaikan kepada publik setelah tiga tahun. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena (1) membuat tindakan penegak hukum sulit dipantau publik dan wujud abuse of power, (2) menghilangkan kesempatan keluarga terpidana untuk berinteraksi dengan terpidana dan bertanya-tanya tentang nasib si terpidana, serta (3) menempatkan Indonesia dalam sorotan dunia internasional lebih dalam ketika pihak kedutaan tidak dapat memantau nasib warga negaranya yang terancam hukuman mati.

LBH Masyarakat mendukung sepenuhnya tujuan BNN untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Namun penting untuk menghormati hukum (rule of law) dan juga hak asasi manusia – dalam konteks apapun. Sejarah menunjukan pada kita bahwa rezim-rezim yang dzalim diawali dengan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam ini.

Persoalan mendasar sesungguhnya adalah pemerintah harus mengubah tolak ukur dalam mengukur kesuksesan kebijakan narkotikanya. Ada pertanyaan-pertanyaan yang jarang kita bahas: sudah seberapa jauh intervensi kesehatan kita lakukan pada pemakai narkotika? Masihkah pemakai narkotika dihadapkan dengan penjara? Apakah peningkatan anggaran pada aspek pemberantasan berbanding lurus dengan pengurangan jumlah narkotika yang beredar di pasaran? Apakah membunuh orang melalui tembak mati dan eksekusi mati telah mengurangi peredaran gelap narkotika?

Tengah tahun depan, BNN akan berganti tonggak kepemimpinan. Pada siapapun yang akan mengisi posisi ini, perlu dicatat bahwa kebijakan apapun, termasuk narkotika, tak membutuhkan lebih banyak darah dan amarah. Indonesia memerlukan kebijakan narkotika yang efektif dan terarah.

 

Jakarta, 28 Desember 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – BNN Tidak Berwenang Urus PCC

LBH Masyarakat mengkritik keterlibatan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pengungkapan kasus paracetamol caffeine carisoprodol (PCC) di Semarang pada Minggu kemarin, 3 Desember 2017. BNN semestinya tidak terlibat dalam, apalagi memimpin, operasi tersebut mengingat BNN hanya berwenang untuk mengurusi narkotika – dan secara hukum, PCC bukanlah narkotika.

Pasal 70 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa tugas BNN adalah “…memberantas…peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.” Di sisi lain, Pasal 1 angka 1 UU Narkotika menyebutkan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis…yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Kemudian, Pasal 6 ayat 3 UU Narkotika mengatur “Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika…diatur dengan Peraturan Menteri.”

Merujuk pada sejumlah peraturan di atas, semestinya BNN hanya mengerjakan kasus yang zatnya memang sudah disebut dalam lampiran UU Narkotika. Lampiran UU Narkotika yang terakhir, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017, tidak mencantumkan PCC di dalam zat yang dilarang.

LBH Masyarakat memandang bahwa elemen penegak hukum yang lebih tepat, secara hukum, untuk mengurusi persoalan PCC ini adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kasus ini lebih tepat dikenakan dengan Pasal 196 dan/atau Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang melarang produksi dan peredaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar kualitas dan tanpa izin edar. Polri berwenang untuk menyelesaikan perkara di UU Kesehatan sedangkan BNN tidak memiliki kewenangan tersebut. Wewenang BNN terbatas pada UU Narkotika saja.

BNN hanya berwenang untuk menangani hal ini apabila ada kandungan zat-zat narkotika atau prekursor yang sudah terdaftar dalam Permenkes 41/2017 di dalam sampel pil-pil yang menuntun BNN ke pengungkapan ini atau di dalam pil-pil yang di dapatkan dalam upaya penggebrekan ini. Apabila situasinya memang demikian, LBH Masyarakat menghimbau pada BNN maupun rekan-rekan media untuk tidak memakai terminologi pil PCC dalam reportase kasus ini. Bagaimanapun juga, PCC merujuk pada satu obat tertentu yang, meski tak lagi beredar di Indonesia, digunakan untuk pemulihan beberapa jenis penyakit. Sungguh tidak bijak apabila obat yang memiliki potensi manfaat medis justru distigma sebagai hal yang meracuni masyarakat dan kemudian didramatisir secara berlebihan. Beberapa liputan, ahli, dan pemeriksaan juga telah menyebut bahwa pil-pil yang ditemukan di Kendari pada insiden beberapa waktu lalu juga tidak murni PCC atau bahkan bukan PCC sama sekali.

LBH Masyarakat mendukung penuh upaya penghentian peredaran obat-obatan ilegal. Namun dalam melakukan upaya pemberantasan, penegak hukum tetap perlu mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan ketentuan hukum. Jangan sampai kasus dan temuan sepenting ini kemudian tidak dapat diproses lebih jauh karena persoalan pelanggaran hukum acara. Tentu kita tidak mau persoalan pajak kita diurus oleh Satpol PP. Kita juga tidak mau persoalan imigrasi kita diurus oleh militer atau KPK, bukan? Konstitusi Indonesia jelas menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kita harus hormati hal itu untuk semua urusan, termasuk narkotika dan obat ilegal.

 

Jakarta, 4 Desember 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers LBH Masyarakat – Sebuah Momen Introspeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta

Rilis pers ini telah disampaikan pada konferensi pers yang diadakan oleh LBH Masyarakat yang bertajuk ” Tragedi FAS: Sebuah Ujian Untuk Hati Nurani” . Turut berbicara pada konferensi pers itu adalah Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Asmin Fransiska (Kepala LPPM Unika Atma Jaya), Inang Winarso (Direktur Eksekutif YSN), dan Dhira Narayana (Ketua LGN). Acara tersebut diadakan di kantor LBH Masyarakat pada 2 April 2017.

LBH Masyarakat prihatin dengan rangkaian peristiwa yang harus dihadapi oleh Saudara FAS dan keluarga. LBH Masyarakat juga menyampaikan belasungkawa yang paling dalam atas berpulangnya Ibu YR, istri dari Saudara FAS. Dalam mempersiapkan konferensi pers ini, LBH Masyarakat juga sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Berawal dari divonisnya Ibu YR (Alm.) dengan penyakit Syringomyelia, sebuah situasi di mana ada kista di sumsum tulang belakang. Kista ini dapat mengembang dan memanjang sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengganggu banyak bentuk aktivitas, misalnya kesulitan untuk tidur, makan dan minum, ekskresi, rasa sakit yang luar biasa, sulit berinteraksi, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya situasi yang harus mereka hadapi. Telah dicoba pula berbagai perawatan konvensional dan alternatif. Sempat juga ada keinginan untuk membawa ibu YR ke luar Kalimantan untuk berobat. Namun kondisi ibu YR saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Dalam keputusasaan, harapan itu muncul dari sebuah tanaman yang di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika golongan I, Ganja.  Ekstrak ganja datang sebagai suatu kemungkinan yang patut dicoba untuk memperpanjang kehidupan ibu YR. Mari kita letakkan posisi sebagai seseorang yang sedang memperjuangkan nyawa teman hidup. Tempatkan diri kita pada seseorang yang berusaha untuk mempertahankan sosok seorang ibu dalam kehidupan anak-anak kita. Pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan Ibu YR ini yang kemudian membuat Saudara FAS ditahan hingga hari ini. Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang patut kita pikirkan:

Yang pertama, UU Narkotika memang sebenarnya tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Namun bukan berati hal ini tepat, justru ketentuan ini patut ditinjau ulang. Pasal 8 UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kesehatan. Pasal 8 ini pun tidak seirama dengan Pasal 7 UU Narkotika yang mengunci pemanfaatan narkotika hanya untuk kesehatan dan perkembangan iptek. Pada realitanya, golongan I tidak boleh digunakan untuk kesehatan. Upaya riset terhadap zat dan tanaman di golongan I tidak mudah mendapatkan persetujuan.

UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan. Berikan kesempatan pada penelitian untuk membuktikan manfaat zat atau tanaman tersebut untuk kemanusiaan. Berikan kesempatan juga untuk anak-anak muda Indonesia membuktikan bahwa apa yang tumbuh di tanah yang ia cintai, dapat berguna untuk banyak orang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju. Hal itu membuat dampak buruk dari suatu zat, jika ada, dapat dihilangkan dan di saat yang sama mempertahankan sifat baik daripada zat tersebut. Percayalah bahwa ilmuwan-ilmuwan kita mampu untuk itu dan percayalah bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat kita andalkan untuk mengawasi proses itu.

Yang kedua, pemenuhan hak. Hak atas kesehatan adalah sesuatu yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi Indonesia. Prinsipnya, hak atas kesehatan adalah hak semua orang dan Pemerintah sudah seharusnya memenuhinya. Salah satu aspek pemenuhan hak atas kesehatan adalah availibility atau ketersediaan serta accesibility atau keterjangkauan. Oleh karena itu, momentum ini dapat Pemerintah jadikan kesempatan untuk mulai merumuskan ulang kebijakannya. Agar ke depan, bagi seluruh rakyat Indonesia terjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap narkotika golongan I di mana ganja masuk di dalamnya. Cukup satu Ibu YR, jangan biarkan ada lagi anak bangsa yang harus kehilangan nyawa karena kita tak mau memberikan kesempatan pada pengetahuan. Kita yakin Indonesia mampu lebih baik dari ini.

Yang ketiga, persoalan hukum Saudara FAS. Menurut pandangan kami, setelah merujuk pada fakta-fakta umum kasus ini, pasal yang paling mungkin dikenakan pada Saudara FAS adalah Pasal 111 UU Narkotika terkait penanaman dan pemeliharaan narkotika golongan I jenis tanaman. Ancaman pidana yang tertera pada ayat 2 pasal tersebut ialah seumur hidup.

Ketika rekan-rekan penegak hukum, dalam hal ini BNN, menganggap bahwa jika mereka tidak menyidik kasus ini maka mereka salah karena tidak turut dengan UU, bagi kami anggapan tersebut tidak tepat. Penghentian penyidikan dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Justru karena kasus ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, BNN, atau Kejaksaan apabila kasus ini tetap diteruskan BNN, dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis. Ketika pidana dianggap sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan di ranah publik, maka tidak tepat kemudian menempatkannya di sini karena tidak ada niat jahat apa pun pada kasus ini. Dari apa yang dilakukan Saudara FAS terhadap Ibu YR tidak memunculkan kekacauan apapun di ranah publik. Kasus ini adalah sebuah wujud cinta yang luar biasa indah. Justru situasi ini memburuk ketika hukum pidana mengintervensi.

Yang keempat, perhatian pada situasi anak. Bahwa justru karena niat Saudara FAS untuk mempertahankan keluarganya, anaknya kini sebatang kara tanpa orang tua yang mendampinginya. Ibunya meninggal karena tak bisa mengakses obat yang ia butuhkan, ayahnya juga ditahan. Kesejahteraan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak merupakan hal yang juga patut diperhatikan karena perlindungan anak pun merupakan aspek penting dalam segala kebijakan. Pemerintah mampu untuk menolong anak ini dengan merelakan Saudara FAS untuk tetap hadir di sisi anaknya.

Maka melalui konferensi pers ini, kami memohon dengan segala kerendahan hati kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, serta seluruh lembaga/kementerian yang berkaitan untuk:

  1. Mendorong penghentian penyidikan terhadap kasus Saudara FAS;
  2. Membuka kesempatan bagi penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas;
  3. Meninjau ulang kebijakan narkotika untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Percayalah, #PenjaraBukanSolusi. Bukan hanya untuk keluarga Saudara FAS dan Ibu YR. Namun untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Skip to content