Tag: Tembak Mati

Rilis Pers – Kebijakan Narkotika Indonesia Perlu Arah, Bukan Darah!

LBH Masyarakat mengecam keras sejumlah pernyataan Komjen Budi Waseso, Kepala BNN, pada rilis pers akhir tahun BNN kemarin, Rabu, 27 Desember 2017. Pernyataan-pernyataan keras yang dilontarkan pada rilis pers tersebut tampak seperti sebuah upaya pencitraan heroik yang berlebihan yang sesungguhnya tidak menolong upaya pengentasan kejahatan narkotika dalam tataran riil. 

Dalam rilis pers BNN kemarin, Budi Waseso berkata bahwa ada 79 orang yang telah ditembak mati dan 58.365 orang yang ditangkap. Budi Waseso juga berkata bahwa ia berharap puluhan ribu orang ini melawan saat penangkapan atau penggebrekan sehingga BNN punya justifikasi untuk menembak mati mereka. Baginya hal tersebut menunjukkan keseriusan BNN dalam upaya pemberantasan narkotika.

LBH Masyarakat memandang apabila memang BNN serius untuk melakukan pemberantasan terhadap peredaran gelap narkotika, seharusnya BNN menghimpun informasi lebih banyak untuk mengungkap betapa luas peredaran gelap narkotika dilakukan. Hal ini tidak akan tercapai ketika orang yang dapat menyampaikan informasi ini dihilangkan nyawanya. Maka sejatinya menembak mati seorang terduga peredaran gelap narkotika adalah kemunduran terang-terangan dalam upaya pemberantasan, jika tidak ingin kita katakan gegabah atau gagah-gagahan belaka. Mengingat tembak mati akan memutus rantai informasi peredaran gelap narkotika, maka pertanyaannya adalah mengapa BNN justru ingin menutup informasi tersebut dari publik?

Budi Waseso juga berkata bahwa ia lebih menyukai intervensi tembak mati daripada eksekusi hukuman mati karena lepas dari pro-kontra dan tidak berlarut-larut. Pernyataan ini seakan disampaikan dengan maksud untuk mempercepat proses penindakan. Hal ini sesungguhnya tidak tepat sama sekali. Kebijakan tembak mati yang Presiden Rodrigo Duterte lakukan di Filipina mendapat kecaman keras baik dari dalam dan luar negeri yang kemudian mengganggu kredibilitas pemerintahannya. Lebih dari itu, BNN adalah lembaga penegak hukum maka sudah seharusnya BNN menegakkan hukum dengan memperhatikan rambu-rambu yang sudah disediakan hukum dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk dalam melakukan tembakan. Prosedur hukum ada untuk melindungi masyarakat sipil dari kesewenang-wenangan penegak hukum oleh karenanya hal ini wajib diperhatikan oleh BNN.

Lebih lanjut dia menyarankan agar eksekusi terpidana mati dilakukan secara diam-diam dan baru disampaikan kepada publik setelah tiga tahun. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena (1) membuat tindakan penegak hukum sulit dipantau publik dan wujud abuse of power, (2) menghilangkan kesempatan keluarga terpidana untuk berinteraksi dengan terpidana dan bertanya-tanya tentang nasib si terpidana, serta (3) menempatkan Indonesia dalam sorotan dunia internasional lebih dalam ketika pihak kedutaan tidak dapat memantau nasib warga negaranya yang terancam hukuman mati.

LBH Masyarakat mendukung sepenuhnya tujuan BNN untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Namun penting untuk menghormati hukum (rule of law) dan juga hak asasi manusia – dalam konteks apapun. Sejarah menunjukan pada kita bahwa rezim-rezim yang dzalim diawali dengan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran semacam ini.

Persoalan mendasar sesungguhnya adalah pemerintah harus mengubah tolak ukur dalam mengukur kesuksesan kebijakan narkotikanya. Ada pertanyaan-pertanyaan yang jarang kita bahas: sudah seberapa jauh intervensi kesehatan kita lakukan pada pemakai narkotika? Masihkah pemakai narkotika dihadapkan dengan penjara? Apakah peningkatan anggaran pada aspek pemberantasan berbanding lurus dengan pengurangan jumlah narkotika yang beredar di pasaran? Apakah membunuh orang melalui tembak mati dan eksekusi mati telah mengurangi peredaran gelap narkotika?

Tengah tahun depan, BNN akan berganti tonggak kepemimpinan. Pada siapapun yang akan mengisi posisi ini, perlu dicatat bahwa kebijakan apapun, termasuk narkotika, tak membutuhkan lebih banyak darah dan amarah. Indonesia memerlukan kebijakan narkotika yang efektif dan terarah.

 

Jakarta, 28 Desember 2017

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Rilis Pers – Tidak Perlu Belajar dari Filipina

LBH Masyarakat mengecam keras pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian yang menyatakan ingin memberlakukan tembak di tempat bagi pengedar gelap narkotika. Kapolri kemudian juga menyebut kebijakan keras Presiden Rodrigo Duterte di Filipina sebagai pembanding.

Kami memandang pernyataan ini bermasalah dalam beberapa konteks. Pertama, kebijakan tembak di tempat akan sangat rawan menimbulkan insiden salah tembak. Korban yang mungkin muncul dari salah tembak tersebut antara lain anggota penegak hukum dalam penyamaran dan sipil yang tak bersalah. Hal seperti ini telah terjadi dalam kebijakan Presiden Rodrigo Duterte di mana satu orang pengusaha dari Korea Selatan tertembak dalam operasi tok hang. Kejadian itu menuai kecaman internasional dan membuat hubungan diplomatik kedua negara sempat memburuk.

Kedua, kebijakan tembak di tempat akan merugikan upaya supply reduction dalam skala besar. Menembak mati seorang pengedar gelap artinya memutus rantai informasi penting yang amat diperlukan bagi Indonesia untuk meminimalisir peredaran gelap narkotika. Penyidikan yang dilakukan secara baik tanpa menghilangkan nyawa seseorang semestinya justru dapat mengungkap sindikat peredaran gelap narkotika yang lebih besar.

Ketiga, kami memandang wacana kebijakan ini sebagai strategi yang dibuat-buat untuk membangun kesan bahwa Polri betul-betul bekerja untuk mengentaskan peredaran gelap narkotika. Padahal yang perlu Polri lakukan pertama kali adalah memastikan dirinya bersih dari oknum yang ikut melindungi peredaran gelap narkotika, bukan mencari jalan pintas dengan menghilangkan nyawa manusia. Kita tidak bisa membersihkan sesuatu dengan sapu kotor.

Keempat, Polri memiliki isu lain yang tak kalah mendesak untuk diselesaikan. Sebagai contoh, Polri belum berhasil menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan yang penyidikannya sudah berlangsung lebih dari seratus hari. Kebijakan heroisme semu yang diimpor dari negara dengan rapor hitam hak asasi manusia adalah hal yang terakhir yang kita perlukan saat ini.

Kelima, kebijakan semacam ini tidak akan memberikan efek baik dalam waktu jangka panjang. Negara Thailand di bawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra pernah menerapkan kebijakan yang kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukan Duterte saat ini. Dalam periode yang singkat, jumlah narkotika yang beredar memang berkurang. Namun, pembunuhan-pembunuhan ini tidak akan menyasar orang-orang yang menguasai sindikat peredaran gelap narkotika. Target-target sasaran selalu orang-orang yang ada di rantai komando paling bawah, yang ketika mereka tiada selalu bisa digantikan posisinya oleh orang lain. Hal ini akan menyebabkan pembunuhan akan terus terjadi tanpa benar-benar menyelasaikan akar masalah. Lalu kita pun akhirnya sadar terlalu banyak nyawa hilang untuk sebuah kesia-siaan.

Atas argumen-argumen di atas, kami meyakini bahwa kebijakan tembak di tempat terhadap pengedar gelap narkotika tidak diperlukan dan Indonesia punya kemampuan untuk mengatasi peredaran gelap narkotika secara lebih cerdas dan humanis - karena setiap manusia berharga.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat
Skip to content