Tag: Ganja

Putusan Komisi Informasi Pusat: Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tidak Memiliki Dokumen Penelitian Narkotika Jenis Ganja untuk Kepentingan Medis

Pada Senin (22/08/22), Komisi Informasi Pusat (KIP) Republik Indonesia (RI) melaksanakan sidang dengan agenda pembacaan putusan ajudikasi hasil mediasi sengketa informasi antara Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) RI dengan nomor perkara: 020/IX/KIP-PS-A-M/2020, Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan nomor perkara: 021/IX/KIP-PS-A-M/2020, dan Kementrian Kesehatan RI dengan nomor perkara: 022/IX/KIP-PS-A-M/2020.

Putusan yang dibacakan oleh Majelis Komisioner KIP RI menyatakan bahwa para pihak dalam hal ini BNN RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementrian Kesehatan RI belum pernah melakukan penelitian dan/atau menerima penelitian terkait dengan kandungan narkotika jenis ganja sehingga tidak bisa memberikan dokumen dan/atau informasi yang dimohonkan.

Oleh karena itu, berdasarkan putusan sengketa informasi yang dibacakan oleh Majelis Komisioner KIP tersebut, LBHM merasa kecewa karena masing-masing termohon tidak dapat memberikan dokumen dan/atau informasi yang dimohonkan. Hal ini memunculkan pertanyaan atas dasar apa termohon informasi menyampaikan penjelasan tentang kandungan narkotika jenis ganja yang belum pernah diteliti secara resmi dalam bentuk penelitian. Sebagai perwakilan negara, Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementrian Kesehatan RI tidak sepatutnya menyatakan bahwa narkotika jenis ganja tidak dapat digunakan untuk kepentingan medis tanpa dasar penelitian yang jelas yang dapat diakses oleh publik secara luas.

Sebagai informasi, keputusan sengketa informasi di atas adalah hasil dari permohonan informasi yang telah dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang diwakili oleh LBHM pada 2020 kepada BNN RI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kementerian Kesehatan RI terkait dengan informasi:

  1. Laporan penelitian yang menyatakan bahwa sudah pernah ada penelitian ganja di Indonesia yang mana kandungan THC ganja di Indonesia lebih tinggi dan CBD-nya rendah;
  2. Laporan penelitian yang menyatakan bahwa ganja di Indonesia tidak melalui rekayasa genetik;
  3. Laporan penelitian yang menyimpulkan penggunaan ganja di Indonesia lebih banyak untuk rekreasional, bukan untuk kepentingan medis;
  4. Laporan penelitian bahwa ganja meningkatkan angka orang sakit dan kematian.

Informasi-informasi di atas disampaikan di dalam rapat koordinasi antar lembaga-lembaga yang diprakarsai oleh Badan Narkotika Nasional guna menyiapkan jawaban Indonesia untuk komite ahli ketergantungan obat World Health Organization (WHO).

Selain mengajukan permohonan informasi, pada tahun 2020 Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan melakukan permohonan Uji MateriIl larangan narkotika untuk pelayanan kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara: 106/PUU-XVIII/2020. Putusan Mahkamah Konstitusi mewajibkan pemerintah untuk segera melakukan penelitian atas manfaat ganja medis bagi kesehatan.

Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa contoh pemanfaatan narkotika jenis ganja untuk keperluan medis, yakni kasus Fidelis Arie pada 2017 dan kasus Reyndhart Siahaan pada 2020. Kemudian, ada juga tiga orang ibu yakni Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti yang menggunakan narkotika jenis ganja untuk pengobatan anak-anaknya menderita penyakit menderita Cerebral Palsy dan sekaligus juga menjadi Pemohon Uji Materiil di MK.

Sebagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat, penting untuk melakukan penelitian narkotika jenis ganja di bidang medis sebagai praktik baik yang harus segera dilakukan demi merespon perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus juga melaksanakan amanat pasal 13 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Jakarta, 1 September 2022

Hormat kami,

LBHM

Kontak:

Ma’ruf: 0812-8050-5706

Awaludin Muzaki: 0812-9028-0416

Hasil putusan KIP bisa diakses melalui tautan berikut:

Putusan Mediasi Nomor 020/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan BNN

Putusan Mediasi Nomor 021/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan Polri

Putusan Mediasi Nomor 022/IX/KIP-PS-A-M/2020 antara LBHM dan Kemenkes

Rilis Pers – Kasus Jeff Smith: Pendekatan Kesehatan untuk Pengguna dan Edukasi Publik Berbasis Penelitian

Jakarta, 23 April 2021

Pada 23 April 2021, LBH Masyarakat (LBHM) memberikan pendapat kepada Kepala Polres Jakarta Barat melalui surat nomor: 172/SK/LBHM-JS/IV/2021. Dalam surat tersebut LBHM meminta kepada Kepala Polres Jakarta Barat untuk dapat melakukan asesmen terhadap publik figur Jeff Smith yang ditangkap atas tindak pidana narkotika pada 15 April 2021. Alasan permohonan asesmen ini berdasarkan pada gramatur kepemilikan narkotika Jeff Smith tidak melebihi ambang batas ketentuan dari beberapa peraturan, yakni 0.52 gram dari batas 5 gram. Serta untuk dapat melihat status dari Jeff Smith yang termasuk pengguna narkotika atau justru terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Barang bukti lain yang turut menjadi perhatian LBHM adalah tersitanya empat buku tentang ganja dari mobil Jeff Smith. LBHM menilai tindakan Polres Jakarta Barat ini cukup reaktif dan berlebihan. Serta sikap Polres Jakarta Barat yang menghentikan kesempatan Jeff Smith saat mengutarakan pendapatnya bahwa ganja seharusnya tidak termasuk dalam narkotika golongan I. Pernyataan Jeff Smith sepatutnya menjadi refleksi untuk segera melakukan penelitian terhadap penggunaan ganja.

LBHM berasumsi ada dua alasan Polres Jakarta Barat tidak memberikan kesempatan bagi Jeff Smith untuk menyelesaikan argumentasinya, yakni:

  • Polres Jakarta Barat alergi terhadap peluang pengembangan pengetahuan atas narkotika jenis ganja.
  • Polres Jakarta Barat menganggap Jeff Smith tidak memiliki kapabilitas untuk berpendapat mengenai ganja.

Pernyataan Jeff Smith tersebut bukan tanpa dasar, pengkategorian narkotika jenis ganja pada golongan I adalah bentuk validasi ganja tidak memiliki nilai manfaat medis. Sementara banyak orang menggunakan ganja untuk pengobatan. Beberapa di antaranya, Fidelis Ari pada tahun 2017 dan tiga orang ibu yang membuktikan manfaat ganja pada terapi anak-anak mereka, yang saat ini sedang mengajukan judicial review pemanfaatan ganja untuk medis ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jika biasanya polisi menggunakan momentum penangkapan publik figur sebagai bentuk pembelajaran publik untuk menjauhi narkotika. Kemudian, mengapa tidak jika saat ini juga menjadi momentum untuk membuka mata akan nilai pemanfaatan medis pada narkotika, sekaligus memberikan edukasi publik yang berbasis penelitian dan ilmiah.

Narahubung: 081297789301 (Yosua Octavian)

File siaran pers ini dapat di unduh pada link di bawah ini:

File Surat Pendapat LBHM atas Kasus Jeff Smith dapat diunduh pada link di bawah ini:

Menggantung Asa pada GANJA

Kegusaran Jeff Smith soal ganja tentu bukan hal baru di Indonesia. Banyak kalangan sudah melakukan berbagai upaya supaya ganja dapat restu untuk diteliti. Tahun 2013, Yayasan Sativa Nusantara (YSN) dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) tercatat pernah mengupayakannya. Meski sempat mendapat angin segar dari Menteri Kesehatan saat itu, Nila F Moeloek, nyatanya perjuangan mereka mentok direstu Badan Narkotika Nasional (BNN). Permintaan mereka untuk mendapatkan ganja demi penelitian tidak pernah ditanggapi oleh BNN. Maklum saja, untuk melakukan penelitian itu, mereka harus mendapatkan lampu hijau dari BNN. Lalu, setelah hampir satu dasawarsa berlalu, penelitian dan pemanfaatan ganja sudah sangat progresif khususnya untuk kepentingan medis dan rekreasional.

Ganja Medis: Membantu Pengobatan Kanker Usus Besar

Berdasarkan data yang dirilis dari Global Cancer Observatory pada 2018, jumlah penderita kanker mencapai 18 juta orang dengan jumlah kematian sebesar 9,6 juta kasus setiap tahun. Artinya, setiap 2 detik, akan ada 1 orang baru yang menderita kanker dan setiap 3 detik, ada 1 orang yang meninggal dunia karena kanker. Sementara itu, penderita kanker di Indonesia mencapai 348.000 kasus atau 1.362 kasus per 1 juta penduduk, dengan total kematian sebanyak 207.000 kasus. Dari total tersebut, angka kejadian tertinggi pada perempuan adalah kanker payudara dengan total 58.256 kasus (30,9%), disusul kanker serviks sebanyak 32.469 kasus (17,2%), dan kanker ovarium 13.310 kasus (7,1%). Adapun kasus terbesar untuk pria adalah kanker paru sebesar 22.440 (14%), disusul kanker usus besar dan rectum dengan total 19.113 kasus (11,9%), dan kanker hati sebanyak 14.238 kasus (8,9%). Secara umum, kanker paru merupakan jenis kanker yang paling mematikan, disusul kanker payudara, kanker serviks, dan kanker hati.

Studi terbaru dari peneliti di University of South Carolina menguji coba pendekatan anyar untuk mencegah kanker usus besar. Pengujian pada tikus ini mendapati senyawa yang terkandung dalam ganja secara efektif menekan peradangan dan menghentikan perkembangan kanker usus besar. Senyawa ini berupa zat psikoaktif yakni tetrahydrocannabinol (THC) yang disebut dapat mencegah peradangan. “Fakta bahwa kami dapat menunjukkan pengobatan dengan THC mencegah peradangan di usus besar dan pada saat yang sama menghambat perkembangan kanker usus besar, ini mendukung gagasan bahwa peradangan dan kanker usus besar sangat erat kaitannya,” terang penulis studi. Penelitian itu seperti mengafirmasi studi yang pernah dilakukan oleh peneliti dari California Pacific Medical Center di San Francisco pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa sebuah zat bernama cannabidiol dalam ganja dapat menghentikan kanker dengan mematikan gen yang disebut Id-1. Selain itu, terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa ganja juga bisa membantu melawan mual dan muntah sebagai efek samping kemoterapi. Penelitian ganja di atas secara keilmuan tentu dapat dibuktikan kemanfaatannya. Banyak negara pun sudah memanfaatkan ganja untuk kepentingan medis di negara mereka. Sebut saja Thailand, mereka menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melakukan pemanfaatan ganja untuk medis. Bahkan, negara serumpun Indonesia, Malaysia, sudah mulai melakukan penelitian ganja demi kepentingan medis. Bagaimana dengan Indonesia? Pasca upaya YSN dan LGN membentur tembok, penelitian ganja untuk medis bisa dikatakan terhenti. Pemerintah hingga saat ini masih tidak mau melakukan penelitian terkait manfaat medis ganja. Salah satu sumber masalahnya adalah masuknya ganja sebagai golongan 1 di UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Kenapa? Karena UU Narkotika mengatur soal zat narkotika yang masuk golongan 1 tidak dapat dilakukan penelitian. Pertanyaan besar muncul, jika ganja tidak dapat diteliti, bagaimana (misalnya) nasib pengobatan hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia?

Kewajiban Negara

Dalam pembukaan konstitusi, pemerintah diperintahkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perintah konstitusi itu amat jelas. Sejelas hampir 20 ribu pasien kanker usus besar di Indonesia yang memerlukan peran pemerintah untuk memastikan hak untuk hidup dan hak atas kesehatan mereka terpenuhi. Kemajuan teknologi dan pengetahuan di bidang kedokteran atau farmasi, telah mampu mengekstak ganja demi pengobatan kanker. Tentu saja, validitas dan keamanannya tentu berbasis data nan empiris. Jadi, dibanding berlindung dibalik hukum dan pasal-pasal terkait narkotika saat ini, sebaiknya pemerintah mulai berani mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan nyawa puluhan ribu pasien kanker. Langkah konkret (mungkin) bisa dengan mengeluarkan ganja dari golongan 1 dalam UU Narkotika. Sehingga pintu penelitian terhadap ganja menjadi terbuka. Alternatif lain adalah meminta Kementerian Kesehatan melakukan riset holistik terkait manfaat ganja. Pemerintah rasanya tidak perlu khawatir bila nantinya ada pro dan kontra di masyarakat. Toh, di dalam hukum dikenal kaidah hukum tertinggi yaitu untuk menyelamatkan keselamatan masyarakatnya. Dan saat ini, ada hampir 20 ribu pasien kanker usus besar yang penting diselamatkan. Atau (mungkin) kita berharap saja pada koalisi masyarakat sipil yang tengah melakukan Judicial Review (Uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penggunaan ganja untuk medis. Bila dikabulkan MK, maka ganja dapat legalitas untuk segera diteliti guna kepentingan medis. Bisa jadi pula, putusan MK nanti membuat puluhan ribu pasien kanker (juga pasien penyakit lain) pun mendapat secercah asa. Asa untuk tetap hidup.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus Jeff Smith yang terjerat hukum karena narkotika ganja. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan LBH Masyarakat.


Rilis Pers – Fidelis Sudah Berjuang dan Itu Lebih dari Cukup

LBH Masyarakat memandang cukup baik putusan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Sanggau yang memutus perkara Fidelis dengan pidana penjara 8 bulan ditambah denda 1 milyar rupiah subsider 1 bulan penjara.

Putusan hakim  ini lebih besar dari angka tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni 5 bulan ditambah denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Namun, Majelis Hakim telah melakukan sesuatu yang patut dipuji, yakni menerobos angka pidana minimum.

Meski dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa yang terbukti adalah pasal 111 ayat 2 Undang-Undang Narkotika, namun Majelis Hakim memandang bahwa pasal yang terbukti ialah pasal 116 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang memiliki besaran pidana 5 tahun, minimum, sampai dengan 15 tahun penjara ditambah denda 1 milyar rupiah, minimum, sampai dengan 10 milyar rupiah. Pasal 116 ayat 1 sendiri adalah pasal yang memidanakan penggunaan atau pemberian narkotika golongan 1 pada orang lain secara tanpa hak atau melawan hukum.

Walau kami berharap Majelis Hakim bisa memutus di bawah atau setidaknya sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun keberanian Majelis Hakim untuk menerobos pidana minimum ini patut dipuji. Hal ini selaras dengan nilai yang coba dibangun melalui dua surat edaran Mahkamah Agung (No. 7 Tahun 2012 dan No. 3 Tahun 2015) yang secara literal membuka ruang penerobosan ini ketika dihadapkan dengan pemakai narkotika yang dikenakan pasal lain yang tidak pas.

Putusan ini membuat Fidelis harus menunggu sedikit lebih lama untuk kembali pada keluarganya yang mana melupakan aspek kepentingan terbaik dari anak. Putusan ini juga mempertimbangkan efek jera pada masyarakat agar tidak mengikuti perbuatan ini – sebuah hal yang kami pandang hanya bisa terselesaikan dengan baik apabila ada reformasi kebijakan narkotika yang mendasar.

Dari kasus ini, kita juga melihat sebuah aspek advokasi yang sungguh penting – yakni pemanfaatan narkotika golongan 1 untuk kesehatan. Namun hal-hal tersebut dapat ditunda sampai setidaknya muncul respon keluarga dan juga jaksa dalam menyikapi putusan ini, terutama dalam aspek upaya hukum – jika diperlukan.

Untuk analisis putusan secara keseluruhan, kami tentu akan menunggu salinan putusan yang akan diberikan pada kelaurga terlebih dahulu. Namun, secara garis besar, nilai-nilai keluarga dan kemanusiaan juga turut memberikan andil pada nilai putusan yang kita lihat hari ini.

LBH Masyarakat juga mengapresiasi atas dukungan dan perhatian publik yang luar biasa dalam kasus ini yang turut membantu memperlihatkan penting dan mendasarnya nilai-nilai kemanusiaan yang hadir di dalam kasus yang menimpa Fidelis dan keluarganya ini. Terima kasih sudah terlibat untuk #SaveFidelis, bantuan rekan-rekan berarti besar: mempersatukan lebih cepat sebuah keluarga yang terpisah karena kebijakan narkotika kita yang konservatif.

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

 

Rilis Pers – Putusan Fidelis: Semoga Hukum Menemukan Kemanusiaan

LBH Masyarakat berharap putusan yang akan dijatuhkan kepada Fidelis Ari Sidarwoto pada Rabu, 2 Agustus 2017, nanti dapat mengembalikan Fidelis ke kedua anaknya yang juga telah kehilangan ibunya, Yeni Riawati.

“Berbulan-bulan sudah kisah Fidelis diberitakan dan dibahas lewat berbagai media, saatnya kisah ini diakhiri dengan baik oleh Majelis Hakim dengan menyatukan kembali keluarga yang harus terpisah karena hukum narkotika kita yang paranoid ini,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat.

Fidelis diproses hukum karena menanam ganja yang ia olah sendiri untuk mengobati penyakit langka yang diderita almarhum istrinya, Yeni. Fidelis dengan niat yang sangat baik berkonsultasi dengan pihak Badan Narkotika Nasional untuk mencari solusi atas upayanya tersebut. Niat baik yang sayangnya direspon dengan menegakan hukum positif oleh BNN. Respon BNN tersebut kemudian menghentikan suplai obat yang dibutuhkan Yeni hingga akhirnya ia meninggal dunia.

“Betapa kakunya pihak BNN dalam memandang UU Narkotika dalam kasus ini secara tidak langsung telah membuat sebuah keluarga bahagia kehilangan sosok ibu yang mereka cintai. Amat disayangkan bahwa sebuah peristiwa yang semata-mata wujud usaha seorang manusia mempertahankan keluarganya harus diproses hukum sejauh ini,” kata Yohan.

Yohan kemudian menambahkan, “Namun demikian kami mengapresiasi Kejaksaan yang menuntut jauh lebih kecil dari pidana minimum pasal yang dinyatakan terbukti oleh Jaksa Penuntut Umum.” Fidelis dituntut 5 bulan penjara dan denda 800 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Jaksa Penuntut Umum menuntut Fidelis dengan pasal 111 ayat 2 UU Narkotika yang memiliki pidana minimum 5 tahun penjara.

“Angka tuntutan ini menunjukan betapa besarnya aspek kemanusiaan dalam kasus ini. Jaksa bisa saja melangkah lebih jauh dengan menuntut bebas, lepas, atau angka tuntutan yang lebih kecil lagi dengan interpretasi peraturan yang lebih progresif. Namun kami tetap menghargai apa yang telah dilakukan Kejaksaan karena sistem kerjanya yang ada di bawah komando dan bergerak dalam rel penegakan hukum yang cenderung positivistik,” terang Yohan.

“Sekarang harapan masyarakat akan keadilan untuk Fidelis ada di pundak Majelis Hakim. Untuk persoalan narkotika, Mahkamah Agung telah mengeluarkan setidaknya tiga surat edaran. Dua di antara surat edaran tersebut menyebutkan bahwa hakim dapat memutus di bawah pidana minimum ketika menemukan seorang pemakai narkotika dikenakan pasal lain di luar Pasal 127, misalnya pasal penguasaan. Meski belum ada surat edaran spesifik untuk kasus yang menimpa Fidelis, namun surat edaran tersebut menunjukan bahwa Mahkamah Agung melihat problem dalam penegakan hukum narkotika dan membuka ruang kemanusiaan bagi hakim untuk menembus pidana umum yang ditentukan undang-undang. Nilai kemanusiaan ini yang kemudian kami harapkan dapat diterapkan juga oleh Majelis Hakim untuk Fidelis,” sambung Yohan.

Sebagai penutup Yohan menjelaskan, “Hukum tidak hanya soal kepastian, namun juga soal kebermanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu, kami berharap aspek keadilan tidak dilupakan oleh Majelis Hakim ketika memutus kasus ini sebagaimana irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada di setiap putusan. Cinta seharusnya dirayakan – bukan dipenjarakan.”

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

 

Rilis Pers LBH Masyarakat – Sebuah Momen Introspeksi: Pelarangan Semata atau Memberi Kesempatan pada Cinta

Rilis pers ini telah disampaikan pada konferensi pers yang diadakan oleh LBH Masyarakat yang bertajuk ” Tragedi FAS: Sebuah Ujian Untuk Hati Nurani” . Turut berbicara pada konferensi pers itu adalah Yohan Misero (Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat), Asmin Fransiska (Kepala LPPM Unika Atma Jaya), Inang Winarso (Direktur Eksekutif YSN), dan Dhira Narayana (Ketua LGN). Acara tersebut diadakan di kantor LBH Masyarakat pada 2 April 2017.

LBH Masyarakat prihatin dengan rangkaian peristiwa yang harus dihadapi oleh Saudara FAS dan keluarga. LBH Masyarakat juga menyampaikan belasungkawa yang paling dalam atas berpulangnya Ibu YR, istri dari Saudara FAS. Dalam mempersiapkan konferensi pers ini, LBH Masyarakat juga sudah berkomunikasi dengan pihak keluarga.

Berawal dari divonisnya Ibu YR (Alm.) dengan penyakit Syringomyelia, sebuah situasi di mana ada kista di sumsum tulang belakang. Kista ini dapat mengembang dan memanjang sedemikian rupa hingga akhirnya dapat mengganggu banyak bentuk aktivitas, misalnya kesulitan untuk tidur, makan dan minum, ekskresi, rasa sakit yang luar biasa, sulit berinteraksi, dan lain-lain.

Begitu dahsyatnya situasi yang harus mereka hadapi. Telah dicoba pula berbagai perawatan konvensional dan alternatif. Sempat juga ada keinginan untuk membawa ibu YR ke luar Kalimantan untuk berobat. Namun kondisi ibu YR saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.

Dalam keputusasaan, harapan itu muncul dari sebuah tanaman yang di Indonesia dikategorikan sebagai narkotika golongan I, Ganja.  Ekstrak ganja datang sebagai suatu kemungkinan yang patut dicoba untuk memperpanjang kehidupan ibu YR. Mari kita letakkan posisi sebagai seseorang yang sedang memperjuangkan nyawa teman hidup. Tempatkan diri kita pada seseorang yang berusaha untuk mempertahankan sosok seorang ibu dalam kehidupan anak-anak kita. Pemanfaatan ganja untuk kepentingan kesehatan Ibu YR ini yang kemudian membuat Saudara FAS ditahan hingga hari ini. Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang patut kita pikirkan:

Yang pertama, UU Narkotika memang sebenarnya tidak mengakomodir penggunaan ganja untuk tujuan medis. Namun bukan berati hal ini tepat, justru ketentuan ini patut ditinjau ulang. Pasal 8 UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kesehatan. Pasal 8 ini pun tidak seirama dengan Pasal 7 UU Narkotika yang mengunci pemanfaatan narkotika hanya untuk kesehatan dan perkembangan iptek. Pada realitanya, golongan I tidak boleh digunakan untuk kesehatan. Upaya riset terhadap zat dan tanaman di golongan I tidak mudah mendapatkan persetujuan.

UU Narkotika tidak seharusnya melarang pemanfaatan zat atau tanaman apa pun untuk kesehatan. Berikan kesempatan pada penelitian untuk membuktikan manfaat zat atau tanaman tersebut untuk kemanusiaan. Berikan kesempatan juga untuk anak-anak muda Indonesia membuktikan bahwa apa yang tumbuh di tanah yang ia cintai, dapat berguna untuk banyak orang. Ilmu pengetahuan sudah sedemikian maju. Hal itu membuat dampak buruk dari suatu zat, jika ada, dapat dihilangkan dan di saat yang sama mempertahankan sifat baik daripada zat tersebut. Percayalah bahwa ilmuwan-ilmuwan kita mampu untuk itu dan percayalah bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat kita andalkan untuk mengawasi proses itu.

Yang kedua, pemenuhan hak. Hak atas kesehatan adalah sesuatu yang dijamin oleh Konstitusi, UU HAM, dan Kovenan Ekosob yang sudah diratifikasi Indonesia. Prinsipnya, hak atas kesehatan adalah hak semua orang dan Pemerintah sudah seharusnya memenuhinya. Salah satu aspek pemenuhan hak atas kesehatan adalah availibility atau ketersediaan serta accesibility atau keterjangkauan. Oleh karena itu, momentum ini dapat Pemerintah jadikan kesempatan untuk mulai merumuskan ulang kebijakannya. Agar ke depan, bagi seluruh rakyat Indonesia terjamin ketersediaan dan keterjangkauan akan hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya akses terhadap narkotika golongan I di mana ganja masuk di dalamnya. Cukup satu Ibu YR, jangan biarkan ada lagi anak bangsa yang harus kehilangan nyawa karena kita tak mau memberikan kesempatan pada pengetahuan. Kita yakin Indonesia mampu lebih baik dari ini.

Yang ketiga, persoalan hukum Saudara FAS. Menurut pandangan kami, setelah merujuk pada fakta-fakta umum kasus ini, pasal yang paling mungkin dikenakan pada Saudara FAS adalah Pasal 111 UU Narkotika terkait penanaman dan pemeliharaan narkotika golongan I jenis tanaman. Ancaman pidana yang tertera pada ayat 2 pasal tersebut ialah seumur hidup.

Ketika rekan-rekan penegak hukum, dalam hal ini BNN, menganggap bahwa jika mereka tidak menyidik kasus ini maka mereka salah karena tidak turut dengan UU, bagi kami anggapan tersebut tidak tepat. Penghentian penyidikan dapat dilakukan melalui Pasal 109 ayat 2 KUHAP. Justru karena kasus ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, BNN, atau Kejaksaan apabila kasus ini tetap diteruskan BNN, dapat menampilkan wajah penegakan hukum yang tidak humanis. Ketika pidana dianggap sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan keadilan di ranah publik, maka tidak tepat kemudian menempatkannya di sini karena tidak ada niat jahat apa pun pada kasus ini. Dari apa yang dilakukan Saudara FAS terhadap Ibu YR tidak memunculkan kekacauan apapun di ranah publik. Kasus ini adalah sebuah wujud cinta yang luar biasa indah. Justru situasi ini memburuk ketika hukum pidana mengintervensi.

Yang keempat, perhatian pada situasi anak. Bahwa justru karena niat Saudara FAS untuk mempertahankan keluarganya, anaknya kini sebatang kara tanpa orang tua yang mendampinginya. Ibunya meninggal karena tak bisa mengakses obat yang ia butuhkan, ayahnya juga ditahan. Kesejahteraan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak merupakan hal yang juga patut diperhatikan karena perlindungan anak pun merupakan aspek penting dalam segala kebijakan. Pemerintah mampu untuk menolong anak ini dengan merelakan Saudara FAS untuk tetap hadir di sisi anaknya.

Maka melalui konferensi pers ini, kami memohon dengan segala kerendahan hati kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, serta seluruh lembaga/kementerian yang berkaitan untuk:

  1. Mendorong penghentian penyidikan terhadap kasus Saudara FAS;
  2. Membuka kesempatan bagi penelitian terhadap zat dan tanaman di golongan I narkotika, dengan menempatkan ganja sebagai prioritas;
  3. Meninjau ulang kebijakan narkotika untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I, di mana ganja ada di dalamnya, bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

Percayalah, #PenjaraBukanSolusi. Bukan hanya untuk keluarga Saudara FAS dan Ibu YR. Namun untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Yohan Misero

Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Skip to content