Category: Narkotika

Narkotika LBHM

Policy Paper – Mengimbangi Sekuritisasi Narkotika: Tinjauan Singkat atas Praktik Pendekatan Keamanan Dalam Penanggulangan Narkotika

Pada tahun 2015, Presiden Jokowi memosisikan kebijakan penanggulangan narkotika ke dalam kerangka perang terhadap narkotika (war on drugs). Institusi keamanan, dalam hal ini BNN dan Polri, menafsirkan narasi keras tersebut dengan gencarnya pengungkapan-pengungkapan kasus narkotika.

Catatan media menyebutkan bahwa sepanjang 3 (tiga) tahun terakhir dimulai pada tahun 2017, BNN mengungkap 46.537 kasus narkotika dan menangkap 58.365 tersangka.1 Pada tahun 2018 terdapat 40.553 kasus yang diungkap Polisi dan BNN yang melibatkan 53.251 tersangka2 , sedangkan pada tahun 2019, BNN, Polri, TNI, Bea Cukai dan Imigrasi merilis sebanyak 33.371 kasus narkotika dan menangkap 42.649 orang.

Selama masa ” peperangan” itu pula, LBHM, Manesty Internasional Indonesia, dan KontraS mencatat adanyanya insiden penembakan dalam penanganan kasus narkotika, sepanjang tahun 2017 terdapat 215 insiden penembakan. Hal ini terjadi dikarenakan pendekatan keamanan yang masih dipakai dalam penanganan kasus narkotika. Dampak lain dari pendekatan keamanan ini ialah Overcrowd penjara di Indonesia, dengan presentasi total penghuni narkotika (Desember, 2019) di penjara sebesar 49,20%.

Munculnya banyak permasalahan dalam penerpaan pendekatan keamanan dalam kasus narkotika, seharusnya membuat pihak keamanan berpikir untuk beralih menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam penanggulangan kasus narkotika.

Kertas Kebijakan dapat teman-teman baca pada link di bawah ini:
Mengimbangi Sekuritisasi Narkotika: Tinjauan Singkat atas Praktik Pendekatan Keamanan Dalam Penanggulangan Narkotika

Laporan: Pengajuan ke United Nations Working Group tentang Penahanan Sewenang-wenang tentang penahanan dalam konteks kebijakan narkotika, sesuai dengan Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia 42/22

LBH Masyarakat (LBHM) bersama dengan dua lembaga lainnya yakni Institue Criminal for Justice Reformr (ICJR) dan Harm Reduction International (HRI) menyambut resolusi 42/22 dari Dewan Hak Asasi Manusia yang memperbaharui mandat Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (WGAD); dan meminta Kelompok Kerja ini untuk menyiapkan dan menyajikan laporan tentang penahanan sewenang-wenang terkait kebijakan narkotika.

Pengajuan berikut ini memberikan informasi tentang penahanan dalam konteks kebijakan narkotika di Singapura Indonesia, mengikuti struktur kuesioner yang diedarkan oleh WGAD pada 4 Februari 2020.

Laporan utuh dapat dilihat di sini.

Surat Laporan Khusus: Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Fisik dan Kesehatan Jiwa Selama Darurat Covid-19, Bagi Orang yang Menggunakan Narkotika.

LBH Masyarakat (LBHM) bersama Harm Reduction International, Canadian HIV/AIDS Legal Network, Eurasian Harm Reduction Association (EHRA), International Drug Policy Consortium (IDPC), International Network of People who use Drugs (INPUD), Release, dan Rights Reporter Foundation, membuat pernyataan sikap bersama melalui Special Rapporteur dan prosedur khusus lainnya tentang adopsi tindakan darurat untuk menanggapi pandemi COVID-19, dan juga mendorong negara-negara tetap mempertahankan penggunaan pendekatan HAM dalam mengatur pandemik ini.

Darurat Covid-19 ini menunjukkan permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, terciptanya kerentanan dan memperburuk keadaan yang sudah ada. Salah satunya orang yang menggunakan narkotika yang terdampak dan menghadapi risiko baru seperti kriminalisasi, stigma, permasalahan kesehatan, pengucilan sosial, serta kerentanan ekonomi dan sosial yang lebih tinggi, termasuk kurangnya akses ke perumahan dan layanan kesehatan yang memadai.

Jika hal ini dibiarkan saja tanpa ada penanganan yang baik dan serius, tentunya akan menimbulkan dampak buruk bagi kelompok rentan. Maka dari itu, berdasarkan bukti yang ada, kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam respon darurat untuk mengurangi penyebaran pandemik.

Rekomendasi dari Laporan Khusus ini dapat dilihat di sini.

Laporan Pelanggaran HAM — Yang Terabaikan: Potret Situasi Perempuan Yang Dipenjara Akibat Tindak Pidana Narkotika

Saat ini, advokasi kebijakan narkotika tidak bisa dilepaskan dari isu hak asasi manusia. Pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, seperti misalnya penghapusan penyiksaan bagi tersangka kasus narkotika, dan pemenuhan hak atas kesehatan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) maupun Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), melatari diskursus advokasi kebijakan narkotika.

Isu advokasi kebijakan narkotika masih dianggap sebagai isu yang maskulin. Tidak banyak terjadi diskursus secara mendetil mengenai bagaimana perempuan terdampak penggunaan maupun terlibat dalam peredaran narkotika. Ataupun bagaimana harusnya sebuah kebijakan nasional merespon kebutuhan spesifik atau khusus perempuan juga belum banyak dibicarakan. Dalam hal akses terhadap kesehatan bagi pengguna narkotika pun kerentanan perempuan kerap kali tidak terangkat, dan oleh karenanya sangat sulit untuk dapat diatasi.

Di sisi lain, dalam diskursus-diskursus yang terjadi di kalangan pejuang perempuan, isu perempuan pengguna narkotika, atau yang terlibat dalam peredaran narkotika seringkali luput menjadi perhatian. Pun dalam advokasi reformasi lapas yang dilakukan oleh kelompok aktivis HAM, isu pemenuhan hak perempuan dalam tahanan juga minim pembahasannya.

Absennya pembahasan mengenai kondisi dan kerentanan perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika, baik di kalangan aktivis kebijakan narkotika, perempuan, maupun aktivis yang bergerak dalam isu pemenjaraan, mendorong Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) untuk melakukan penelitian awal guna memetakan situasi perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat jumlah perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika semakin meningkat setiap tahunnya. Ditambah lagi, tren menjadikan perempuan sebagai kurir narkotika (drug mules) juga semakin tinggi, yang mana hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus perempuan yang ditangkap karena perannya sebagai drug mules.

Akhir kata, kami berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan diskursus, sekaligus mengawal advokasi seputar isu perempuan yang dipenjara akibat tindak pidana narkotika. Kami percaya bahwa kebijakan narkotika yang berperspektif gender bukan hanya menguntungkan perempuan saja, tetapi juga semua pihak. Dukung! Jangan Hukum!

Untuk membaca laporan detailnya, silahkan untuk mengunduhnya di sini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Pasar Gelap Narkotika di Penjara: Imbas Kebijakan Punitif

Kebijakan narkotika di Indonesia adalah produk yang cukup kontroversial sejak diresmikan sebagai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui kebijakan ini, banyak orang yang ditahan dan dipenjarakan akibat terindikasi berurusan dengan hal-hal seputar narkotika, baik sebagai pengguna, terindikasi sebagai pengedar, terlibat sebagai kurir, dan lain sebagainya. Menurut Direktur Jendral Pemasyarakatan, jumlah narapidana kasus narkotika mencapai 115 ribu dari total 255 ribu narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentunya merupakan angka yang cukup fantastis dan dominan dibanding kasus-kasus lainnya, yaitu mencapai sekitar 45.09% dari total keseluruhan kasus pidana yang ada.

Banyaknya jumlah narapidana narkotika ini menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya menyoal efektivitas dari pemenjaraan dalam menangani kasus narkotika ini. Meninjau dari tren tahunan, data Direktorat Jendral Pemasyarakatan menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir (2016-2018) terjadi peningkatan jumlah orang yang dipenjara karena kasus narkotika, yaitu pada tahun 2016 terdapat 81.948 orang yang dipenjara karena kasus narkotika. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2017, menjadi 99.507 orang, dan kembali mengalami peningkatan menjadi sekitar 115 ribu orang pada tahun 2018. Dengan tren pemenjaraan yang kerap meningkat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa pendekatan pidana kepada pelaku narkotika efektif untuk menangani permasalahan? Sekiranya, hal tersebut perlu dipikirkan ulang. Terus meningkatnya kasus narkotika mengindikasikan bahwa pemidanaan tidaklah berpengaruh signifikan terhadap keberadaan narkotika yang dikatakan ilegal di Indonesia. Pengguna, pengedar, kurir, penadah, dan pelaku narkotika lainnya akan tetap ada kendati ribuan orang telah dimasukkan ke penjara.

Meninjau fakta di atas, perguliran narkotika agaknya tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan represif dan punitif seperti pemidanaan. Beranjak dari hal tersebut, tim peneliti LBHM berusaha melokalisasi beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks narkotika dan pemidanaan sebagai langkah untuk menanganinya. Permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan seperti:

  1. Apakah tren kenaikan jumlah orang yang dipenjara karena narkotika menginvalidasi pendekatan pidana dalam menangani permasalahan narkotika?
  2. Mengapa permasalahan narkotika tidak dapat dituntaskan oleh pendekatan pidana dalam menangani kasus narkotika?
  3. Adakah solusi yang lebih baik daripada pendekatan pidana?

Pendekatan yang bersifat represif dalam menangani suatu perkara agaknya sudah usang sebagai suatu pendekatan dalam usaha menyelesaikan masalah. Pernyataan paranoid dan brutal seperti yang menyatakan bahwa narkotika adalah “the first evil we must deal with” yang mana kita harus perangi merupakan narasi usang yang harus ditinggalkan. Pasalnya, narasi yang demikian justru menciptakan teror pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pembunuhan ekstrayudisial karena diduga sebagai bandar narkotika, hukuman mati terhadap pelaku yang terlibat, dan lain sebagainya. Oleh sebab inilah pendekatan represif harus setidak-tidaknya dikaji ulang, sebab seharusnya penyelesaian permasalahan narkotika harus tetap dalam kerangka humanitarian, bukan hanya praktik penghukuman semata.

Sebagai suatu usaha menangani narkotika, seharusnya pemenjaraan menjadi opsi/alat terakhir, atau yang dikenal sebagai ultimum remedium. Oleh karenanya, penanganan terhadap persoalan narkotika hendaknya secara jeli melihat opsi selain pemenjaraan. Terlebih, persoalan narkotika cenderung lebih mengarah kepada persoalan kesehatan, yang penanganannya seharusnya menitikberatkan kepada pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction).

Demi mendorong terjadinya revolusi kebijakan terhadap persoalan narkotika, tim peneliti LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media terhadap topik peredaran narkotika di dalam tahanan. Data ini dikumpulkan sepanjang tahun 2018 dan akan disajikan ke dalam bentuk laporan penulisan yang sifatnya ilmiah. Dalam mengumpulkan data yang ada, kami menggunakan metode tertentu yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dari laporan ini.

Untuk membaca laporan penuhnya, silahkan mengunduh file dengan klik disini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Menggugat Tembak Mati Narkotika

Narasi pemerintah akan menindak tegas mereka yang terlibat kejahatan narkotika senantiasa didengungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan. Pada salah satu kesempatan di bulan Oktober 2017, Jokowi secara terbuka menyatakan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan kejam dengan ‘gebukin’ (memukul)  dan menginjak mereka yang berkaitan dengan narkoba dan penyalahgunaan obat. Sikap Jokowi yang terkesan heroik itu nyatanya adalah sebuah penistaan terhadap Indonesia, negara yang memiliki hukum dan konstitusi yang berprinsip pada peri kemanusiaan.

Sikap Jokowi tersebut seolah menjadi sebuah instruksi presiden yang tidak tertulis yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk menembak mati setiap orang yang dianggap terlibat dalam peredaran gelap narkotika atau menjadi bandar. Pemerintah menganggap pendekatan perang terhadap narkotika (war on drugs) adalah cara yang tepat untuk menanggulangi kejahatan peredaran gelap narkotika yang diklaim membunuh 50 (lima puluh) anak bangsa per hari – sebuah klaim yang telah dipertanyakan  keilmiahannya oleh akademisi di seluruh dunia. Jumlah kematian per hari ini dianggap sebagai angka yang pantas untuk menjustifikasi tembak di tempat terhadap bandar narkotika. Bahkan instruksi Jokowi tersebut kemudian dijadikan legitimasi institusi penegak hukum, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) dalam melakukan praktek tembak di tempat bagi bandar narkoba. Kepala BNN berharap agar orang-orang yang diduga menjadi bandar narkoba melakukan perlawanan agar praktek tembak di tempat dapat dilakukan.

Praktek tembak di tempat ini menjadi problematik karena setidaknya dua hal. Pertama, tidak ada definisi hukum atas ‘bandar’ narkotika. Undang -Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan, bahkan menyebutkan siapa yang dikategorikan sebagai bandar narkotika. Kedua, praktek ini menciderai hukum di Indonesia yang memegang teguh prinsip ‘asas praduga tak bersalah’. Mereka yang mendap atkan penghukuman harus melewati proses peradilan pidana. Sayangnya, korban tembak di tempat yang meninggal tidak pernah menjalani proses tersebut. Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi asas due process of law. Praktek tembak di tempat dijadikan justifikasi untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi peredaran gelap narkotika di Indonesia. Namun kenyataannya, praktek tembak di tempat bukannya mengurangi peredaran gelap narkotika apalagi menghilangkan. Kebijakan ini justru mengkhianati paham negara hukum, dan mencederai hak asasi manusia.

Berangkat dari situasi ini, LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumen media dalam jaringan (daring) terhadap isu tembak di tempat –  baik yang berdampak pada hilangnya nyawa maupun luka-luka – terduga pelaku tindak pidana narkotika. Isu ini dipilih karena diskursus tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan narkotika menguat pasca Jokowi mendeklarasikan perang terhadap narkotika. Kami berharap monitoring dan dokumentasi ini dapat memperlihatkan buruk rupa praktek tembak di tempat, dan kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghentikan praktek yang, bukan hanya tidak efektif, tetapi juga tidak manusiawi ini.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!

Kertas Kebijakan: Tembak di Tempat, Kebijakan Penanganan Narkotika yang Salah Arah

Tanggal 27 Desember kemarin, Budi Waseso beserta jajaran BNN lainnya dengan bangga mengumumkan hasil pemburuan meraka. Anak buah BNN menembak mati 79 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkotika. Entah apa yang ada di pikiran Buwas (Budi Waseso), begitu ia sering disapa, memamerkan dengan bangga jumlah manusia yang berhasil ia bunuh atas nama perang terhadap narkotika.

Mungkin kebanggaan ini juga muncul karena seruan Presiden Joko Widodo pada salah satu acara peringatan Hari Narkotika Sedunia tahun 2016 silam. Jokowi sempat bergurau ” Saya ingin ingatkan kepada kita semuanya di kementerian, di lembaga, di aparat-aparat hukum kita, kejar mereka (pengedar narkotika), tangkap mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau Undang-Undang memperbolehkan, dor mereka.” Ucapan Jokowi kini bukan hanya sekedar auman belaka, praktik tok hang di Filipina kini nyata diterapkan di Indonesia.

Praktik yang memakan banyak korban tidak bersalah di Filipina, dan mendapat berbagai kecaman dari dunia internasional, nyatanya jelas-jelas ditiru oleh aparat penegak hukum di Indonesia, tidak hanya BNN tetapi juga Kepolisian RI. Kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat juga ikut-ikutan bertindak brutal. Penggerebekan pada 13 Juli lalu misalnya, Pasukan polri menembak mati warga negara Taiwan yang diduga terlibat dalam perdagangan gelap narkotika.

Atas semua pihak yang terlibat dengan aksi ugal-ugalan ini, mulai dari Presiden, Kepala BNN, hingga Kapolri RI, yang patut kita pertanyakan adalah benarkah Indonesia membutuhkan tindakan membabi buta, menerkam banyak nyawa demi memberantas narkotika? Atau mereka (pemerintah) hanya terjebak dalam citra? Bingung dan tidak tahu arah?

Sebelum menelan lebih banyak lagi korban jiwa, LBH Masyarakat bersama PKNI dan PBHI merumuskan kertas kebijakan sebagai kritik praktik tembak di tempat. Melalui kertas kebijakan ini kami menggambarkan bahaya tembak mati di Indonesia dan kaitannya dengan hak asasi manusia. Kertas kebijakan ini juga mendeskripsikan apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia dalam menyikapi peredaran gelap narkotika.

Anda bisa mengakses kertas kebijakan ini melalui tautan ini.

Karena setiap manusia berharga.

Mapping Out Drug Dependency Treatment in Indonesia

Upon winning the presidential election in 2014, Joko Widodo, often referred as Jokowi – launched the war on drugs in Indonesia. He claimed that Indonesia is in a drug emergency situation. This emergence is marked by the existence of 4.5 million people who use drugs in Indonesia; worse, 1.2 million of them ‘can no longer be rehabilitated because of their deteriorating condition’.

When Jokowi made such statement, it was expected that he would adopt a policy that was aimed to address the impact of drug trafficking. For example, by providing wider access to drug dependency rehabilitation. The question was and still relevant, is, how drug dependency rehabilitation is currently implemented in Indonesia?

Through this report, LBH Masyarakat seeks to provide information on how drug dependency rehabilitation is carried out in Indonesia. This report consists of information on the type, methodology, inclusiveness and participation, financing, and human resources situation with regard to implementing drug dependency rehabilitation. We find that there are barriers, both practical and structural, that hinder effective implementation of drug rehabilitation. At the end of this report, we develop recommendations for relevant stakeholders with a view that the proposed recommendations would contribute in creating drug dependency rehabilitation in Indonesia that is more accessible and with good quality.

We would like to express our sincere gratitude to …?? for their tremendous help and contribution in the development of this report. We thank the Ministry of Health, the Ministry of Social Affairs, and the National Narcotic Board for welcoming us to interview and observe drug dependency rehabilitation facilities under their auspices, or that they support. We thank all the patients, doctors, health care workers, and managements of drug dependency rehabilitation at YPI Nurul Ichsan, RS Jiwa Atma Husada, RSUD Sanglah, Yayasan Ar-Rahman, Yayasan Hikmah Syahadah, Balai Rehabilitasi Lido, Balai Rehabilitasi Badokka, AKSI NTB, Yayasan Karisma, Puskesmas Gambir, and RSKO Cibubur.

We thank Mainline Foundation for their support and assistance from the beginning until the finalisation stage of this report.

This report is just a part, or even a beginning of the long and winding road in the advocacy towards a more humane drug policy in Indonesia. To close this, we believe that #PrisonIsNotASolution, #BecauseEeryHumanMatters.

You can download this research by visiting this link.

Pemetaan Pemulihan Ketergantungan Narkotika di Indonesia

“Indonesia sudah gawat narkotika.” Itu pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang kemudian menjadi tanda dimulainya perang terhadap narkotika di bawah era kepresidenannya. Kegawatdaruratan ini, tambahnya, ditandai dengan, salah satunya, keberadaan 4,5 juta orang di Indonesia yang, dalam kalimatnya Joko Widodo, ‘terkena narkoba’. Terlebih lagi, 1,2 juta orang diantaranya yang ‘sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah terlanjur sangat parah’.

Tentunya pernyataan ini seharusnya diterjemahkan ke dalam kebijakan yang diharapkan dapat mengatasi kondisi tersebut. Salah satunya adalah penyediaan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika, yang – harapannya – dapat membantu mengatasi persoalan penggunaan narkotika dan mempersiapkan mereka untuk berintegrasi kembali ke masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana sesungguhnya perawatan tersebut dilakukan di Indonesia?

LBH Masyarakat, melalui laporan penelitian ini, berusaha menyajikan informasi terkait dengan pelaksanaan program perawatan pemulihan ketergantungan narkotika di Indonesia. Laporan ini akan mencakup informasi seputar jenis, metode, keikutsertaan, pembiayaan, serta sumber daya lainnya. Ada banyak likaliku pelaksanaan program ini yang kami temukan, yang pada akhirnya kami harapkan dapat membuka mata para pembaca semuanya akan realita pelaksanaan program pemulihan ketergantugan narkotika di Indonesia. Di bagian akhir, LBH Masyarakat menyajikan rekomendasi, yang kami yakini dapat membantu memperbaiki kualitas perawatan pemulihan ketergantungan narkotika di Indonesia ke depannya.

LBH Masyarakat juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya bagi pihak-pihak yang turut serta membantu pelaksanaan penelitian ini. Kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Badan Narkotika Nasional yang telah membukakan pintunya untuk dapat kami wawancarai dan kami mintakan ijin berkunjung ke fasilitas rehabilitasi di bawah penyelenggaraannya masing-masing. Kepada seluruh pasien, dokter, konselor, perawat, maupun manajemen fasilitas rehabilitasi dari kesebelas fasilitas rehabilitasi yang kami kunjungi, wawancarai, dan observasi; yaitu YPI Nurul Ichsan, RS Jiwa Atma Husada, RSUD Sanglah, Yayasan Ar-Rahman, Yayasan Hikmah Syahadah, Balai Rehabilitasi Lido, Balai Rehabilitasi Badokka, AKSI NTB, Yayasan Karisma, Puskesmas Gambir, dan RSKO Cibubur.

Terima kasih ini juga kami sampaikan kepada Mainline Foundation yang telah membantu penelitian ini sejak dari awal perancangannya sampai akhirnya laporan penelitian ini dapat diterbitkan.

Tentunya penelitian ini hanyalah awalan dari serangkaian advokasi menuju kebijakan narkotika yang lebih manusiawi dan terbukti efektivitasnya di Indonesia.

Akhir kata, LBH Masyarakat percaya bahwa #PenjaraBukanSolusi, #KarenaSetiapManusiaBerharga.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Policy Paper: Overdosis Pemenjaraan, Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika

Di tahun 2017 ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memasuki tahun ke-delapan. Tentu ketika UU Narkotika ini dibuat, harapan para pembuat kebijakan sangat tinggi terhadap kesuksesan UU Narkotika dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Apalagi, seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pemerintah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal yang ditujukan untuk mengoptimalkan implementasi UU Narkotika itu sendiri. Pada faktanya, bukan hanya angka pengguna narkotika yang meningkat, tetapi juga jumlah terpidana kasus narkotika, baik yang dipidana dengan label ‘pengguna’ maupun ‘pengedar’ – sebuah pengkategorian yang tidak tepat, yang menjadi bukti dari ketidakjelasan peraturan hukum dalam membedakan pengguna narkotika dengan pelaku peredaran gelap narkotika.

Persoalan ketidakjelasan aturan hukum dalam membedakan pengguna dengan pelaku peredaran gelap narkotika ini berujung pangkal pada penggunaan terminologi pengguna pada UU Narkotika. UU Narkotika menggunakan tiga terminologi, ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahguna’, dan ‘pecandu’. Dengan menggunakan konstruksi logika seperti ini, UU Narkotika telah gagal melihat luasnya spektrum tipe pemakai narkotika. Kegagalan ini berujung pada keterbatasan akses rehabilitasi bagi mereka yang sebaiknya mendapatkan pendekatan kesehatan, serta kebijakan kriminalisasi yang berlebihan. Kebijakan kriminalisasi yang berlebihan ini berdampak besar pada tingginya tingkat kelebihan muatan (overcrowd) di penjara, yang saat ini telah mencapai 74% lebih banyak daripada daya tampungnya.

Saat ini sedang terjadi beberapa upaya perubahan regulasi yang akan berpengaruh besar terhadap situasi kebijakan narkotika di Indonesia. Upaya tersebut diantaranya adalah revisi UU Narkotika, revisi RKUHP, serta revisi PP No. 99 tahun 2012. Masyarakat sipil, termasuk kelompok pengguna narkotika, memiliki peran besar dalam memastikan perubahan regulasi ke arah yang lebih baik, yang lebih humanis, serta mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika.

Dalam kertas posisi ini, LBH Masyarakat menegaskan kembali posisinya terhadap kebijakan pemidaan bagi pemakai narkotika, membedah potensi serta tantangan yang muncul dari serangkaian kebijakan internal lembaga terkait dengan pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, serta memberikan rekomendasi guna memaksimalkan upaya perubahan regulasi ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan pendekatan kesehatan. Kertas posisi ini merupakan yang pertama dari beberapa kertas posisi lainnya terkait dengan regulasi narkotika di Indonesia yang akan kami sajikan secara bertahap.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Akses policy brief ” Overdosis Pemenjaraan: Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” , yang ditulis oleh Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero pada tautan ini.

Skip to content