Category: Narkotika

Narkotika LBHM

Seri Monitor dan Dokumentasi 2017: Adiksi pada Strategi yang Wanprestasi

Perang bukanlah kata yang manis. Ia hadir dengan beragam implikasi. Walau Indonesia kini hidup di zaman damai, bukan berarti tidak ada lagi perang di negeri ini, setidaknya menurut pemerintah. Sebuah perang yang saat ini dihadapi oleh pemerintah adalah perang terhadap narkotika, sebuah jargon yang kerap kali digunakan untuk meningkatkan sentimen negatif masyarakat terhadap narkotika dan penggunaannya.

Dalam perang ini, salah satu alat yang paling penting adalah kebijakan. Setelah seruan perang terhadap narkotika yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo di awal periode ia menduduki kursi kepresidenan, penegak hukum kemudian makin memasifkan duapendekatan guna merespon situasi perang ini. Sayangnya, kedua respon ini, yaitu pemenjaraan dan hukuman mati, sejauh ini belum memperlihatkan hasil signifikan terhadap perbaikan situasi. LBH Masyarakat, dengan tahun-tahun pengalamannya dalam menangani kasus narkotika, memandang upaya perang terhadap narkotika ini sebagai sesuatu yang usang.

Upaya ini telah dicoba berbagai negara, bahkan dilengkapi dengan tiga kovenan internasional yang khusus mengatur mengenai narkotika. Namun semua ini belum berhasil mengentaskan perdagangan gelap narkotika. Selayaknya perang-perang lainnya, perang terhadap narkotika juga dilengkapi dengan sebaran propaganda. Propaganda tersebut didatangkan langsung ke telepon genggam kita dalam wujud berita dalam jaringan (daring). LBH Masyarakat mencoba melakukan monitoring dan dokumentasi media daring terhadap dua isu terkait dengan narkotika.

Isu pertama mengenai penangkapan skala besar (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PSB), dan isu kedua mengenai pengendalian narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (yang untuk selanjutnya kami sebut sebagai PDL). Pemilihan kedua isu ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa pemantauan media terhadap kedua isu ini dapat menunjukkan tingkat efektivitas dari kedua pendekatan keras yang diambil pemerintah, serta elemen-elemen lain yang menarik yang terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Kami berharap hasil pemantauan ini dapat bermanfaat dalam proses dialog menuju perubahan kebijakan narkotika yang lebih baik. Kami pun sepakat bahwa peredaran gelap narkotika perlu negara atasi. Tetapi, kebijakan narkotika – sama halnya seperti kebijakan negara lainnya – haruslah menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta berbasis bukti.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya di tautan berikut.

Ketika Anak Pengguna Narkotika Tak Lagi Didengar

Anak seringkali rentan terlibat dalam penggunaan narkotika. Keterlibatan anak dalam penggunaan narkotika kerap dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti misalnya lingkungan keluarga, masyarakat dan pergaulan sehari-hari. Negara kemudian mengambil sikap keras, tetapi keliru, dalam mengatasi peredaran gelap narkotika dengan alasan untuk melindungi generasi muda dari penggunaan narkotika. Negara justru sering mengabaikan dan tidak menyediakan perlindungan penuh kepada anak yang menggunakan narkotika (selanjutnya disebut sebagai anak pengguna narkotika). Perlindungan yang setengah hati dan ketidakpedulian negara terhadap kepentingan terbaik anak pengguna narkotika justru mengancam masa depan mereka. Berangkat dari latar belakang ini, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melihat hukum dan kebijakan nasional berkaitan dengan anak pengguna narkotika pada tiga aspek yaitu pencegahan dan perawatan (dalam konteks penggunaan narkotika), dan penegakan hukum terhadap anak pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum. Dalam menganalisis peraturan dan kebijakan nasional tersebut, LBH Masyarakat menggunakan standar hak asasi manusia internasional yang berkaitan dengan hak anak secara umum maupun pengguna narkotika, mengingat topik khusus hak anak pengguna narkotika juga belum tersedia secara spesifik di tataran hukum internasional.

Studi ini diawali dengan membedah standar hak asasi manusia internasional yang relevan dengan atau dapat diaplikasikan kepada anak pengguna narkotika di aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Tim peneliti mengumpulkan dan mengelompokkan standar internasional yang berkaitan dengan hak anak pengguna narkotika ke dalam beberapa sub-bab yang untuk analisis lebih mendalam. Peneliti kemudian mengumpulkan, membaca dan mempelajari 41 (empat puluh satu) peraturan nasional mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bersama, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri hingga peraturan internal lembaga negara seperti Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kepala BNN, dan lain sebagainya. Metode pengumpulan peraturan tersebut adalah dengan meminta informasi atau peraturan terkait kepada instansi yang relevan dan mengunduh dari internet. Perlu diketahui bahwa, oleh karena itu, mungkin saja terdapat peraturan yang luput untuk tim peneliti pelajari. Berbagai peraturan tersebut juga dilihat dari tiga aspek yaitu aspek pencegahan, perawatan dan penegakan hukum. Dari standar internasional dan peraturan nasional yang sudah dikumpulkan, peneliti kemudian menganalisis gap atau kekosongan aturan berkenaan dengan anak pengguna narkotika baik pada tataran peraturan nasional.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa temuan terkait dengan anak pengguna narkotika. Pada aspek pencegahan, terdapat beberapa peraturan nasional yang mengatur kurikulum pada institusi pendidikan sebagai upaya pencegahan penggunaan narkotika. Pendidikan yang diajarkan pada anak, di Indonesia, menekankan bahaya narkotika semata dan harapan akan dunia yang bebas narkotika. Sistem dan materi pendidikan yang ada justru tidak mengedepankan diskusi interaktif dan inklusif mengenai narkotika, penjelasan hak atas kesehatan dan kesalahpahaman mengenai dunia bebas narkotika, yang konsekuensinya dapat menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika akan cenderung enggan mencari pertolongan ketika terlanjur menggunakan narkotika. Stigma dan diskriminasi akan menjauhkan anak pengguna narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Pada aspek perawatan, peraturan nasional pada umumnya mengatur layanan kesehatan untuk pengguna narkotika dewasa. Peraturan yang secara spesifik menyebutkan layanan kesehatan bagi anak pengguna narkotika sangat sedikit, atau kalaupun ada tidak menyediakan ketentuan yang komprehensif. Ketiadaan peraturan menunjukkan bahwa pemerintah cenderung abai dengan kondisi kesehatan anak yang menggunakan narkotika. Kekosongan hukum pada tataran implementasi juga berakibat pada ketiadaan jaminan hukum akan layanan kesehatan bagi anak yang menggunakan narkotika.

Sedangkan pada aspek penegakan hukum, negara masih melakukan kriminalisasi terhadap pengguna narkotika, dengan demikian termasuk pula anak pengguna narkotika. Anak pengguna narkotika harus berhadapan dengan ancaman pidana yang cukup berat yang akan menyulitkan anak pengguna narkotika untuk mendapatkan diversi, remisi ataupun hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum lainnya. Anak pengguna narkotika juga rentan dipenjara daripada mendapatkan rehabilitasi. Anak pengguna narkotika tampaknya masih dipandang sebagai kelompok pelaku kejahatan paling serius dan tidak mendapat perlindungan dari negara.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.

Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014

Pada tahun 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No. 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi. Hingga tahun 2015, tidak pernah ada dokumentasi mengenai pelaksanaan dari SEMA No. 4 Tahun 2010. Oleh karena itu, LBH Masyarakat berinisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penelitian mengenai implementasi SEMA No. 4 Tahun 2010.

Untuk melihat implementasi dari SEMA No. 4 Tahun 2010 ini, peneliti menggunakan metode penelitian empiris dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti mengumpulkan putusan di 9 (sembilan) pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek yang diputus sepanjang tahun 2014, dan diunduh di website resmi Mahkamah Agung. Kriteria putusan yang diunduh adalah putusan tersebut memiliki barang bukti di bawah ambang batas jumlah narkotika yang telah ditetapkan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010.

Dari putusan yang telah diunduh, peneliti akan melihat apakah putusan-putusan tersebut memenuhi semua kriteria seperti yang ditentukan oleh SEMA No. 4 Tahun 2010 yaitu: barang bukti dibawah ambang batas jumlah maksimum narkotika; tertangkap tangan; positif menggunakan narkotika yang dibuktikan melalui tes urine; dan hasil asesmen medis dari dokter jiwa/psikiater. Kriteria terlibat dalam peredaran gelap narkotika tidak peneliti sertakan karena bias dan tidak bisa diukur.

Teman-teman dapat mengunduh buku ini selengkapnya pada tautan ini.  

Mengurai Undang-Undang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) diundangkan pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-undang ini merupakan revisi atas undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor 22 tahun 1997 tersebut, antara lain: tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Secara umum, terdapat beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan dan penambahan definisi di dalam bab tentang Ketentuan Umum, ruang lingkup dan tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Dokumentasi Pelanggaran Hak Tersangka Kasus Narkotika

Buku ini memuat laporan dokumentasi yang telah LBH Masyarakat lakukan selama satu tahun sepanjang 2011. Hasil dokumentasi tersebut mengafirmasi cerita-cerita yang sebelumnya pernah kami dengar. Nyaris semua tahanan kasus narkotika pernah mengalami pelanggaran HAM di tingkat penyidikan, baik upaya paksa yang dilakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian maupun penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Buku ini tidak berpretensi untuk menyajikan laporan penelitian kuantitatif melainkan lebih kepada pemaparan analisis kualitatif yang terefleksi dari hasil temuan tersebut.

Anda dapat mengunduh buku ini pada tautan ini.

Policy Brief: Fenomena Ganja Sintetis

Status ganja yang ilegal di Indonesia membuat fenomena ganja sintetis menyeruak. BNN mendorong agar zat yang terkandung di dalam ganja sintetis dimasukkan ke dalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memandang bahwa negara harus hati-hati menyikapi fenomena ini. LBH Masyarakat mendorong pemerintah untuk segera mendekriminalisasi konsumsi dan kepemilikan ganja untuk konsumsi pribadi dalam jumlah tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari dampak buruk zat yang terkandung di dalam ganja sintetis serta menghentikan fenomena overcriminalization yang menghabiskan anggaran negara.

Versi lengkap policy brief ini bisa diunduh melalui tautan berikut: 280116_Policy Brief Fenomena Ganja Sintetis_LBH Masyarakat

Foto: HS

Skip to content