Di tahun 2017 ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memasuki tahun ke-delapan. Tentu ketika UU Narkotika ini dibuat, harapan para pembuat kebijakan sangat tinggi terhadap kesuksesan UU Narkotika dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika di Indonesia. Apalagi, seiring berjalannya waktu, lembaga-lembaga pemerintah lain yang memiliki peran dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika telah mengeluarkan beberapa kebijakan internal yang ditujukan untuk mengoptimalkan implementasi UU Narkotika itu sendiri. Pada faktanya, bukan hanya angka pengguna narkotika yang meningkat, tetapi juga jumlah terpidana kasus narkotika, baik yang dipidana dengan label ‘pengguna’ maupun ‘pengedar’ – sebuah pengkategorian yang tidak tepat, yang menjadi bukti dari ketidakjelasan peraturan hukum dalam membedakan pengguna narkotika dengan pelaku peredaran gelap narkotika.
Persoalan ketidakjelasan aturan hukum dalam membedakan pengguna dengan pelaku peredaran gelap narkotika ini berujung pangkal pada penggunaan terminologi pengguna pada UU Narkotika. UU Narkotika menggunakan tiga terminologi, ‘penyalahguna’, ‘korban penyalahguna’, dan ‘pecandu’. Dengan menggunakan konstruksi logika seperti ini, UU Narkotika telah gagal melihat luasnya spektrum tipe pemakai narkotika. Kegagalan ini berujung pada keterbatasan akses rehabilitasi bagi mereka yang sebaiknya mendapatkan pendekatan kesehatan, serta kebijakan kriminalisasi yang berlebihan. Kebijakan kriminalisasi yang berlebihan ini berdampak besar pada tingginya tingkat kelebihan muatan (overcrowd) di penjara, yang saat ini telah mencapai 74% lebih banyak daripada daya tampungnya.
Saat ini sedang terjadi beberapa upaya perubahan regulasi yang akan berpengaruh besar terhadap situasi kebijakan narkotika di Indonesia. Upaya tersebut diantaranya adalah revisi UU Narkotika, revisi RKUHP, serta revisi PP No. 99 tahun 2012. Masyarakat sipil, termasuk kelompok pengguna narkotika, memiliki peran besar dalam memastikan perubahan regulasi ke arah yang lebih baik, yang lebih humanis, serta mengutamakan pendekatan kesehatan dalam menjawab tantangan peredaran gelap narkotika.
Dalam kertas posisi ini, LBH Masyarakat menegaskan kembali posisinya terhadap kebijakan pemidaan bagi pemakai narkotika, membedah potensi serta tantangan yang muncul dari serangkaian kebijakan internal lembaga terkait dengan pemakai narkotika yang berhadapan dengan hukum, serta memberikan rekomendasi guna memaksimalkan upaya perubahan regulasi ke arah yang lebih baik dengan mengedepankan pendekatan kesehatan. Kertas posisi ini merupakan yang pertama dari beberapa kertas posisi lainnya terkait dengan regulasi narkotika di Indonesia yang akan kami sajikan secara bertahap.
Akses policy brief ” Overdosis Pemenjaraan: Tinjauan Singkat atas Kebijakan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” , yang ditulis oleh Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, Yohan Misero pada tautan ini.
Maybe can read blogspot of anang iskandar (mantan ketua BNN)