Month: July 2019

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Pasar Gelap Narkotika di Penjara: Imbas Kebijakan Punitif

Kebijakan narkotika di Indonesia adalah produk yang cukup kontroversial sejak diresmikan sebagai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui kebijakan ini, banyak orang yang ditahan dan dipenjarakan akibat terindikasi berurusan dengan hal-hal seputar narkotika, baik sebagai pengguna, terindikasi sebagai pengedar, terlibat sebagai kurir, dan lain sebagainya. Menurut Direktur Jendral Pemasyarakatan, jumlah narapidana kasus narkotika mencapai 115 ribu dari total 255 ribu narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentunya merupakan angka yang cukup fantastis dan dominan dibanding kasus-kasus lainnya, yaitu mencapai sekitar 45.09% dari total keseluruhan kasus pidana yang ada.

Banyaknya jumlah narapidana narkotika ini menimbulkan banyak pertanyaan, misalnya menyoal efektivitas dari pemenjaraan dalam menangani kasus narkotika ini. Meninjau dari tren tahunan, data Direktorat Jendral Pemasyarakatan menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir (2016-2018) terjadi peningkatan jumlah orang yang dipenjara karena kasus narkotika, yaitu pada tahun 2016 terdapat 81.948 orang yang dipenjara karena kasus narkotika. Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2017, menjadi 99.507 orang, dan kembali mengalami peningkatan menjadi sekitar 115 ribu orang pada tahun 2018. Dengan tren pemenjaraan yang kerap meningkat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa pendekatan pidana kepada pelaku narkotika efektif untuk menangani permasalahan? Sekiranya, hal tersebut perlu dipikirkan ulang. Terus meningkatnya kasus narkotika mengindikasikan bahwa pemidanaan tidaklah berpengaruh signifikan terhadap keberadaan narkotika yang dikatakan ilegal di Indonesia. Pengguna, pengedar, kurir, penadah, dan pelaku narkotika lainnya akan tetap ada kendati ribuan orang telah dimasukkan ke penjara.

Meninjau fakta di atas, perguliran narkotika agaknya tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan represif dan punitif seperti pemidanaan. Beranjak dari hal tersebut, tim peneliti LBHM berusaha melokalisasi beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks narkotika dan pemidanaan sebagai langkah untuk menanganinya. Permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan seperti:

  1. Apakah tren kenaikan jumlah orang yang dipenjara karena narkotika menginvalidasi pendekatan pidana dalam menangani permasalahan narkotika?
  2. Mengapa permasalahan narkotika tidak dapat dituntaskan oleh pendekatan pidana dalam menangani kasus narkotika?
  3. Adakah solusi yang lebih baik daripada pendekatan pidana?

Pendekatan yang bersifat represif dalam menangani suatu perkara agaknya sudah usang sebagai suatu pendekatan dalam usaha menyelesaikan masalah. Pernyataan paranoid dan brutal seperti yang menyatakan bahwa narkotika adalah “the first evil we must deal with” yang mana kita harus perangi merupakan narasi usang yang harus ditinggalkan. Pasalnya, narasi yang demikian justru menciptakan teror pelanggaran hak asasi manusia seperti penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pembunuhan ekstrayudisial karena diduga sebagai bandar narkotika, hukuman mati terhadap pelaku yang terlibat, dan lain sebagainya. Oleh sebab inilah pendekatan represif harus setidak-tidaknya dikaji ulang, sebab seharusnya penyelesaian permasalahan narkotika harus tetap dalam kerangka humanitarian, bukan hanya praktik penghukuman semata.

Sebagai suatu usaha menangani narkotika, seharusnya pemenjaraan menjadi opsi/alat terakhir, atau yang dikenal sebagai ultimum remedium. Oleh karenanya, penanganan terhadap persoalan narkotika hendaknya secara jeli melihat opsi selain pemenjaraan. Terlebih, persoalan narkotika cenderung lebih mengarah kepada persoalan kesehatan, yang penanganannya seharusnya menitikberatkan kepada pengurangan dampak buruk narkotika (harm reduction).

Demi mendorong terjadinya revolusi kebijakan terhadap persoalan narkotika, tim peneliti LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media terhadap topik peredaran narkotika di dalam tahanan. Data ini dikumpulkan sepanjang tahun 2018 dan akan disajikan ke dalam bentuk laporan penulisan yang sifatnya ilmiah. Dalam mengumpulkan data yang ada, kami menggunakan metode tertentu yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dari laporan ini.

Untuk membaca laporan penuhnya, silahkan mengunduh file dengan klik disini.

Seri Monitor dan Dokumentasi 2019: Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HAM

Tahun 2018 dikenal sebagai tahun politik, di mana masyarakat bersiap untuk menghadapi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif pada April 2019. Manuver politik digunakan untuk meraup suara. Ada setidaknya tiga isu yang sering dijadikan alat politik pendulang suara, narkotika, terorisme dan kelompok minoritas seksual (baca: LGBT). Kelompok LGBT, yang dengan salah dianggap sebagai musuh masyarakat, sering kali menjadi korban serangan. Tampaknya serangan ini dianggap dapat menguntungkan dan menambah suara pendukung terhadap calon-calon penegak kekuasaan, sehingga mereka kerap dalam kampanye-nya secara terang-terangan berbicara mengenai usulan untuk membuat peraturan diskriminatif terhadap LGBT. Bahkan tidak sedikit yang memberikan usulan untuk memidanakan LGBT. Tindakan-tindakan tidak manusiawi, ajakan untuk memerangi, memberantas bahkan mengkategorikan LGBT sebagai gangguan jiwa seakan menjadi hal yang sering ditemui dalam pemberitaan mengenai kelompok LGBT di tahun 2018, didukung dengan framing media terhadap kelompok LGBT yang cenderung negatif.

Persoalan pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT mendapat perhatian dari banyak badan PBB, Pengadilan HAM dan badan-badan HAM regional. Lembaga-lembaga ini juga telah memberikan kontribusi penting dalam perjuangan pemenuhan HAM kelompok LGBT, diantaranya melalui pengembangan argumen hukum berdasarkan hukum internasional terhadap perlindungan hak-hak orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda. Tidak hanya dilingkup hukum Internasional, ­di Indonesia sendiri Rancangan aksi nasional HAM Indonesia 2004-2009 dengan tegas menyatakan bahwa LGBTIQ sebagai kelompok yang harus dilindungi negara. Prinsip ini juga dimuat dalam The Yogyakarta Principles pada tahun 2007 yang menegaskan perlindungan HAM terhadap kelompok LGBTIQ. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa semua manusia, terlepas dari apapun orientasi maupun identitas gendernya, terlahir merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam The Yogyakarta Principles menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-prinsip ini menjanjikan bentuk masa depan, di mana semua orang dilahirkan dengan bebas dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.

Terlepas dari perlindungan hukum yang diberikan di atas, pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBT tetap terjadi. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan atas dasar orientasi seksual atau identitas gender nyata dirasakan oleh kelompok minoritas seksual, termasuk juga dengan hal yang paling mengerikan seperti penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan eksekusi di luar proses hukum.

Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi stigma, diskriminasi dan stereotip ini tidak jarang datang dari organisasi keagamaan, pemuka agama bahkan pemerintah yang seharusnya melindungi, menjamin keamanan dan sepatutnya justru memenuhi hak asasi warga negaranya. Dalam hal ini argumen tradisional, dari perspektif agama dan moral serta dari perspektif \’ilmiah\’ memang telah menimbulkan banyak pertentangan mengenai penerimaan atau penolakan keberagaman gender tidak hanya oleh perkembangan dalam sains tetapi juga oleh perkembangan hukum seperti yurisprudensi internasional dan berpengaruh di berbagai pengadilan di seluruh dunia.

Sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak minoritas dan korban pelanggaran HAM, LBHM kembali melakukan pendokumentasian dan pemantauan pemberitaan media terhadap stigma, diskriminasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok LGBT, sebagaimana yang saat ini sedang anda baca. Data yang telah kami kumpulkan pada dua tahun terakhir menunjukkan stigma, diskriminasi dan stereotip semakin tinggi dan kerap terjadi.

Laporan selengkapnya dapat diunduh dengan mengklik tautan ini.

PENGUMUMAN PESERTA TERPILIH LIGHTS 2019

LBHM mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah mendaftarkan diri sebagai peserta LIGHTS 2019. Lebih dari 100 aplikasi yang diterima, akhirnya panitia menyeleksi 12 nama sebagai peserta LIGHTS 2019. Adapun nama-nama tersebut adalah sebagai berikut:

Penerima Beasiswa

  1. Yael Stefany
  2. Zulkifli Mangkau
  3. Della Aulia Carolina
  4. Dios Aristo Lumban
  5. Novina Deliza Ervani
  6. Refky Ramadhani

Peserta Non Beasiswa/Reguler

  1. Gladys Nadya Arianto
  2. Nissa Febriani
  3. Yuliani Sianturi
  4. Andi Kasri Unru
  5. Yusuf Kahfi
  6. Amien Rahman Mahendra
  7. Ati Maulin
  8. Belinda Azzahra

Untuk peserta di atas, panitia akan segera menghubungi peserta dalam satu atau dua hari ke depan untuk mengonfirmasi keikutsertaan teman-teman. Jika ada yang membatalkan atau tidak mengonfirmasi, maka panitia akan mengontak peserta lain. Oleh karena itu, teman-teman yang lulus diharapkan cepat merespon apabila dikontak panitia.

 

Rilis Pers – Overcrowding Lapas Tidak Berkorelasi dengan Homoseksualitas

LBH Masyarakat (LBHM) mengecam pernyataan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham) Jawa Barat, Liberti Sitinjak, baru-baru ini yang menyebutkan bahwa gejala homoseksualitas di dalam lembaga pemasyarakat (lapas) muncul karena tidak tersalurkannya kebutuhan biologis warga binaan, sebagai akibat dari lapas yang kelebihan beban (overcrowding). LBHM menilai bahwa pernyataan tersebut bukan hanya irelevan, tetapi juga menyesatkan, dan menstigma kelompok minoritas seksual.

Di satu sisi, persoalan lapas yang overcrowd, adalah persoalan klasik dan sistemik pemasyarakatan Indonesia. Dari tahun ke tahun, upaya pemerintah menyelesaikan persoalan ini tidak pernah menyentuh akar masalah. Tingkat overcrowding lapas di Indonesia didominasi oleh tingginya angka pemakai narkotika yang dipidana penjara. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut LBHM menyerukan kepada pemerintah untuk mendekriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk konsumsi pribadi. Dekriminalisasi di sini berarti pemakaian narkotika, dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk pribadi, bukanlah tindak pidana dan tidak perlu dijatuhi sanksi hukum. Dekriminalisasi justru akan mendorong pemakai narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka perlukan. Sebab, kriminalisasi pemakaian narkotika hanya menjauhkan pemakai narkotika dari layanan pemulihan ketergantungan narkotika, memindahkan pasar narkotika ke dalam lapas, dan memunculkan sejumlah masalah baru – termasuk overcrowding lapas.

Di sisi lain, mengaitkan lapas yang kelebihan beban dengan munculnya homoseksualitas jelas tidak relevan dan menunjukkan ketidakpahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar mengenai seksualitas. Bahwa ada fenomena perilaku hubungan seks sesama jenis di dalam lapas bukanlah berarti bahwa gay dan lesbian di dalam lapas menjadi marak. Sebab, hubungan seks adalah perilaku seksual, sementara itu gay atapun lesbian adalah perihal orientasi seksual. Individu yang heteroseksual juga bisa melakukan perilaku hubungan seksual yang diidentikkan dengan kelompok homoseksual seperti anal seks. Dan perilaku seks seperti itu bisa ditemukan baik di dalam maupun di luar lapas, dan tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual.

Daripada mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menunjukkan rendahnya pemahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar, akan jauh lebih baik apabila Kanwil Kumham memfokuskan diri pada pembenahan lapas secara institusional. Artinya: menyelesaikan akar masalah overcrowding lapas, meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan warga binaan secara komprehensif, dan mengatasi persoalan korupsi dalam lapas.

 

Jakarta, 10 Juli 2019

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Rilis Pers – Wendra Purnama, Penyandang Disabilitas Intelektual Dilepaskan

Setelah melalui proses pemeriksaan yang panjang, babak persidangan Wendra Purnama akhirnya menemukan ujung. Pada Senin, 1 Juli 2019 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang terdiri dari Sri Suharini, S.H., M.H, sebagai Hakim Ketua serta Edy Purwanto, S.H dan Gatot Sarwadi, S.H., sebagai Hakim Anggota membacakan putusannya.

Pada putusan tersebut Majelis Hakim menyatakan Wendra Purnama menyatakan secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun demikian, mengingat kondisi Wendra Purnama yang menyandang disabilitas intelektual, perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini mengacu pada amanat Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Mulyanto, M.Psi, psikolog pemeriksa Wendra Purnama yang menjelaskan bahwa Wendra Purnama mengetahui perbuatan yang dilakukannya—mengiyakan permintaan temannya untuk mengantar ke lokasi transaksi penjualan narkotika—tapi tidak mampu memahami konsekuensinya. Wendra Purnama tidak memiliki kemampuan untuk mencerna dampak baik dan buruk yang akan diterima atas perbuatannya.

Selain itu, dalam putusannya Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Prof. Irwanto, dari Universitas Katolik Atmajaya, yang menjelaskan bahwa kondisi yang dialami Wendra Puranama adalah kondisi permanen yang tidak dapat diubah. Dengan IQ 55, ia hanya mampu memahami realita sederhana seperti anak usia 12 (dua belas) tahun, dan sampai kapanpun ia akan memiliki tingkat kecerdasan seperti anak-anak meskipun usia biologisnya terus bertambah.

Atas putusan ini kami, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), selaku Tim Kuasa Hukum Wendra Purnama berterima kasih pada Majelis Hakim yang telah memutus perkara ini dengan arif dan bijaksana. LBHM memandang bahwa putusan ini bisa menjadi preseden yang baik bagi hukum Indonesia ketika ada kasus serupa di mana orang dengan disabilitas intelektual harus menjalani proses hukum pidana.

Kami juga menyampaikan apresiasi kepada Jaksa Penuntut Umum dan pihak Lapas Pemuda Tangerang yang telah membantu proses eksekusi putusan sehingga Wendra Purnama bisa segera meninggalkan lapas. Apresiasi juga kami sampaikan kepada teman-teman media yang turut mengawal persidangan ini. Semoga kabar baik ini bisa menjadi salah satu contoh peradilan teladan dan memupuk kepercayaan kita terhadap sistem peradilan Indonesia.

 

Jakarta, 4 Juli 2019

 

Antonius Badar Karwayu

Pengacara Publik LBHM

Lasagna: Pemaknaan Hidup, Perayaan Kematian

Orang bilang panjangnya umur tidak ada yang tahu, tapi bagaimana bila kematianmu bukan lagi sebuah teka-teki?

Film : Lasagna: Eve Without Adam

Sutradara : Adi Victory

Produser : Daniel Victory

Pemain : Vonny Anggraini, Yayu Unru, Teuku Rifnu Wikana

“Film ini berangkat dari keresahan saya tentang hal ditinggalkan dan meninggalkan,” ucap Adi Victory pada special screening Lasagna awal Mei lalu.  Sebuah pengantar yang sangat ‘ringan’ dalam mempersilakan penonton menyaksikan film peraih juara pertama Europe on Screen 2018: Short Film Pitch Project ini. Detik itu juga saya menebak-nebak ramuan apa yang telah Adi buat untuk membuat Lasagna berbeda dengan cerita romansa lain.

Adi menampilkan Mirna (Vonny Anggraini) yang sedang memasak lasagna sebagai adegan pembuka. Dari cara Mirna memasak, tersirat bahwa lasagna bukanlah sekadar makanan biasa. Seakan ada sebuah kisah yang tidak bisa dilepaskan Mirna dari makanan khas Italia itu. Mulai di titik inilah ‘gila’ ‘keren’, menjadi kata yang sering saya ucap dalam hati sepanjang menikmati karya Adi tersebut.

Melalui adegan perjalanan laut yang akan membawa Mirna menemui suaminya, Rudi Fernando Simbolon (Yayu Unru), latar belakang Mirna mulai diungkap. Di perahu yang ditumpanginya, Mirna bertemu dengan turis Italia. Kemudian Mirna bercerita telah menghabiskan waktu tujuh tahun di negara mereka. Di tempat itu pula Mirna bertemu dengan kekasih hatinya dan menjadikan lasagna sebagai makanan favorit.

Meski berusaha menyampaikan betapa indah kisah cinta miliknya dengan intonasi yang membahagiakan, Mirna tidak bisa menyembunyikan getir di wajahnya. Perjalanan laut yang harus Mirna tempuh untuk menemui suaminya adalah penanda bahwa Mirna tak tinggal bersama dengan tambatan hatinya lagi. Rudi harus mendekam di penjara yang memiliki pengamanan sangat ketat dan sedang menunggu eksekusi hukuman mati.

Mirna dan Rudi punya cara masing-masing untuk mengibur diri. Mirna kerap mengajak memorinya untuk memutar ulang kenangan indah bersama Rudi. Namun Mirna tak bisa mungkir dalam hisapan rokoknya yang berat ada tanda keputusasaan menjalani hidup. Sedangkan Rudi meluapkan rindunya pada Mirna melalui bait puisi. Pada aksara yang disusunnya, Rudi ‘mengekalkan’ perasaannya terhadap kekasihnya.

 “Meski di ujung jalan setiap orang pasti akan pergi, aku harap kamu tidak begitu. Dalam tidurku, aku selalu menyebutmu. Selalu begitu….” 

“Ada bayang-bayang kekasihku yang setia memeluk. Jangan tidur dulu, belum saatnya: ti amo, bisiknya di telingaku…”

Melihat Rudi yang berusaha tegar dalam menjalani hukuman, juga sikap Mirna yang tidak berhenti iba melihat keadaan Rudi, hati saya sesak rasanya. Ditambah lagi ucapan Mirna yang cukup mengejutkan ketika Rudi meminta untuk dikunjungi sekali lagi sebelum eksekusi mati. “Bahkan kau dihukum untuk perbuatan yang tidak kau lakukan,” begitu kira-kira kalimat Mirna.

Sesak, marah dan geram berkecamuk melihat ketidakadilan hidup yang mereka terima. Ingin rasanya melampiaskan marah pada Rudi yang berusaha legawa, tapi dialah korbannya. Melayangkan protes pada pemerintah pun tak berarti apa-apa. Hidup Mirna dan Rudi tidak dihadapkan pada pilihan apapun. Merapal doa dan memohon keajaiban terhindar dari peluru eksekusi menjadi satu-satunya usaha, meski hal itu mustahil terjadi.

Rudi memang tak punya cara untuk menghindari kematian, tapi dia tidak kehabisan akal untuk merayakannya. Pada kunjungan terakhirnya Rudi meminta Mirna untuk membawakan lasagna. Permintaan ini mengingatkan saya pada Stanley Baker, Jr., terpidana mati kasus pembunuhan asal Amerika Serikat yang meminta 10 jenis makanan untuk sarapan terakhirnya. Rudi dan Stanley tampaknya punya kesamaan dalam berdamai dengan kematian yang tidak diinginkan.

Derita Mirna tak terhenti pada itu saja, melewati petugas pemeriksaan penjara, Suryanto (Teuku Rifnu Wikana) juga tak kalah menyebalkannya. Ada ‘harga’ yang harus dibayar untuk tambahan waktu di pertemuan terakhirnya dengan Rudi. Sialnya kali ini bukan bernilai uang, Suryanto meminta Mirna untuk memuaskan nafsunya. Mirna tak punya pilihan, dia hanya bisa membersihkan bagian tubuhnya berkali-kali kemudian.

Tingkah Suryanto benar-benar membuat saya sakit hati. Pun rasanya tak sanggup melihat Mirna yang berusaha tegar di hadapan Rudi, padahal kejadian pahit baru saja dialaminya. Di pertemuan terakhirnya itu, Rudi dan Mirna saling menatap lekat-lekat. Meski tak banyak kata yang diucap, perasaan cinta mereka sangat terlihat begitu mendalam. “Terima kasih sudah membawakan lasagna untuk terakhir kalinya,” ujar Rudi.

Sebelum mengakhiri pertemuannya, Mirna mengungkapkan perasaannya pada Rudi, “Membiarkanmu dibunuh bagai rusa adalah hal yang sulit.” Seketika itu saya terenyuh, perasaan Mirna perasaan saya juga, dan mungkin kita semua. Saya yakin tak seorang pun rela hidupnya dirampas begitu saja. Ditambah lagi, kalau harus menanggung beban kesalahan atas perbuatan yang tak pernah dilakukan. Dan tentu, mungkin yang terburuk, harus dipisahkan dengan tragis dari orang-orang yang dicinta dan mencintainya.

Lasagna benar-benar bukan sekadar romansa biasa. Persoalan kompleks manusia terungkap di sini. Pada Lasagna saya belajar menghargai hidup dengan cara paling sederhana. Tanpa perlu penuturan panjang dan mempelajari literatur yang kata orang membosankan, saya tersadar bahwa setiap manusia memiliki arti. Saya merasa harus berterima kasih pada Lasagna telah hadir di tengah persoalan pelik kemanusiaan dan mengajarkan arti penting kehidupan. Ketika hari-hari ini kemanusiaan kita begitu gersang, Lasagna hadir bak oase mengingatkan kita pentingnya penghormatan terhadap manusia.

Dengan durasi yang pendek, keutuhan cerita Lasagna patut diacungi jempol. Menampilkan kisah masa lalu melalui percakapan pendek dengan orang asing sungguh di luar praduga. Cara Mirna memaparkan fakta hukuman mati banyak menjerat orang tidak bersalah menjadi hal yang paling apik. Tanpa perlu narasi panjang, cukup dengan satu kalimat dan raut Mirna yang menahan amarah masalah utama hukuman mati dapat diketahui oleh khalayak.

Film ini memang tidak menghadirkan banyak dialog. Sinematografinya juga sederhana, namun indah dan tetap membangkitkan emosi. Gelap untuk kehidupan di penjara, dan terang untuk sebaliknya. Sebuah pengambilan yang menarik untuk mengajak penonton mensyukuri kebebasan sekaligus merasakan derita di balik jeruji. Pun easter egg yang ada menandakan betapa detailnya penggarapan Lasagna.

Saya berharap ada banyak pasang mata yang bersedia menonton Lasagna. Merasakan sepi dan ‘sakit’ yang dialami Rudi. Menyaksikan Lasagna adalah sebuah ikhtiar untuk bersolidaritas pada Rudi-Rudi di luar sana, yang menjadi korban ketidakadilan dari bobroknya hukum dan beban sanksi mematikan. Juga sebagai wujud menemani Mirna-Mirna lain yang tengah melipur lara dan mengobati rindu pada cintanya yang dalam ambang kematian. Atau mungkin saja ada yang ingin melakukan hal serupa Rudi, menitipkan hidup dan kekasihnya pada lasagna.

“Ajari aku, adakah cara merawat rindu?

Agar suatu saat nanti, ada caraku untuk membawamu kembali…”

Penulis: Aisya Humaida

Editor: Ricky Gunawan

Skip to content