Pada tahun 2015, Presiden Jokowi memosisikan kebijakan penanggulangan narkotika ke dalam kerangka perang terhadap narkotika (war on drugs). Institusi keamanan, dalam hal ini BNN dan Polri, menafsirkan narasi keras tersebut dengan gencarnya pengungkapan-pengungkapan kasus narkotika.
Catatan media menyebutkan bahwa sepanjang 3 (tiga) tahun terakhir dimulai pada tahun 2017, BNN mengungkap 46.537 kasus narkotika dan menangkap 58.365 tersangka.1 Pada tahun 2018 terdapat 40.553 kasus yang diungkap Polisi dan BNN yang melibatkan 53.251 tersangka2 , sedangkan pada tahun 2019, BNN, Polri, TNI, Bea Cukai dan Imigrasi merilis sebanyak 33.371 kasus narkotika dan menangkap 42.649 orang.
Selama masa ” peperangan” itu pula, LBHM, Manesty Internasional Indonesia, dan KontraS mencatat adanyanya insiden penembakan dalam penanganan kasus narkotika, sepanjang tahun 2017 terdapat 215 insiden penembakan. Hal ini terjadi dikarenakan pendekatan keamanan yang masih dipakai dalam penanganan kasus narkotika. Dampak lain dari pendekatan keamanan ini ialah Overcrowd penjara di Indonesia, dengan presentasi total penghuni narkotika (Desember, 2019) di penjara sebesar 49,20%.
Munculnya banyak permasalahan dalam penerpaan pendekatan keamanan dalam kasus narkotika, seharusnya membuat pihak keamanan berpikir untuk beralih menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam penanggulangan kasus narkotika.
Kertas Kebijakan dapat teman-teman baca pada link di bawah ini:
Mengimbangi Sekuritisasi Narkotika: Tinjauan Singkat atas Praktik Pendekatan Keamanan Dalam Penanggulangan Narkotika